Kuliah, Dosen dan Tugas




Masuk kuliah, membuat makalah dan presentasi hanya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang bersama teman-teman. Bukan karena kuliah itu tidak penting, bukan karena tidak bisa membuat makalah, bukan pula karena tidak bisa mempresentasikan sebuah makalah, tapi teman-temanku akan ada banyak yang iri jika aku memiliki prestasi  bagus di kampus. Lagi pula, meminjam ucapan Ko-Teng dalam film You Are The Aple of My Eyes, “Kalau aku belajar giat, kemampuanku akan menjadi terlalu hebat, sampai-sampai… aku sendiri pun akan takut.”
Sayangnya pada semester sembilan ini aku malah banyak diberi tugas kuliah. Mulai dari matakuliah Ontologi/Metafisika, Tasawuf Nusantara, Studi Teks Akidah dan Filsafat, dan Filsafat Islam Tematik II: Kosmologi. Secara tidak langsung semua dosen pengampu matakulaih itu mewajibkanku banyak membaca berbagai literatur, sebagai penambah gizi bagi wawasan intelektual.
Padahal semestinya semua dosen itu tahu, tentang betapa berbahayanya jika aku tahu banyak hal. “Tahu sedikit hal saja, aku sudah bisa ‘membodohi’ banyak orang. Apalagi menjadi seorang yang pintar, cerdas dan brilian? Bisa dibayangkan, betapa berbahayanya.” Kata Mang Reza, yang kuamini setelah melewati perenungan panjang.
Dosen itu memang tidak mahasiswawi. Tidak berprikemahasiswaan!
Memang hanya siswa yang akan memiliki gelar maha: mahasiswa. Mahasiswa selalu berusaha untuk bisa mahatahu, dengan usaha banyak mencari tahu, tentang segala hal. Sedangkan dosen tidak ada yang mahadosen. Ia tidak tahu apa-apa. Termasuk kesedihanku dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah yang diembankan padaku, serta konsekuensi logis yang harus diterima banyak orang dari kemahahebatan kecerdasan yang tidak lama lagi akan kumiliki. Mungkin bagi dosen, pengetahuan tentang seluk-beluk mahasiswa adalah kealpaan dari pengetahuannya. 
Aku yang selalu berusaha menghindar untuk tidak begitu giat belajar, ternyata masih ada yang mengharuskan. Memang benar kata orang, bila jodoh tak akan kemana. Tidak akan lama lagi, aku memang akan menjadi orang hebat, bahkan akan terlampau hebat.
“Yang penting, bagi semua orang, berhati-hatilah mulai dari sekarang. Atau, jangan-jangan, kecerdasanku menjadi tanda-tanda kiamat? Bukan.”  


Rabu, 14 Februari 2014

Bulan Januari Yang Berisik



Bulan Januari adalah bulan yang berisik. Dimulai dengan ledakan kembang api, lengkingan tiupan terompet, ucapan doa yang berhamburan. Lalu, pada bulan itu juga ada Ujian Akhir Semester (UAS), pembagian beasiswa miskin, liburan kuliah, pembayaran SPP, input KRS dan hura-hura.
Aneh memang. Memang aneh. Dalam kepala hanya ada tanya tanpa jawab, “Kenapa Januari begitu padat dengan kegiatan yang tak jelas raut maknanya?” Mungkin karena Januari memang ingin menjadi bulan yang paling gemuk di antara sebelas bulan lainnya. Bulan yang gemuk oleh lemak bernama ketidakjelasan.
Namun aku tidak ingin melupakan semua yang sudah terjadi di bulan itu. Sebab segala yang terjadi adalah guru bijak yang akan mengajari kita untuk tidak memikul penyesalan yang sama. Sebab karena semua itu aku juga ada pada Februari yang entah apa yang akan terjadi. Sebab….dan sebab lainnya.

Tahun Baru
Entah sejak kapan tahun baru, yang jatuhnya selalu di bulan Januari itu harus dirayakan dengan taburan kembang api di langit, suara terompet, dan menggantung banyak harapan di ujung setiap doa. Inilah awal dari bulan Januari yang berisik.
Aku yakin semua itu bukanlah ajaran nenek moyang bangsa ini, tempatku dilahirkan dan dibesarkan. Bukankah dari dulu kita sudah tahu, biasanya kata seorang guru SD kelas III-V, bahwa nenek moyang kita adalah seorang pelaut? Bukan pembuat kembang api atau pedagang terompet keliling. Lalu kenapa harus ada pesta kembang api dan senang-senang dengan meniup terompet sepanjang jalan untuk merayakan datangnya tahun baru? Kurasa bangsa ini sudah mulai tidak menghargai nenek moyangnya sebagai seorang pelaut!
Seharusnya, pada malam tahun baru, kita berlayar ke tengah laut. Mengunjungi ketenangan dengan berbantalkan ayunan ombak, dan angin yang lembut membelai. Di atas kita ada bintang gemintang yang mengurung kita dengan keindahan yang tak pernah habis. Di tengah hamparan laut, kita juga bisa menghakimi diri sendiri: tentang diri yang terkadang merasa lebih dari macam segala.
Tapi akhir-akhir ini aku selalu hanyut dalam keraguan. Benarkah nenek moyang bangsaku ini adalah seorang pelaut? Sebab ia tidak meninggalkan KTP ataupun kartu keluarga yang meyakinkan bahwa beliau memang benar-benar seorang pelaut.
Oleh karena itu, malam tahun baru 2014 ini aku hanya di kamar saja. Menikmati persembunyian sebagai seorang buronan kerajaan Surga.

UAS
UAS juga tidak kalah berisik. Perpustakaan tiba-tiba jadi sesak oleh mahasiswa-mahasiswi yang tiba-tiba butuh bahan bacaan. Kelas, laboratorium, taman, kantin dan semua tempat di kampus penuh dengan orang yang asik membaca. Semuanya haus teori, rakus melahap buku-buku dan begitu bernafsu menghafal rumus-rumus. Berbagai macam bahan bacaan seakan mendapat siksa yang pedih di hadapan para ‘hama buku’ itu.
Setiap sore dan malam, selalu ada mahasiswa membentuk forum diskusi yang sebelumnya tak pernah mereka lakukan. Melihat semua itu, kadang aku menaruh harap: kiamat segera datang mengamuk. Agar para ‘hama buku’ itu meninggal dalam keadaan sedang menuntut ilmu, atau paling tidak mati dalam keadaan khusnul khotimah.
Sungguh mulia takdir mereka kan!

Beasiswa Miskin
Aku yakin ini adalah beasiswa paling menyedihkan.
Waktu itu, hari pembagian ATM Beasiswa Miskin, aku sudah mempersiapkan diri sejak pagi—sampai dibela-belain tidur di kampus segala. Takut terlambat.  Karena bagi mahasiswa miskin, waktu adalah hal yang sangat penting dan berharga. Jika terlambat sedikit saja perut bisa langsung melilit kelaparan, atau tiba-tiba penyakit magh kambuh, atau bisa juga langsung kena busung lapar. Makanya menjadi mahasiswa miskin harus bisa menghargai waktu. Sebisa mungkin jangan sampai terlambat dalam acara atau kondisi apa pun.
Pagi sekali aku mandi dengan sabun pinjaman, sampo dan sikat gigi yang statusnya juga sama: minjem. Ingat, mahasiswa miskin, bro. Tidak boleh ada kata jijik. Emang buat apa jijik, kan memang tidak ada uang untuk membelinya.
Dandananku pun sudah mencerminkan penampilan mayoritas orang miskin di negeri ini: celana loreng, karena warnanya memang sudah luntur dan reslitingnya pun juga sudah lumpuh. Maklum celana yang sudah mulai udzur; kaos hitam kumuh bekas kakak kelas yang sudah tidak terpakai; dan jas kolot milik kakek.
Sebelum berangkat menuju  Bank, aku berdiri di depan cermin besar di dalam toilet kampus. Balik kiri, balik kanan sambil bersiul merapikan jas. Melihat diriku di dalam cermin,  aku merasa bangga dan pantas mendapatkan beasiswa miskin. Apalagi dengan sepasang sepatu yang bolong di bagian jempol kaki, dunia seakan berbisik di telingaku, “kamu adalah mahasiswa miskin yang paling gagah tahun ini”. 
Aku merasa tak perlu malu senyum-senyum sendirian sepanjang jalan menuju Bank.
Namun aku kecewa setelah sampai di depan Bank. Ternyata sudah ada mahasiswa miskin yang lebih pagi dariku. Jumlahnya puluhan, mengular, berbaris, mengantri. Aku misuh di dalam hati, menyalahkan diri sendiri.
Dan yang membuatku sangat sedih, tak ada satu pun di antara mahasiswa miskin yang mengantri itu lebih miskin dariku. Penampilan mereka mencerminkan golongan mahasiswa berpunya, mahasiswa mampu. Buktinya mereka mampu mengendarai motor cowok keren, mampu membawa motor matic menarik, mampu be-be-e-man, dan mampu twitter-an di smart phone-nya sambil menunggu nomor antrian.
Tahu, gak? Selama mengantri mereka begitu berisik. Ngobrol sana-sini dan sana-situ. Aku pengen muntah mendengarnya. Tapi sayang, tak ada apa-apa di dalam perut untuk dimuntahkan.

SPP
SPP di kampusku hanya enam ratus ribu rupiah. Jumlah nominal yang boleh dibilang murah. Bahkan, kata kebanyakan orang, memang sangat murah untuk ukuran kampus yang fasilitasnya tidak kalah…. wah. Tapi bagiku tidak, tidak semurah yang kebanyakan orang katakan.
Memang benar aku mahasiswa miskin yang sedang ketiban dua juta rupiah runtuh. Mudah kalau cuma mau menyerahkan enam ratus ribu rupiah ke kampus. Tapi aku juga masih harus membayar uang kos, uang listrik perbulan, melunasi hutang-hutang pada kawan, mentraktir teman miskin yang tidak mendapatkan beasiswa miskin, membeli buku bacaan kuliah dan ditambah lagi untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Uang miskin yang dua juta ribu rupiah akan minus beberapa ratus rupiah.
Lalu, masih haruskah kusamakan pendapat bahwa SPP kampusku adalah yang termurah? Ah…. berisik. Tapi aku mampu melunasinya.

Input KRS
KRS adalah Kartu Rancangan Studi. Input KRS adalah ngambil matakuliah sesukamu. Boleh banyak, boleh sedikit, boleh asal-asalan, boleh sembarangan. Yang penting kamu senang dengan matakuliah yang kamu ambil. Jika mengambil matakuliah yang tidak membuatmu senang, atau terpaksa, itu berarti karena kamu memang senang punya takdir buruk.
Semester genap ini aku ngambil 22 SKS. Sementara temanku hanya 10 SKS, enam SKS, dan ada juga yang sudah lulus munaqasah. Setiap kali bertemu dengan mereka-mereka yang kehabisan materi itu, aku selalu diejek sebagai mahasiswa baru dengan semangat menggelora ngambil matakuliah banyak-banyak. Katanya, mereka juga ingin membantu mengurangi beban SKS-ku yang terlalu berat untuk mahasiswa tua di semester tua.
Ah….. Brengsek! Kenapa mereka tidak mau menghargai usahaku untuk menjadi penutup para wisudawan, seperti Muhammad yang menjadi penutup para nabi.

Liburan kuliah
Aku tetap di Jogja. Orang rumah melarangku untuk pergi ke Bandung, karena musim hujan yang kejam, katanya. Karena banjir yang tak pandang orang, alasannya. Karena dunia yang selalu berbagi musibah pada siapa saja, larangnya.
Dan aku kecewa.
Aku berharap Februari tidak seperti Januari.


Rabu, 05 Februari 2014