UAS (Uji Aa’, Sayang!)


“Puji syukur pada Tuhan yang maha segalanya yang masih merestuiku untuk menikmati hidup di hari ini, Kamis, 27 Januari 2011, hari aku mendapatkan SMS dari “pejuang kelas” yang dengan semangat berkobar mengajakku untuk berdiskusi pagi ini. Namun, aku tidak ‘terbakar’—bahkan tidak akan pernah terbawa bujuk rayu—kobaran semangat itu, semangat musiman, semangat yang hanya ada saat ujian tiba. Aku mau belajar tidak untuk ujian, tidak untuk “B plus”, tidak untuk “A plus”, atau huruf-huruf lain yang mereka damba. Biarlah huruf-huruf itu menjadi kata dalam sajakku, menjadi sesuatu yang mewakili rasaku dalam catatan harianku, dan menjadi metafor rindu dalam cerita-ceritaku.”
Begitulah bisik hatiku padaku saat aku baru bangun tidur. Jam di hp-ku masih menunjukkan angka 06.49. Sebenarnya aku tidak akan bangun sepagi ini jika tidak terganggu oleh jerit sms Nokia 1202-ku. Meskipun bukan pengikut madzhab Mbah Surip (bangun tidur-tidur lagi), aku masih ingin tidur lagi, melanjutkan mimpi tadi—aku bermimpi berdiskusi dengan Muhibuddin, Sanusi, Fakih, Ong MD, Alaroa, dan Gus Zainal di perpustakaan besar Yunani—tapi karena sms itu kedua mataku sudah tidak mau diajak kompromi, aku tidak lagi mengantuk.
Sms itu seperti ini: AYO BANGUN!!! Kwan2, pgi ni, sblum ujian SKI berlngsung, mri kta brdiskusi, bljar bersma di kmpus. Sya hrap kdtangan klian smua. AYO SEMANGAT!!!
 Berulangkali aku membaca sms itu. Sambil memandangi hp jadulku itu, batinku  berbicara sendiri, “Kenapa temanku itu mau mengajakku berdiskusi, belajar, dan semangat berbagi ilmu seperti ini hanya pada waktu ujian? Apakah hari-hari sebelum ujian mereka anggap sebagai hari biasa, sehingga tidak perlu diskusi atau belajar? Semangat macam apa ini jika hanya panas-menyala ketika waktu ujian tiba?” ucapku pura-pura sok kritis, padahal sebelumnya aku tidak pernah sekritis ini, ataupun sekritis itu (seperti orang-orang kritis).
Aku jadi teringat telepon orang tuaku kemarin sore, beliau menyuruhku untuk semangat belajar agar tahu menjawab ujian. Sebelumnya aku menolak saran orang tuaku itu. Tapi karena mereka tetap bersikukuh menyuruhku belajar, aku ia-kan saja perintah orang tuaku meski sejatinya aku takkan mau menuruti keinginan itu. Aku berbuat semacam ini bukan tidak mau mematuhi perintah orang tua, janjiku untuk membahagiakan orang tua masih tetap bergelayut dalam dada. Aku cuma ingin mereka mengerti kalau nilai tinggi di rapor atau ijazah tidak mempunyai arti samasekali, dan biar beliau berdua mengerti kalau kata “semangat belajar” tidak lagi mereka ucapkan hanya ketika ujian tiba.
Mungkin orang-orang disekitarku akan menganggapku sebagaui anak yang durhaka, tak mau menaati perintah orang tua. Tapi sebelumnya biarlah kujelaskan: Ibu dan ayahku menyuruhku belajar agar bisa menjawab ujian dengan baik, aku tak mau dengan tawaran itu, aku ingin hasil yang lebih dari hanya sekedar angka ‘sakral’ yang mereka minta. Aku ingin belajar untuk masa depan, belajar terus menerus tanpa harus menunggu waktu-waktu tertentu. Lalu, apakah tidakan semacam itu disebut tindakan yang membangkang terhadap perintah orang tua? Jika pikiran orang-orang yang menilaiku itu masih sehat, pasti mereka bisa membedakan antara aku dan Malin Kundang.
...
Jika ada yang bingung membaca tulisan di atas, penulis sangat berterimakasih, karena penulis sendiri juga tidak mengerti. Penulis seorang yang tidak tahu apa-apa, boleh dikatakan ‘senasib dan seperjuangan’—tapi tidak senasib dalam persoalan mati—dengan Socrates, filsuf Athena, beliau pernah berujar, “Only One I Know That, I Know Nothing”, sama dengan saya.
Sebelum aku akhiri tulisan ini, aku curhat pada para dosen yang akan mengujiku, “Uji Aa’, Sayang!”
Semangat belajar!!!
Kamis, 27 Januari 2011

1 komentar: