Mungkin Ini yang Terakhir...


Jakob Sumardjo pernah menulis seperti ini: “Sakit adalah keadaan yang tidak seimbang: Sumbang. Ditanya kemana, jawabannya waktu, misalnya malam. Ditanya kapan, jawabannya ruang, misalnya pasar. Kalau ditabuh mestinya berbunyi do, yang keluar malah bunyi de atau dor.” Membaca itu,  sepertinya akhir-akhir ini saya termasuk dalam golongan orang sakit itu, karena setiap kali ada pertanyaan, baik itu pertanyaan tentang waktu atau ruang jawabannya selalu saja sama: dia!
Sudah lama aku terganggu dengan perasaan seperti ini. Perasaan yang muncul dari balik kesunyian hatiku. Anehnya, aku malah senang diganggu dalam perasaan ini. setiap waktu, entah itu malam atau siang, keinginan untuk bertemu dengannya selalu datang dan pergi seperti ombak di pinggir pantai. Aku sendiri tidak tahu, apa yang seharusnya aku lakukan.
Tadi, waktu aku mau ke Perpustakaan, lagi-lagi aku bertemu dengannya. Dia mengenakan kerudung putih, dan baju yang juga sewarna dengan kerundungnya itu. Meskipun tak kulihat senyum di ujung bibirnya yang sempurna, dia tetap terlihat begitu anggun, cantik bak Fatimah putri Nabi yang sering diceritakan oleh kakekku dulu. Ingin sekali aku memanggil nama dan bertegur sapa dengannya, tapi seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam tenggorokanku sehingga aku tak bisa mengucapkan apa-apa.
Jujur aku suka padanya. Bukan karena ia seorang bidadari cantik, berduit, atau apalah yang lainnya yang ada dalam dirinya. Aku punya alasan lain. Dan alasanku itu tidak kutemukan dalam jiwa perempuan lain yang pernah aku kenal. Dia adalah bianglala yang sempurna dalam pandanganku.
Namun aku tak perlu banyak berharap padanya. Karena dilihat dari sikapnya, sepertinya tak ada tanda ia menyukaiku. Aku hargai sikapnya yang seperti ini. Mungkin ia ingin mengajariku menikmati hidup sendiri.
Aku tahu, kalau akhir-akhir ini, baik di catatan harian pribadi atau pun dalam blog baruku ini, aku  selalu menulis tentang perasaanku padanya. Dan aku harap ini mejadi tulisan terakhir yang menampung segala macam perasaanku pada bidadari itu, keinginan untuk kenal lebih jauh dengannya, dan rindu yang selalu mengganggu tidurku. Biarlah perasaan semacam itu kusimpan dalam dada, tanpa harus diketahui oleh siapapun, termasuk catatan harianku. Meskipun pahit akan tetap aku telan. Mungkin itu akan mejadi obat untuk kehidupanku selanjutnya.
Fakih, Imam M, Ong MD, Sanusi dan sahabat-sahabatku lainnya di padepokan seringkali mengatakan, aku ini hanya punya laptop, dan tak punya karya. Apa yang mereka katakan memang benar. Aku memang sudah jarang menulis puisi. Beberapa cerpenku juga banyak bernasib sial, mati di tengah jalan. Dan yang sering aku tulis memang tentang masalah ini, perasaanku padanya. Pekerjaan yang kata mereka seharusnya tidak aku kerjakan.
Dee pernah mengatakan: “Aku menyesal hidup dinunia ini, karena semua orang telah menemukan semuanya. Tapi satu hal yang membuatku tidak menyesal, aku diizinkan untuk mencintaimu.” Meskipun aku tidak diberi kesempatan untuk meraih citanya, aku juga ingin mengatakan: “Aku menyesal hidup di dunia ini, karena semua orang telah menemukan segalanya. Tapi satu hal yang membuatku tidak menyesal, kau telah membuatku merindukanmu.”
Insyaallah, ini akan  menjadi catatan terakhir tentang perasaanku. Aku tak ingin mengganggu ketenangannya.
Selasa, 14 Desember 2010

Kuceritakan Saja Semuanya


Aku tak menemukan satu kata pun yang ingin kutulis pada kertas kosong ini. Akhir-akhir ini gairah membacaku memang semakin terpuruk, jatuh meringis dengan kesibukan-kesibukan yang sebenarnya tak perlu kulakukan. Makanya aku selalu kesulitan dalam menulis.
Berkali-kali aku telah membakar semangat untuk selalu membaca. Hasilnya berkali-kali pula semangat yang ada dalam jiwaku bernasib sial, mati suri dan tak berumur panjang. Aku lebih suka bermain playstation daripada berbulan madu dengan buku dalam kamar. Lebih ingin dimuat di hati si dia daripada karyaku mejeng di surat kabar. Dan lebih senang melayani sms daripada berdiskusi bersama teman-temanku dipondok. Aneh bukan?
Itulah masalah yang akhir-akhir ini menggangguku. Buku-buku yang aku pinjam dari Perpusatakaan tergeletak tak kubaca. Beberapa cerpenku juga menumpuk tanpa ending. Kalau masalah tentang si dia, aku masih dapat meraih hasil, aku masih bisa membuat puisi cinta karena luapan perasaanku yang sudah tak terbendung. Tentunya puisi itu untuk koleksi pribadi. Karena kalau nanti dibacakan saat kajian sastra di pondok, pasti seniorku akan menyendirku, mengatakan aku ini seperti anak SMA. Biarlah. Dan akan tetap kuabadikan semua ceritaku.
...
Boleh saja orang mengatakan, perempuan terlihat cantik itu saat bangun tidur. Roem Topatimasang juga mengatakan kalau perempuan tampil begitu cantik saat mengenakan seragam sekolah. Tadi aku melihat dia. Saat itu dia tidak sedang mengenakan seragam sekolah atau baru bangun tidur, tapi dia menjadi perempuan paling cantik yang kulihat sore itu. Amboi. Andai saja waktu itu ada orang yang menanyakanku seperti apa bidadari surga itu, maka dialah jawabanku.
Temanku berkata padaku, “Jangan terlalu berharap untuk mendapatkan dia, bisa saja kau seperti punguk yang merindukan bulan”. Benar. Biarlah catatan harianku saja yang mengabadikan luapan perasaanku itu, daripada kuungkapkan padanya.
jum’at, 10 Desember 2010

Rakit Merakit Menjadi Satu


Tugas kuliahku semakin menumpuk. Mulai dari materi Pusat Studi Islam, Pancasila dan Kewarganegaraan, al-Qur’an, Hadits dan terakhir Tasawuf. Tugas-tugas itu masih belum kuselesaikan, menumpuk, tumpang tindih dibalut dengan tanda tanya besar, “kapan aku bisa menyelesaikannya?” Sedangkan aku sendiri masih suka menunda-nunda untuk mengerjakannya. Dan sang waktu yang tak pernah jatuh hati padaku itu terus melaju meninggalkanku.
Pada tanggal 06 Juni 1969, almarhum Ahmad Wahib menulis dalam catatan hariannya: “Saya kira semangat yang tepat untuk semua itu adalah membuat hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Motto seperti itu harus senantiasa dihidupkan dalam jiwa kita”. Jika nilai baik dan tidaknya suatu hidup ditentukan dengan itu, maka boleh dikatakan aku ini tidak baik, karena semangat yang bersemayam dalam jiwaku selalu berada dalam keadaan krisis.
Sukurlah, beberapa menit yang lalu tugas Pancasila untuk besok sudah selesai kukerjakan. Meskipun tugas tersebut merupakan hasil rakitan dari beberapa tulisan yang aku dapat dari adinda Google, aku merasa senang. Karena hanya seperti itu yang dapat aku lakukan. Tapi besok aku akan berkata jujur kalau hasil tugasku itu merupakan karya rakitanku terhadap beberapa tulisan orang di dunia maya. Aku rasa seperti itu lebih baik daripada sok pintar menulis, sok paham dengan tugas makalah besok, apalagi harus sok cerdas di hadapan teman-temanku.
Jam di laptopku sudah menunjukkan jam 0:45. Bungkus Nescafe sudah tergolek kedinginan di dekat pintu. Tak kutemukan satu titik cahaya pun di langit, hanya dia yang ada dan terus menyala dalam ingatanku. Aku teringat sepotong kalimat anggun Romeo pada pujaan hatinya, “Kekasih, engkaulah matahari yang tak pernah terbenam. Engkaulah yang mengajari pelita bercahaya...” tak munkin aku dapat mengatakan seperti itu pada dia. karena dia bukan kekasihku, bukan pacarku, dan bukan apa-apaku. Lagi pula aku seorang penakut, tak mungkin berani mengungkapkan perasaan semacam itu.
“Ah, lagi-lagi aku teringat dia.”
Kamis, 09 Desember 2010

Si Nona Misterius


Aku membaca buku di perpus. Sesekali juga berselancar di dunia maya, mengunjungi blogku, melihat berita di detik.com, memeriksa email, update anti virus, dan kadang juga menulis catatan harian. Aneh! Sampai pagi ini bayangan perempuan anggun itu tetap ada. Hatiku tetap beriak penuh gelombang berharap kedua mataku melihat sesosok perempuan reingkarnasi bidadari itu lewat didepanku.
Taylor Swift, pelantun hits 'Love Story', dinobatkan sebagai entertainer terbaik tahun ini. Gadis asal Pennsylvania, Amerika Serikat itu terlihat anggun dan begitu mempesona dengan senyum madunya dalam surat kabar yang pagi ini aku baca. Tapi secantik-cantiknya dia tak membuatku ‘gila’ dan tidak nyenyak tidur setiap malam seperti ini. Hanya si perempuan misterius level tiga yang selalu membuatku tersiksa dengan segudang kerinduan yang terus memburu dirinya, mengharap bisa bertemu dengannya meski sebentar saja.
...
Aku benci jika terus bercerita tentang perempuan itu seperti ini. Akhir-akhir ini catatan harian pribadi dan blogku memang sudah banyak dipenuhi dengan cerita-cerita seperti ini, cerita tentang perasaanku yang menggebu-gebu pada sosok perempuan misterius itu. Alangkah bodoh dan tololnya aku jika waktu yang begitu berharga ini digunakan hanya untuk melayani perasaan semacam itu. sedangkan dia tidak pernah memperhatikanku.
Aku ingin pergi dari rasa ini. Ingin melangkah jauh ke arah yang memang ingin aku tuju, menjadi aku!
Sabtu, 04 Desember 2010

Masyaallah, Hujan Lagi!


Hari ini aku tidak pulang ke padepokan. Hujan deras yang tak urung reda ini membuatku takut kedinginan mengayuh sepeda merahku menuju tempat tinggal baruku di Jogja, Padepokan Zainal Arifin Thoha (P-ZAT), yang jaraknya kurang lebih sepuluh kilometer dari kampus. Untuk sampai ke tempat baruku itu, butuh waktu satu jam aku harus mengayuh sepeda. Hanya semangat belajar yang aku punya, jadi tak perlu kau tanyakan kenapa aku tidak kos di dekat kampus saja.
Malam ini aku menginap di tempatnya Supriyadi, Masjid Muhammadiyah al-Falah, Gendeng. Supriyadi dan Hemmam menjadi takmir di Masjid Muhammadiyah itu. Mereka berdua juga sama sepertiku, nekat kuliah di Jogja hanya dengan modal semangat belajar. Aku sendiri memang tidak menjadi Takmir Masjid, tapi tempat tinggalku juga gratis, sama seperti mereka.
Begitulah memang resiko mahasiswa yang tempat tinggalnya jauh dari kampus. Harus menginap di kos teman yang dekat kampus jika hujan deras seperti ini, tak punya tenaga untuk pulang karena perut lapar, dan jika sepeda merahku ngambek tak mau jalan terpaksa aku juga harus menginap di kos teman, jadi tak salah jika teman-temanku di kelas mengatakan aku seorang penjajah kos.   
Tengtang biaya hidupku di Jogja, kadang aku minta kiriman uang pada orang tua di rumah jika sudah berhari-hari tidak pegang uang, sebenarnya minta kiriman uang seperti ini tidak dibenarkan di Padeponkanku, kami semua dituntut untuk hidup mandiri. Ya, satu-satunya solusi mendapatkan uang untuk bertahan hidup adalah dengan menulis, mulai dari menulis puisi, cerpen, essai, kolom dan opini. Dengan tulisan itu kami, teman-teman P-ZAT, berlomba untuk mengirimnya ke media, nah, karya yang dimuat akan membuat si mpunya bersiul bahagia karena sebentar lagi akan dapat honor dari media yang telah menerbitkan tulisannya itu. Tapi sayang sampai saat ini masih belum ada karyaku yang dimuat di media, makanya terkadang aku masih suka minta kiriman pada orang tua di rumah.
Sebenarnya aku tidak mau hidup senang di atas jerih payah orang tuaku seperti ini. Aku ingin hidup mandiri seperti sahabat-sahabatku di padepokan. Aku juga harus sadar kalau ayah-ibuku bukanlah seorang kaya raya yang siap mengirimiku uang setiap saat. Ayah-ibuku adalah seorang pedagang pinggir jalan yang selalu bangkrut dan mengeluh tak punya modal. Dengan hasil pas-pasan mereka harus menanggung biaya hidup dua buah hatinya, aku dan adik kecilku. Makanya aku selalu takut dan malu untuk meminta uang pada mereka. Aku takut kalau ayah-ibu sedang tidak punya uang dan masih banyak kebutuhan. Dan aku juga malu untuk selalu merengek minta uang pada mereka, karena semangat belajarku masih jauh dari sempurna, masih tak seperti harapan mereka.
Oleh karena itu, semangat belajar harus kupupuk kembali. Kegiatan membaca-menulis tidak hanya sampai di sini. Dan terus semangat untuk menggapai mimpi-mimpi yang telah kutulis dalam hati sanubari. Mungkin dengan begitu aku bisa menjadi wujud baktiku pada kedua orang tua.
...
Hari ini persahabatan futsal antara kelasku, Aqidah dan Filsafat, dengan anak Tafsir Hadits. Pertandingan awal aku main sebentar, kemudian aku minta diganti sama Reza. Capek banget, kaos yang aku kenakan basah dengan keringat, selama ada di lapangan tak satupun gol bisa aku sumbangkan untuk kelasku. Saat keluar meninggalkan lapangan aku tersenyum malu pada diriku sendiri, yang masih mau bermain futsal walau sudah jelas-jelas aku seperti Tom yang tak pernah berhasil menangkap Jery.
Aku tidak tahu hasil akhir pertandingan itu, karena aku pulang sebelum pertandingan selesai. Tapi saat aku pulang, bani Filosof memang sudah banyak kemasukan gol. Entah sahabat-sahabatku bisa mengejar ketertinggalan itu, atau malah semakin tertinggal. Tapi semoga saja tidak seperti itu, paling tidak mereka bisa menyamakan kedudukan.
...
Saat aku bangun tidur kulihat ada satu pesan di hpku. Pesan itu dari Reza, teman sekelasku yang logat Bandungnya kental banget di lidahnya. Pesannya seperti ini: Dalam permainan memang ada menang dan kalah. Wajar kalau hari ini anak Tafsir Hadits menang, karena mereka memang begitu bernafsu untuk menang. Sedangkan kita masih tidak bisa melepaskan kegiatan berpikir, berpikir bagaimana caranya untuk menang. Meskipun berpikir itu dilakukan ditengah lapangan, saat bermain futsal.
Aku bingung membaca pesan itu, bingung antara memilih untuk tersenyum atau bersedih. Jika aku tersenyum berarti aku tidak ikut sedih hati dengan kekalahan AF atas THK. Dan jika aku bersedih berarti aku tak menghargai humor Reza yang tentunya ingin menghiburku. jadi aku hanya bisa diam temenung. Dan semoga saja sahabat-sahabatku di AF tidak pernah melepaskan diri dari kegiatan berpikir. “Think Different” Einstein.
Sabtu, 04 Desember 2010