Entah



Setelah lama tidak menulis cerpen, secara tidak sengaja aku punya keinginan untuk menulisnya lagi. Cerpen baru ini kuberi judul “Entah”:

[ditulis saat serius]
Tak ada waktu yang menunjukkan waktu ‘Entah’ dalam dua puluh empat jam. Juga tak ada hari ‘Entah dalam seminggu. Dan tahun pun tidak ada yang bernama ‘Entah’. Tapi ia mengatakan, “Entah kapan kita akan bertemu lagi.” eh, maaf, ia tidak mengatakannya secara langsung. Hanya melalui sms dari nomor yang selalu kurahasiakan dari siapapun.
Kau menyuruhku menunggu dengan penuh pengharapan pada sebuah waktu yang tidak jelas itu? Kejam. Padahal aku hanya tertarik padamu, dan itu bukan termasuk tindak kejahatan. Lalu balasanmu selalu saja membuatku gelisah! Aku menggerutu sendirian di dalam kamar.
Jam digital di layar HP menunjukkan angka 21. 33 WIB. Pada saat itulah aku mulai menunggu pukul dan hari ‘Entah’ yang ia maksud. Menunggu sambil berharap ada mukjizat datang: angka 22.00 yang tinggal 27 menit lagi berubah menjadi alphabetic lalu menunjukkan waktu ‘Entah’ di layar HP. Mungkinkah masih ada keajaiban bagi orang yang menunggu sesuatu yang tidak jelas? Hanya harapan. Sebatas harapan. Percuma.
Dimulai dari detik itu aku mulai menderita.
[ditulis saat lebih serius]
Ya, penderitaan yang kualami memang tidak sepenuhnya karena dia. Tapi salah satunya memang karenanya. Jika aku menjadi dirinya, aku akan menangis minta pengampunan dosa pada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan sengaja telah menyakiti hati orang miskin: aku atas nama Bikhu Miftah Farid Paulus. dia pun juga telah punya salah pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ingat, anak yatim dan orang miskin dilindungi oleh negara ini.
“Hei, segeralah bertobat!” bentakku pura-pura marah sambil menunjuk fotonya di antara botol minuman jahat. Ha-ha-ha… aku puas melihat dia di foto itu tiba-tiba diam membeku. Sepertinya ketakutan. Padahal seharusnya ia tidak perlu takut padaku, karena aku sebenarnya ingin menghiburnya dengan cara yang berbeda.
Fotonya di antara botol minuman jahat terus menatapku. Tak ada kedip sedikitpun. “Kenapa? Kau tak suka caraku menghiburmu?” tanyaku kemudian. “Kalau begitu hibur saja dirimu sendiri dengan caramu sendiri. Maaf, aku tidak bisa melakukannya. Sebab aku orang lain sehingga harus menyenangkanmu dengan cara yang lain.”
Ia di dalam foto itu tetap diam saja. Tidak pernah mau tahu tentang aku yang ingin mendengar suaranya mengubris perkataanku, seperti perempuan cerewet pada umumnya. Baru kali ini aku sadar bahwa ternyata perempuan manis itu tidak seperti perempuan pada umumnya, bisa jadi termasuk tipe perempuan pada khususnya.
Akhirnya kulempar lagi pertanyaan setelah fotonya lama sekali berdiam diri, tak merespon sepatah kata pun, “Kamu marah karena fotomu berada di antara botol minuman jahat?”
Oh, itu alasanya. Ia rupanya tidak suka fotonya berada di antara minuman jahat. Tanpa banyak menunda waktu, aku mencoba menjelaskan dengan tenang padanya. Kucoba meniru gaya bicara presiden, pelan dan santai sambil memasang wajah memprihatinkan.
”Kamu tahu minuman jahat? Minuman jahat itu biasanya komposisinya adalah air, malt, ragi dan hops. Sedangkan botol minuman jahat itu adalah wadahnya. Biasanya di botolnya itu ada kata-kata bijaknya, entah pepatah dari mana: Peringatan, di bawah umur 21 tahun atau wanita hamil dilarang minum, mengandung alkohol tidak lebih dari 5% V/V.
Ha-ha-ha, aku tertawa. “Umurmu sudah lebih dari 21 tahun. Kau pun juga tidak hamil. Tapi kamu tetap tidak boleh meminumnya. Haram. Nanti doaku tidak akan diterima oleh Tuhan untuk berduaan denganmu di Surga, karena dengan minuman itu kamu akan masuk neraka.”
Perempuan itu tampak tersenyum di foto itu. Ih, kenapa aku bisa jatuh cinta padamu? Padahal kalau kita sampai menikah dan punya anak, aku akan kerepotan menjaga putra dan putri kita karena akan banyak orang yang mengoda, tergila-gila. Tapi, sumpah, aku mau repot. Aku bergumam sendiri memandangi foto berukuran A4 itu.
Dengan tenang aku berkata kembali, “Alasanku menaruh fotomu di antara botol minuman jahat adalah Karena kau dan benda jahat itu sama-sama memabukkan. Bedanya, itu minuman dan kamu manusia, itu haram dan kamu halal. Benar, kamu termasuk golongan yang halal. Sudah kucari dalam kitab suci dan tidak kutemukan satu pun ayat yang mengharamkanmu.”
[ditulis saat sangat serius]
Aku bukan pemabuk dan jangan menuduh seperti itu. Aku hanya punya koleksi banyak botol minuman jahat. Botol-botol itu kubeli dari teman yang suka minum isinya saja. Padahal yang ada kata-kata bijaknya hanya ada di botolnya, tidak pada minumannya. Makanya kubeli saja agar tidak dibuang percuma. Lalu kupajang di kamar, di atas lemari kayu.
Karena botol itu aku terlihat keren. Seperti pemabuk. Pecandu berat minuman jahat. Kemudian akan ada banyak orang yang syuudzon, menganggapku sebagai pemabuk. Semakin banyak orang yang syuudzon padaku, maka akan semakin banyak orang yang akan masuk neraka. Syuudzon kan dilarang Tuhan, akhlak tercela kata-Nya. Oleh karena itu, aku menyarankan padamu agar kau tidak syuudzon padaku. Dengan begitu kau bisa mudah masuk Surga, berduaan denganku di sana.
[Ditulis saat sudah capek dan lapar]
Aku ini memang bukan pemabuk, dan tidak pernah mabuk—kecuali dalam perjalanan, di dalam bus Madura-jogjakarta. Meskipun begitu, janganlah kau mudah terpikat padaku, kerena aku sebenarnya, meminjam bahasanya Pidi, Lelaki buaya angkatan darat.
[Ditulis Saat Lemes]
Sekarang Jam 06.43 Wib. Hari Rabu. Tahun 2013. Kapan tiba pada ‘Entah’? entah.

          Cerpen yang belum diedit. Meskipun diedit harus keseluruahan. Minimal bisa sadar lah, kalau tulisanku masih terbilang jelek. Mungkin aku harus mengamini sabda Ayah Pidi, “Aku tidak bisa menulis dengan ejaan yang disempurnakan, karena aku manusia yang tidak sempurna.” Hmm….
Rabu, 05 November 2013

Bertiga, Bersepeda, Bercerita



Sebagaimana agenda rutinku setiap minggu: bersepeda. Meskipun rutenya sama seperti malam Sabtu kemarin, Gendeng-Malioboro-Nol Kilometer, ada satu hal yang berbeda dari bersepeda sebelumnya: Supriyadi, yang selalu berperan sebagai orang sibuk melayani hamba Allah, juga mau ikut mengayuh sepeda bersama aku dan Hemmam. Jadi malam ini kami bertiga bersepeda ke Malioboro. Hemmam pakai sepeda ‘Si biru Manis’ dengan keranjang cantik di depannya, Supriyadi keren di atas sepeda Polygon Bike To Work dan aku, sebagai orang yang masih belum punya sepeda, dikasih pinjaman sepeda biru tanpa merek oleh duo takmir masjid itu.
Sebelum berangkat, kami bertiga sudah menyiapkan banyak bekal. Ada roti, entah milik siapa yang diambil dengan rasa ‘benar-benar-milikku’ oleh Hemmam di Masjidnya, lalu air mineral dan sebungkus rokok Jarum 16. Kami siap bersepeda sekaligus camping.
Di jalan hanya Supriyadi yang terlihat keren. Rambut mohak (ejaan yang digunakan oleh kakekku dan belum disempurnakan, dan memang tidak mau disempurnakan, karena kakekku bukan manusia yang sempurna), masker coklat menempel di hidung dan mulutnya, pakaian yang digunakannya pun juga cool, seperti sales modern yang pagi-pagi mau berangkat kerja. Padahal kita hanya mau bersepeda, bukan menjual diri maupun sesuatu—he-he… maaf, Supri. Di tambah lagi dengan sepedanya yang keren, Polygon Bike To Work, memperkuat dirinya di posisi pertama sebagai pengayuh paling tampan dan cool di antara kita bertiga.
Hemmam malah terlihat seperti bapak-bapak yang habis pulang berbelanja di pasar. Keranjang sepedanya diisi kresek putih berisi roti besar dan air mineral.
Sementara aku, dengan sepeda pinjaman itu, membayangkan sedang mengayuh Polygon Xtrada 4.0  yang dibeli dari uang beasiswa miskin dan menjual barang-barang berharga yang kumiliki. “Tuhan, aku ingin membeli Polygon. Tapi kenapa aku terus-terusan miskin!” aku ingin berteriak seperti itu di tengah jalan, tapi takut di dengar lalu dikritik habis-habisan oleh Harik: “Seharusnya bangga dong menjadi orang miskin. sebenarnya, kemiskinan itu adalah mukjizat bagi para nabi di zaman sekarang ini. Seharusnya kamu segera sadar agar bisa bangga, karena jarang ada mukjizat miskin seperti ini.”
***
Akhirnya kami bertiga sampai di Nol Kilometer. Supriyadi dan Hemmam memarkir sepedanya di samping kiri pagar Monumen Serang Umum 1 Maret, aku juga mengikuti mereka. Setelah mengunci sepeda. Kami semua lompat pagar untuk masuk ke dalam Monumen itu untuk berleha-leha dan bercerita tentang apa saja sambil menghabiskan bekal yang kita bawa.
Ah, aku tidak mau cerita banyak tentang kejadian di Monumen itu. Kepalaku tiba pusing. Mungkin karena hawa negatif dari pemuda yang pacaran sambil pelukan di depanku. Di belakangku banyak gadis-gadis alay yang haus difoto di depan reilief Pak Harto dan Bu Tien. Sehingga kadang, saat tidak normal, berubah mengganti gambar Pak Harto saat melihat perempuan cantik mendekatkan tubuh dan bibirnya ke gambar presiden ke-dua itu. Ada juga yang membelakanginya dan pura-pura memeluknya. Alangkah bahagianya gambar Pak Harto, pantesan dibibirnya terlihat samar-samar ada senyum mekar. Itu toh  sebabnya.
Astaghfirullah hal adzim. Jangan. Jangan selalu berpikir tentang perempuan. Dosa. Aku jadi teringat kata-kata yang tiba-tiba tersusun rapi dalam kepala, “Perempuan adalah makhluk yang cacat sejak lahir. Ada benjolannya sementara aku tidak. Ada kekurangannya sementara aku adalah kelebihannya.”
Hemmam tertawa mendengar itu. Pasti dianggapnya aku ini sudah mulai gila.
Jam 00.23 WIB aku bilang. Di Alun-Alun ketemu dengan Mahrus, Gubernur Ushuluddin, yang sedang pacaran. Oh, ya, saat di Monumen 1 Maret juga ada Putra, Bupati Filsafat, ia bawa Vespa. Wajahnya terlihat khawatir dan was-was. Karena apa apa? Entah.
Minggu, 03 November 2013

Sastrawan Sangat Besar



Pagi ini aku pura-pura tahu menulis naskah drama. Karena baru pertamakali belajar menulis naskah drama, hasilnya harus jelek seperti kebanyakan penulis pemula. Tentu agar tidak dikira calon penulis naskah terkenal, karena aku hanya ingin membeli sepeda Polygon Xtrada 4.0. Bukan terkenal. Naskah drama pendek ini kuberi judul “Sastrawan Sangat Besar”:
---
Sebelum berangkat ke Gelanggang Teater ESKA, untuk ikut bedah kitab puisi “Prosenium”, tiba-tiba terjadi pertengkaran. Tepatnya adu kata hati antara ‘Aku Yang Sekarang’ versus ‘Aku Sebagai Mantan Penulis Puisi’. Sialnya, dengan kesempurnaan yang tidak kumiliki sepenuhnya, ‘Aku Yang Seutuhnya’ tidak bisa melerai perdebatan sengit anatara mereka berdua. Itu semua terjadi hanya karena persoalan sepele: mengenakan kostum serba hitam di acara bedah puisi.
Aku Sebagai Mantan Penulis Puisi: “Hei, kau kurang ajar.” Kedua matanya merah menyala “Keterlaluan!” sambil membanting puntung rokok ke lantai. “Ini acara bedah puisi, bukan acara pemakaman.” Mantan Penulis Puisi diam sejenak. Nafasnya tersengal. Lalu, ia berbicara kembali setelah merasa emosinya sedikit bisa dikontrol. “Lepas sarung, kaos dan peci hitammu. Ganti dengan baju yang beraroma sastrawan. Jangan permalukan aku dihadapan para sastrawan dengan baju konyol seperti itu.” Nadanya memohon, namun getarannya masih terasa kalau ia masih sedang marah.
Aku Yang Mantan Ketua Gank tiba-tiba muncul dan langsung angkat bicara: “Sudah! Jangan bertengkar hanya gara-gara baju. Malu kalau didengar anak Gorong-Gorong Insitute. Nanti kalian akan dianggap sebagai pendusta agama karena mau merubah takdir menjadi SPG yang selalu punya kewajiban untuk memperhatikan baju. Kalian bukan anak TK lagi. Kalian ini sudah mahasiswa. Seharusnya kalian sudah ikut demo ke mana-mana, baik di dalam negeri ataupun luar negeri. Tapi kalian malah menjadi pengecut. lebih-lebih malah bertengkar karena persoalan sepele.”
Aku Sebagai Mantan Penulis Puisi: “Tutup mulutmu, Mantan Ketua Gank! sangat tidak keren menjadi demonstran jika sehabis teriak di tengah jalan, ia pinjam uang Rp. 5000 untuk membeli nasi telur di Burjo. Kelaparan seperti yang pernah kamu alami beberapa hari yang lalu.
“Kamu tidak Malu? Di dada kaosmu ada gambar Soekarno dengan tangan terkepal, di bawah gambar itu tercetak tulisan “Merdeka atau Mati. Tapi perlu kau ingat juga, Soekarno, idolamu itu, pernah mengatakan ‘Jas Merah: Jangan Lupakan Sejarah”, dan kau punya sejarah berhutang Rp. 5.000 padaku. Ingat. Jangan dilupakan. Jas Merah!” Aku Sebagai Mantan Penulis Puisi berbicara panjangann lebar sambil tersenyum menyindir.
Wajah ‘Aku Yang Mantan Ketua Gank’ menjadi merah padam. Tersinggung. Marah. Namun saat hendak mengeluarkan amarahnya, tiba-tiba Aku Yang Sekarang tertawa keras.
Aku Yang Sekarang: “hahaha… kalian ini memang sukanya bertengkar. Tidak pernah rukun. Aku memakai pakaian serba hitam karena tiga alasan: pertama, aku sedang berduka cita atas Aku Sebagai Mantan Penulis Puisi yang sudah tidak lagi menulis puisi; kedua, aku bebas memakai baju apa saja, dan; ketiga, aku adalah sastrawan sangat besar yang peraturan utamanya adalah selalu memakai pakaian hitam ke mana saja, sebagai tanda belasungkawa atas puisi-puisi yang telah ‘berhasil’ ditulis dari ke kedalaman dan ketenangan jiwa. Kemudian sari-sari jiwa itu sebatas hanya menjadi kata-kata di atas kertas, yang diapresiasi lalu habis-habisan dicaci. Lebih-lebih diajadikan bungkus makanan. Tapi tidak apa-apa, sih. Hitung-hitung itu adalah sebuah trobosan baru, brilian dan elegan untuk tetap menghidupkan puisi lewat bungkus nasi kucing ataupun terasi. Tentu bagi generasi selanjutnya.”
Aku Sebagai Mantan Penulis Puisi: “Ya, benar apa yang kamu katakan. Tapi aku tidak suka kamu mengatakan kalau aku berhenti menulis. karena puisi-puisiku adalah milik tuhan dan semuanya akan kembali ke sisi-Nya. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Puisi-puisiku telah menjadi miliknya kembali, bukan aku berhenti untuk menulis puisi.”
Aku Yang Sekarang: “Eh, sebenarnya tadi aku ngomong apa, sih? Biasa, sastrawan sangat besar memang cenderung tidak nyambung. Kadang tidak terlalu memperhatikan apa yang diucapkannya.”
Aku Yang Mantan Ketua Gank: “Sudah Kita Berangkat.”
Bersambung…
Jum’at, 1 November 2013