Sebagaimana
agenda rutinku setiap minggu: bersepeda. Meskipun rutenya sama seperti malam
Sabtu kemarin, Gendeng-Malioboro-Nol Kilometer, ada satu hal yang berbeda dari
bersepeda sebelumnya: Supriyadi, yang selalu berperan sebagai orang sibuk
melayani hamba Allah, juga mau ikut mengayuh sepeda bersama aku dan Hemmam.
Jadi malam ini kami bertiga bersepeda ke Malioboro. Hemmam pakai sepeda ‘Si
biru Manis’ dengan keranjang cantik di depannya, Supriyadi keren di atas sepeda
Polygon Bike To Work dan aku, sebagai orang yang masih belum punya sepeda,
dikasih pinjaman sepeda biru tanpa merek oleh duo takmir masjid itu.
Sebelum
berangkat, kami bertiga sudah menyiapkan banyak bekal. Ada roti, entah milik
siapa yang diambil dengan rasa ‘benar-benar-milikku’ oleh Hemmam di Masjidnya,
lalu air mineral dan sebungkus rokok Jarum 16. Kami siap bersepeda sekaligus camping.
Di
jalan hanya Supriyadi yang terlihat keren. Rambut mohak (ejaan yang digunakan oleh kakekku dan belum disempurnakan,
dan memang tidak mau disempurnakan, karena kakekku bukan manusia yang sempurna),
masker coklat menempel di hidung dan mulutnya, pakaian yang digunakannya pun
juga cool, seperti sales modern yang
pagi-pagi mau berangkat kerja. Padahal kita hanya mau bersepeda, bukan menjual
diri maupun sesuatu—he-he… maaf, Supri. Di tambah lagi dengan sepedanya yang
keren, Polygon Bike To Work, memperkuat dirinya di posisi pertama sebagai
pengayuh paling tampan dan cool di
antara kita bertiga.
Hemmam
malah terlihat seperti bapak-bapak yang habis pulang berbelanja di pasar.
Keranjang sepedanya diisi kresek putih berisi roti besar dan air mineral.
Sementara
aku, dengan sepeda pinjaman itu, membayangkan sedang mengayuh Polygon Xtrada
4.0 yang dibeli dari uang beasiswa
miskin dan menjual barang-barang berharga yang kumiliki. “Tuhan, aku ingin
membeli Polygon. Tapi kenapa aku terus-terusan miskin!” aku ingin berteriak
seperti itu di tengah jalan, tapi takut di dengar lalu dikritik habis-habisan
oleh Harik: “Seharusnya bangga dong
menjadi orang miskin. sebenarnya, kemiskinan itu adalah mukjizat bagi para nabi
di zaman sekarang ini. Seharusnya kamu segera sadar agar bisa bangga, karena
jarang ada mukjizat miskin seperti ini.”
***
Akhirnya
kami bertiga sampai di Nol Kilometer. Supriyadi dan Hemmam memarkir sepedanya
di samping kiri pagar Monumen Serang Umum 1 Maret, aku juga mengikuti mereka.
Setelah mengunci sepeda. Kami semua lompat pagar untuk masuk ke dalam Monumen itu
untuk berleha-leha dan bercerita
tentang apa saja sambil menghabiskan bekal yang kita bawa.
Ah,
aku tidak mau cerita banyak tentang kejadian di Monumen itu. Kepalaku tiba pusing.
Mungkin karena hawa negatif dari pemuda yang pacaran sambil pelukan di depanku.
Di belakangku banyak gadis-gadis alay yang haus difoto di depan reilief Pak
Harto dan Bu Tien. Sehingga kadang, saat tidak normal, berubah mengganti gambar
Pak Harto saat melihat perempuan cantik mendekatkan tubuh dan bibirnya ke
gambar presiden ke-dua itu. Ada juga yang membelakanginya dan pura-pura
memeluknya. Alangkah bahagianya gambar Pak Harto, pantesan dibibirnya terlihat
samar-samar ada senyum mekar. Itu toh sebabnya.
Astaghfirullah hal adzim.
Jangan. Jangan selalu berpikir tentang perempuan. Dosa. Aku jadi teringat
kata-kata yang tiba-tiba tersusun rapi dalam kepala, “Perempuan adalah makhluk
yang cacat sejak lahir. Ada benjolannya sementara aku tidak. Ada kekurangannya
sementara aku adalah kelebihannya.”
Hemmam
tertawa mendengar itu. Pasti dianggapnya aku ini sudah mulai gila.
Jam
00.23 WIB aku bilang. Di Alun-Alun ketemu dengan Mahrus, Gubernur Ushuluddin, yang
sedang pacaran. Oh, ya, saat di Monumen 1 Maret juga ada Putra, Bupati
Filsafat, ia bawa Vespa. Wajahnya terlihat khawatir dan was-was. Karena apa
apa? Entah.
Minggu, 03 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar