Malam Mingguan


Kang Badar

Malam Minggu ini aku memilih untuk menginap di kos Badar, seorang teman yang kukenal sejak 2010 lalu di kampus.
Memang, malam Minggu seringkali dianggap malam yang paling romantis untuk berduaan dengan pacar. Lalu, apa salahnya jika aku bermalam Minggu untuk membangun kembali sebuah ikatan yang seringkali dinomorduakan: persahabatan? “Kasih sayang dari pacar memang indah, tapi tidak cukup. Perlu juga cinta kasih dariku sebagai seorang yang tampan,” kata Elex Suwex, seniman alam dari Magelang.
Awalnya hanya ingin nebeng motor si Badar, karena kosku satu arah dengan kosnya. Tapi di tengah jalan aku berubah pikiran: aku ingin menginap saja di kos Badar. Sudah lama tidak berkumpul dengan teman satu angkatan. Kita sudah jarang sekelas bareng, sudah  jarang berkumpul seperti dulu lagi. Semakin lama kita mengenal ternyata tidak membuat semakin akrab atau semakin dekat. Malah dengan kesibukan masing-masing kita semakin membuat jarak.
Kos Badar berlokasi di Gowok Blok E 01—nomor kosnya tidak jelas, karena Badar juga tidak tahu.
Sesampai di kosnya, ia langsung memarkirkan motornya. Lalu diajaklah aku naik ke lantai dua, melwati anak tangga yang kalau tidak salah berjumlah delapan belas. Di atas hanya ada tiga kamar. Kamar Badar berada di posisi paling tengah, pintu masuknya tepat berada di ujung tangga.
Isi kosnya cukup bersih dan rapi. Dindingnya berwana biru langit, sewarna dengan karpet yang digelarnya di lantai. Entah apakah dia seorang Milanisti atau tidak, tapi yang jelas dari kasur, bantal dan bantal gulingnya bergambar bendera AC Milan. Di dekat jendela yang ditutup dengan kertas bermotif kotak-kotak, ada TV Sanyo 14 inchi duduk di atas meja berwarna coklat. Di samping kiri TV itu ada bekas botol air mineral yang di dalamnya terdapat banyak uang receh. Di sebelahnya lagi racecooker yang sepertinya sudah jarang dipakai. Di sebelah kanan TV Sanyo itu ada lemari dengan rak buku kosong di atasnya. Buku-bukunya berjejer rapi di rak  buku di bagian pojok selatan kamarnya, bersebelahan dengan speaker mini dan kipas angin berwarna biru.
Begitulah kira-kira gambaran tidak lengkap tentang kosnya Badar. Dan malam ini aku akan menginap di sana.

***

Bersama Badar, awalnya bercerita tentang senang dan tidaknya punya pacar. Dilanjut tentang kisah petualangan anak Gorong-Gorong. Lalu kemudian, aku dan Badar bercerita tentang masa-masa indah awal masuk kuliah: Saat pertamakali mengenal Ietha Sanie di waktu OPAK (Orientasi Pengenalan Akademik Kampus); Perjumpaan dengan Mang Yatno yang ternyata satu jurusan dan satu kompleks indekos dengan Badar; Salut pada Agus Eko Cahyono yang ngontel jauh-jauh dari Krapyak; Tentang Dewi si putri muslimah; Irawan Jansel yang dikira keturunan China; Wahdini yang ternyata bukan bule; Keanehan saat melihat aku yang ke mana-mana selalu bersama Supriyadi; Imam Gapoel yang ternyata takut pada perempuan, dan banyak cerita lainnya.
“Sekarang teman-teman sudah pada sibuk dengan dunianya masing-masing, Yi,” tutur Badar. Aku membenarkan. Karena terkadang aku juga sok merasa sibuk, padahal sebenarnya punya banyak waktu untuk berkumpul. “Pokoknya belum empat tahun kita kuliah sudah amat banyak yang berubah.”
Ya, begitulah.

Bila Aku Kangen


Kekasihku tidak suka pada kata “rindu”. Ia lebih setuju untuk mengatakan “kangen” bila ada keinginan untuk bertemu, bersama, atau bertegur sapa dalam canda tawa ketika sudah lama tidak berjumpa. Aku tidak tahu alasannya mengapa harus begitu, seperti ketidaktahuanku pada apa yang harus aku lakukan ketika sedang kangen padanya. Ia hanya memberi jawaban yang menurutku tidak masuk akal, “Kangen itu lebih suci daripada rindu,” ucapnya. Selama kalimat yang mengatakan: “Tak ada yang tidak logis dalam masalah cinta”, tidak ada yang menyalahkan, bisa dibenarkan apa yang dikatakan kekasihku itu.
Aku tahu, padanya aku adalah dekat. Bahkan, seperti pecah yang telah menjadi satu, yang tak lagi ditemukan retak pada kesatuan kita. Namun aku harus menempuh jarak jika mau bertemu dengannya, harus menghabiskan beberapa waktu untuk bersama dengan seorang dia yang telah sudi menjadi kekasihku. Ruang dan waktu adalah kepastian yang harus ada pada kita. Sebab apalah arti sebuah cinta jika tidak berada dalam keindahan ruang dan waktu. Tidak akan ada kisah yang menarik. Tidak akan muncul cerita heroik di antara kita. Tidak akan ada kesatria dan seorang putri seperti aku dan dirimu kekasih.
Pernah aku katakan, aku akan datang dengan diriku sendiri bila sedang dalam kangen padanya. Aku tidak ingin diantarkan oleh mobil, mengendarai motor, atau pun mesin lainnya. Kendaraan-kendaraan itu akan kubiarkan di rumah, sebagaimana seharusnya benda mati tak berperasaan. Biarkan barang-barang itu tetap mematung tanpa ikut campur dalam urusan perasaanku. Aku akan berjalan sendiri menemuinya yang anggun duduk menungguku di depan tempat tinggalnya. Karena benar-benar hanya aku sendirilah yang mencintainya, bukan karena mesin-mesin beroda itu.
Semoga cinta kita menjadi kisah yang indah di akhir perjalanan nanti, yang akan kita kenang dengan tawa dan senyum yang selalu segar. Atau hanya akan menjadi kenangan. Dan itulah yang paling aku takutkan.

***
Tulisan di atas adalah bakal cerpen yang tidak jadi-jadi. Sulit meneruskan atau mengeditnya hingga menjadi sebuah cerita yang menarik. Akhirnya aku punya kesimpulan bahwa ternyata cinta itu memang rumit, apalagi menuliskannya dalam bentuk karya cerpen. Menjadi sesuatu yang mustahil untuk selesai. Sebab dalam kehidupan nyata saja, kisah cinta tidak selalu berujung pada segalah yang maha indah. Ada senang dan juga marah. Mungkin itulah yang menjadi menarik dan indah.
Lalu, bila aku kangen apakah dia akan selalu marah-marah seperti saat kutelepon tadi sore? Kapan akan menjadi sesuatu yang indah jika terus seperti itu. Aku tak tahu, apakah hal seperti ini juga tidak akan selesai, senasib dengan cerpen yang aku buat? Masih belum ada jawaban.
Kemudian waktu seperti tertuang percuma.

Surat Izin Tidak Kuliah


Aku membeli sebatang rokok dan sebungkus roti coklat di toko belakang kos Tidak tahu kenapa sepagi ini aku sudah ingin merokok. Paru-paruku mungkin sedang dilanda rindu pada asap tembakau.
Jam sudah menunjukkan angka 07.42 WIB. Delapan belas menit lagi ada kuliah. Aku malah malas-malasan tanpa ada lagi keinginan untuk mandi atau siap-siap berangkat kuliah. Menikmati roti yang di dalamnya bersembunyi cairan kental coklat lezat, lalu menghisap sebatang rokok sambil mendengarkan Jazz Klasik ternyata lebih menyenangkan ketimbang mendengarkan dosen ceramah di dalam kelas. Serasa ada puisi di sana, serasa ada makna yang memberikan kesan padaku. Bukan kantuk, bukan kebosanan, dan bukan pula kejenuhan seperti yang sering kualami di dalam kelas.
Sembari menghisap rokok, aku berhayal. Seandainya saat kuliah kita bisa mendengarkan dosen sambil merokok, sambil mendengarkan musik, dan bebas melakukan apa saja. Betapa manariknya. Betapa indahnya. Tagore mungkin akan menarik katan-katanya untuk sekolah di alam bebas, Roem Tomatipasang mungkin tak akan menulis buku Sekolah Itu Candu, Yudistira tidak akan mengabadikan “Sebelum Terlambat, Berhentilah Sekolah”-nya Di Harian Kompas, Juga Ivan Illich dan Paulo Freire tidak akan pernah berpikir keras tentang pendidikan jika sekolah atau kuliah benar-benar memanusiakan-manusia.
Namun semua itu hanyalah harapan semata. Tidak akan pernah ada dosen yang memperbolehkan ‘belajar’ merokok di dalam kelas, ‘belajar’ ngobrol dengan teman yang duduk di samping kita saat dosen menerangkan di depan, ‘belajar’ sms-an dengan pacar, atau tidur saat dosen menjelaskan materinya. Tentang harapan, apa salahnya mendengarkan kata Lu Hsun. Sastrawan besar Cina itu pernah mengatakan, bahwa harapan pun punya persamaan dengan putus asa: keduanya mengandung ilusi. Dan semua itu mungkin benar: bila kita berharap, pada saat itu juga kita sedang putus asa.
Aku tidak mau kuliah hari ini. Mau merokok. Mau membersihkan kamar yang berantakan. Lalu tidur sebentar.
Sambil tiduran aku menulis surat izin, tapi dengan maksud tidak dikirimkan pada dosen, karena tidak akan ada temanku yang sudi untuk memberikannya. Isinya seperti ini, Dengan ini saya memberitahukan bahwa saya tidak bisa mengikuti matakuliah bapak disebakan ingin merokok di kos. Tapi kalau diizinkan merokok di kelas saya akan masuk matakuliah bapak. Dan saya tahu kalau bapak tidak akan memperbolehkan itu. Oleh karena itu sudilah kiranya bapak memberi izin kepada saya, dan atas kesudiannya saya ucapkan terimakasih yang tiada batasnya.
Kulipat surat itu. Dan kutaruh di bawah bantal.

UTS


Hari ini hari pertama UTS. Ujian Pertamaku adalah Ilmu Kalam Kontemporer. Kebajikan yang harus ditanamkan dalam diri jika sampai pada musim UTS ini adalah: jangan pernah serius belajar untuk ujian. Karena nilai ujian itu ternyata tidak ada sangkut pautnya dengan jawaban Anda di UTS atau pun UAS, itu bagi para pengagum nilai. Lebih baik belajar hal lain.
Dulu, ada teman yang menjawab soal matakuliah tasawuf dengan lagu Ebit G. Ade, ada juga yang hanya bercerita tentang perjalanan unta, dan mereka yang menjawab itu mendapat nilai B plus.  Luar biasa, kan! Aku pun tidak mengerti, bagaimana  cara si dosen memberi nilai. Apakah si dosen itu penggemar lagu-lagu Ebit dan penyayang binatang, atau asal-asalan memberi nilai.  Semua itu, dalam benakku,  masih menjadi suatu misteri.
Sebenarnya hanya tiga hal yang perlu diperhatikan dalam mengerjakan UTS. Pertama, pastikan saudara masuk di kelas yang benar, jika tidak segera pindah ruang. Kedua, tulis dengan jelas nomor urut presensi, nama, NIM, semester/jurusan, mata ujian, tanggal, dosen penguji, dan tanda tangan pada lembar jawaban. Dan, ketiga, tulis jawaban Anda dengan rapi dan mudah dibaca.
Kalau belum jelas, Semua itu bisa dibaca di atas deretan soal, dalam kolom, yang biasanya di awali dengan kata ‘Perhatian!!!”. Makanya jangan terburu-buru membaca soal ujian, bacalah dengan cermat dan teliti.
Jadi, dalam menjawab soal ujian tidak harus menjawabnya dengan benar. Tidak ada perintah. Tidak ada yang menyuruh untuk menjawab dengan kebenaran yang diinginkan dosen. Bercerita tentang kegiatatan sehari-hari juga tidak  masalah, yang penting ada keberanian untuk menuliskannya di atas lembar jawaban ujian.
(Ini hanya dugaan!)

Teman, Ki Ageng Suryamentaram, Umbu, dan Popularitas


Kata teman (dia seorang senior, penulis berbakat juga), aku ini tidak punya bakat dalam dunia tulis menulis. Mendengar itu, aku seakan sedang menemukan kebahagian yang telah lama hilang. Dia berperan seperti utusan tuhan yang menyalakan lampu terang di atas ketidaktahuanku tentang talenta apa yang bersemayam dalam diriku. Dan berkat pertolongan dia,  aku jadi tahu ternyata bakatku adalah tidak tahu menulis. Sebuah bakat yang tidak dimiliki oleh orang-orang besar. Goenawan Muhammad, misalnya, yang tak berhenti menulis di Catatan Pinggir. Atau Tolstoy yang dengan sombong mengaku bahwa menulis baginya seperti bernapas. Atau Roland Barthes yang oleh Bandung Mawardi disebut-sebut sebagai manusia huruf (a man of later). Atau…. banyak lainnya.
Meskipun tidak memiliki kesamaan genetik dan bukan pula keturunan dari Ki Ageng Suryomentaram, putra Hamengkubuwono VII yang meninggalkan kehidupan sebagai pangeran dan menjadi petani, aku juga tidak ingin mencari popularitas. Aku hanya ingin menyembunyikan bakat yang kumiliki dengan pura-pura menulis, pura-pura menjadi penulis, dan pura-pura tidak punya bakat ‘tidak-bisa-menulis’.
Apakah salah jika aku meneladani Umbu yang lebih memilih tinggal di ‘Kehidupan Puisi’, sebagaimana  diceritakan Emha Ainun Najib. “Umbu sangat curiga pada kemasyhuran dan popularitas…. “Ia, berpuasa dari kemewahan dan gegap gempita dunia. Ia, meninggalkan harta, kekuasaan, harta, wanita, kemasyhuran, dan menyimpan uang dalam plastik dipendam di tanah,” jelas Ainun Najib.
Lalu, sanggupkah aku? Hahaha.