Bulan
Januari adalah bulan yang berisik. Dimulai dengan ledakan kembang api, lengkingan
tiupan terompet, ucapan doa yang berhamburan. Lalu, pada bulan itu juga ada Ujian
Akhir Semester (UAS), pembagian beasiswa miskin, liburan kuliah, pembayaran
SPP, input KRS dan hura-hura.
Aneh
memang. Memang aneh. Dalam kepala hanya ada tanya tanpa jawab, “Kenapa Januari
begitu padat dengan kegiatan yang tak jelas raut maknanya?” Mungkin karena
Januari memang ingin menjadi bulan yang paling gemuk di antara sebelas bulan
lainnya. Bulan yang gemuk oleh lemak bernama ketidakjelasan.
Namun
aku tidak ingin melupakan semua yang sudah terjadi di bulan itu. Sebab segala
yang terjadi adalah guru bijak yang akan mengajari kita untuk tidak memikul
penyesalan yang sama. Sebab karena semua itu aku juga ada pada Februari yang
entah apa yang akan terjadi. Sebab….dan sebab lainnya.
Tahun
Baru
Entah
sejak kapan tahun baru, yang jatuhnya selalu di bulan Januari itu harus
dirayakan dengan taburan kembang api di langit, suara terompet, dan menggantung
banyak harapan di ujung setiap doa. Inilah awal dari bulan Januari yang
berisik.
Aku
yakin semua itu bukanlah ajaran nenek moyang bangsa ini, tempatku dilahirkan
dan dibesarkan. Bukankah dari dulu kita sudah tahu, biasanya kata seorang guru
SD kelas III-V, bahwa nenek moyang kita adalah seorang pelaut? Bukan pembuat
kembang api atau pedagang terompet keliling. Lalu kenapa harus ada pesta
kembang api dan senang-senang dengan meniup terompet sepanjang jalan untuk
merayakan datangnya tahun baru? Kurasa bangsa ini sudah mulai tidak menghargai
nenek moyangnya sebagai seorang pelaut!
Seharusnya,
pada malam tahun baru, kita berlayar ke tengah laut. Mengunjungi ketenangan
dengan berbantalkan ayunan ombak, dan angin yang lembut membelai. Di atas kita
ada bintang gemintang yang mengurung kita dengan keindahan yang tak pernah
habis. Di tengah hamparan laut, kita juga bisa menghakimi diri sendiri: tentang
diri yang terkadang merasa lebih dari macam segala.
Tapi
akhir-akhir ini aku selalu hanyut dalam keraguan. Benarkah nenek moyang
bangsaku ini adalah seorang pelaut? Sebab ia tidak meninggalkan KTP ataupun
kartu keluarga yang meyakinkan bahwa beliau memang benar-benar seorang pelaut.
Oleh
karena itu, malam tahun baru 2014 ini aku hanya di kamar saja. Menikmati
persembunyian sebagai seorang buronan kerajaan Surga.
UAS
UAS
juga tidak kalah berisik. Perpustakaan tiba-tiba jadi sesak oleh
mahasiswa-mahasiswi yang tiba-tiba butuh bahan bacaan. Kelas, laboratorium,
taman, kantin dan semua tempat di kampus penuh dengan orang yang asik membaca. Semuanya
haus teori, rakus melahap buku-buku dan begitu bernafsu menghafal rumus-rumus.
Berbagai macam bahan bacaan seakan mendapat siksa yang pedih di hadapan para ‘hama
buku’ itu.
Setiap
sore dan malam, selalu ada mahasiswa membentuk forum diskusi yang sebelumnya
tak pernah mereka lakukan. Melihat semua itu, kadang aku menaruh harap: kiamat segera
datang mengamuk. Agar para ‘hama buku’ itu meninggal dalam keadaan sedang
menuntut ilmu, atau paling tidak mati dalam keadaan khusnul khotimah.
Sungguh
mulia takdir mereka kan!
Beasiswa
Miskin
Aku
yakin ini adalah beasiswa paling menyedihkan.
Waktu
itu, hari pembagian ATM Beasiswa Miskin, aku sudah mempersiapkan diri sejak
pagi—sampai dibela-belain tidur di kampus segala. Takut terlambat. Karena bagi mahasiswa miskin, waktu adalah hal
yang sangat penting dan berharga. Jika terlambat sedikit saja perut bisa
langsung melilit kelaparan, atau tiba-tiba penyakit magh kambuh, atau bisa juga
langsung kena busung lapar. Makanya menjadi mahasiswa miskin harus bisa menghargai
waktu. Sebisa mungkin jangan sampai terlambat dalam acara atau kondisi apa pun.
Pagi
sekali aku mandi dengan sabun pinjaman, sampo dan sikat gigi yang statusnya
juga sama: minjem. Ingat, mahasiswa
miskin, bro. Tidak boleh ada kata
jijik. Emang buat apa jijik, kan memang tidak ada uang untuk membelinya.
Dandananku
pun sudah mencerminkan penampilan mayoritas orang miskin di negeri ini: celana loreng,
karena warnanya memang sudah luntur dan reslitingnya pun juga sudah lumpuh.
Maklum celana yang sudah mulai udzur;
kaos hitam kumuh bekas kakak kelas yang sudah tidak terpakai; dan jas kolot
milik kakek.
Sebelum
berangkat menuju Bank, aku berdiri di
depan cermin besar di dalam toilet kampus. Balik kiri, balik kanan sambil
bersiul merapikan jas. Melihat diriku di dalam cermin, aku merasa bangga dan pantas mendapatkan
beasiswa miskin. Apalagi dengan sepasang sepatu yang bolong di bagian jempol
kaki, dunia seakan berbisik di telingaku, “kamu adalah mahasiswa miskin yang
paling gagah tahun ini”.
Aku
merasa tak perlu malu senyum-senyum sendirian sepanjang jalan menuju Bank.
Namun
aku kecewa setelah sampai di depan Bank. Ternyata sudah ada mahasiswa miskin
yang lebih pagi dariku. Jumlahnya puluhan, mengular, berbaris, mengantri. Aku
misuh di dalam hati, menyalahkan diri sendiri.
Dan
yang membuatku sangat sedih, tak ada satu pun di antara mahasiswa miskin yang mengantri
itu lebih miskin dariku. Penampilan mereka mencerminkan golongan mahasiswa
berpunya, mahasiswa mampu. Buktinya mereka mampu mengendarai motor cowok keren,
mampu membawa motor matic menarik, mampu be-be-e-man,
dan mampu twitter-an di smart
phone-nya sambil menunggu nomor antrian.
Tahu,
gak? Selama mengantri mereka begitu berisik. Ngobrol sana-sini dan sana-situ.
Aku pengen muntah mendengarnya. Tapi
sayang, tak ada apa-apa di dalam perut untuk dimuntahkan.
SPP
SPP
di kampusku hanya enam ratus ribu rupiah. Jumlah nominal yang boleh dibilang
murah. Bahkan, kata kebanyakan orang, memang sangat murah untuk ukuran kampus
yang fasilitasnya tidak kalah…. wah. Tapi bagiku tidak, tidak semurah yang
kebanyakan orang katakan.
Memang
benar aku mahasiswa miskin yang sedang ketiban dua juta rupiah runtuh. Mudah
kalau cuma mau menyerahkan enam ratus ribu rupiah ke kampus. Tapi aku juga
masih harus membayar uang kos, uang listrik perbulan, melunasi hutang-hutang
pada kawan, mentraktir teman miskin yang tidak mendapatkan beasiswa miskin,
membeli buku bacaan kuliah dan ditambah lagi untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Uang miskin yang dua juta ribu rupiah akan minus beberapa ratus rupiah.
Lalu,
masih haruskah kusamakan pendapat bahwa SPP kampusku adalah yang termurah? Ah….
berisik. Tapi aku mampu melunasinya.
Input
KRS
KRS
adalah Kartu Rancangan Studi. Input KRS adalah ngambil matakuliah sesukamu. Boleh banyak, boleh sedikit, boleh
asal-asalan, boleh sembarangan. Yang penting kamu senang dengan matakuliah yang
kamu ambil. Jika mengambil matakuliah yang tidak membuatmu senang, atau
terpaksa, itu berarti karena kamu memang senang punya takdir buruk.
Semester
genap ini aku ngambil 22 SKS.
Sementara temanku hanya 10 SKS, enam SKS, dan ada juga yang sudah lulus
munaqasah. Setiap kali bertemu dengan mereka-mereka yang kehabisan materi itu,
aku selalu diejek sebagai mahasiswa baru dengan semangat menggelora ngambil
matakuliah banyak-banyak. Katanya, mereka juga ingin membantu mengurangi beban
SKS-ku yang terlalu berat untuk mahasiswa tua di semester tua.
Ah…..
Brengsek! Kenapa mereka tidak mau menghargai usahaku untuk menjadi penutup para
wisudawan, seperti Muhammad yang menjadi penutup para nabi.
Liburan
kuliah
Aku
tetap di Jogja. Orang rumah melarangku untuk pergi ke Bandung, karena musim
hujan yang kejam, katanya. Karena banjir yang tak pandang orang, alasannya.
Karena dunia yang selalu berbagi musibah pada siapa saja, larangnya.
Dan
aku kecewa.
…
Aku
berharap Februari tidak seperti Januari.
Rabu, 05 Februari 2014