Universitas Umar Faruq


Pagi itu aku membeli telur goreng di Burjo, film Poweranger di layar TV Polytron empat belas inchi yang duduk manis di sebelah lemari piring  mengingatkanku pada masa kecilku. Film robot itu menempati urutan kedua film favoritku setelah film kartun kesukaanku, Detective Conan. Alasan kenapa aku suka dengan film Poweranger karena kelima robot itu begitu ramah dan mau menolong orang lemah, berani menegakkan kebenaran dan tidak pantang menyerah untuk mengalahkan monster jahat. Ya, katakanlah mirip dengan KPK, meskipun saat ini masih banyak ‘monster jahat’ yang masih belum di‘bunuh’ olehnya.
          Malam ini aku menginap di tempat Umar Faruq, teman lamaku yang bernasib mujur karena dipercayai Rektor UNCOK (Universitas Cokroaminoto) untuk tinggal di UKM al-Izzah dengan fasilitas serba gratis. Mulai dari listrik, air, kipas angin, dua buah meja, satu buah rak buku, satu lemari baju berwarna biru sampai gratis melihat mahasiswi cantik setiap pagi, karena tempat itu berdempetan dengan gedung kampus UNCOK, sehingga memungkinkan melihat mahasiswi cantik setiap pagi.
          Jika temanmu bernasib mujur, tentunya kamu juga akan mendapat aliran sejuk nasib baik itu. begitulah kata kakekku dulu. Dan ternyata benar apa yang dikatakan kakekku itu. Meskipun aku bukan mahasiswa UNCOK dan bukanpula anggota UKM al-Izzah, sekali-kali aku bisa menginap di tempatnya Umar. Tentu juga bisa menikmati segala fasilitas gratis itu.
          Tadi malam aku diajak Umar ke kos temannya, ya, pastinya teman cewek. Kalau bukan cewek yang jelas aku tidak bakal ikut. Alasan aku ikut karena mungkin saja teman perempuan Umar itu adalah rusuk kiriku yang hilang itu, atau paling tidak dia akan memberiku inspirasi untuk membuat cerpen, puisi atau cerita untuk kutulis di blog ini. Soal nama cewek itu aku kurang tahu, tapi Umar memanggilnya gadis sembilan belas.
          ketika sampai di depan pintu kamarnya, khayalanku berkeliling mengembara, mencoba menggambarkan wajah perempuan itu. tujuannya agar aku mempunyai pesiapan sebelum bertemu dengan gadis yang katanya cantik itu. Tapi sayang, hasilnya tidak begitu memuaskan. Yang keluar di benakku hanya wajah Bu Fatimah, dosen PSI (Pengantar Studi Islam), dosen yang paling aku kagumi karena selalu memberiku semangat dan inspirasi. 
          Bersamaan dengan jarum jam yang menyapa angka sepuluh di jam tangan Umar, perempuan yang Umar maksud itu membuka pintu. Ternyata dia bukan gadis berkerudung merah, sebagaimana Wali Band seringkali menyanyikan lagu itu di laptopku. Malam itu, dia mengenakan baju...? Wah, aku sendiri tidak tahu nama baju itu, pokonya mirip baju yang sering dikenakan Cinta Laura.
          Aku kikuk tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Grogi mendadak bertamu dalam jiwaku. Aku datang ke sana memang bukan untuk jatuh cinta, atau sebagai pengeran yang ingin menyatakan cinta. Tapi tetap saja aku malu bercampur takut jika bertemu perempuan yang tidak aku kenal. Lagi pula, saat itu aku memakai sarung dan baju koko, persis saat aku mau di mondokkan ke pesantren dulu.
          Mungkin karena melihatku dari tadi diam tak bersuara, akhirnya Umar menyuruh cewek itu berkenalan denganku. Aku tersenyum. Bukan senang. Tapi karena rasa takut yang begitu kuat mencengkeram perasaanku. Makanya aku tersenyum, agar rasa takut itu sedikit demi sedikit hilang dari hatiku.
Mungkin inilah drama pertamakali muslim Jadul (Jaman Dulu) bersalaman dengan muslimah abad dua satu. Tanganya halus. Menyentuh rasa yang bersemayam jauh dalam lubuk hati. Tetapi aku tidak sampai tertarik pada dia, atau jatuh cinta padanya. Karena penyanyi arab, Samir Ghanem, tetap menjadi seorang yang aku damba.
Begitulah ceritaku selama berada di Universitas Umar Faruq, di Kampus Cokroaminoto.
Minggu, 09 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar