Ken,
tadi pagi itu sebenarnya aku mau ikut ujian Filsafat Pancasila. Tapi sebelum
masuk ruangan 1 K 1, ruangan favorit Pak Sudin, kamu menyapaku di belakang Wall
Climbing sambil lalu memelankan laju motor supramu. Kamu seakan sutradara
sekaligus aktris professional yang tahu membuat adegan gerak lambat untuk menciptakan
suasana yang romantis, dan kamu telah berhasil tadi pagi. Selamat!
“Bikhu!”
teriakanmu terdengar merdu.
“Hei,
Niken!” balasku.
Tatapan
manismu jatuh sempurna ke arahku. dengan senyum yang ditahan kamu sudah
keterlaluan membuatku mengebu-gebu, seperti orang alim yang, kata-Nya, bergetar
hatinya saat dibacakan ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun nyaris tak membuka mata, kamu
tampil dan terlihat begitu manis. Sungguh, aku tidak sedang berbohong. Bahkan,
aku berhayal bisa diserempet motor kamu, biar aku bisa minta ganti rugi untuk
melihat kamu lebih lama.
Seharusnya
kamu menjelaskan maksud dari luapan kebahagiaanmu itu saat bertemu aku, agar
tidak semakin menambah bebanku: selalu kepikiran tentang kamu. Jika terus
begini, lama-lama aku bisa jatuh cinta padamu. Sementara jatuh cinta itu sesunguh
adalah adzab yang sangat pedih, karena harus panas-dingin saat bertemu dengan
seorang yang dicintai. Aku tidak ingin hal seperti itu terjadi, apalagi antara
aku dan kamu.
Kamu
tahu tidak? Pasti tidak tahu. Karena kamu tidak akan mungkin bisa membaca
segala hal yang ada di dalam benakku. Sebenarnya aku ini punya bakat untuk membedakan
perempuan cantik dan jelek sejak kelas V Madrasah Ibtidaiyah (MI). Memang bakat
yang jarang dimiliki oleh kebanyakan orang, apalagi bagi anak seumuran itu.
Buktinya, teman-temanku dulu banyak yang ingin duduk berduaan sama Nur Nyi
Sa’ada, padahal sebenarnya Cici kebih cantik; Sarbini jatuh cinta pada Neng
Yat, padahal Halimah lebih cantik dan lebih seksi, dan banyak cerita lainnya
yang tidak perlu aku ceritakan, jika terlalu banyak bercerita tentang masa
kecilku akan banyak terbongkar rahasiaku sebagai satu-satunya ketua gank di
madrasah. Kamu akan takut padaku.
Ken,
kamu ingin tahu tidak? Kamu termasuk perempuan golongan yang mana dalam
penilaianku? Selamat. Kamu beruntung. Kemampuan alamiku mengatakan bahwa kamu
termasuk perempuan yang cantik.
Penilaianku
tidak pernah salah, loh. Sudah teruji
berkali-kali. Bahkan sebelum lahir ke dunia ini pun aku sudah bisa membedakan
dan memilih perempuan mana yang akan kujadikan ibu. Waktu itu banyak pilihan, di
antara miliaran perempuan yang harus kupilih satu. Aku juga tahu ada ibumu di
antara perempuan-perempuan itu, tapi aku tidak memilihnya, karena pilihanku
jatuh pada perempuan bernama Insiyah binti Razaq. Alasanku tidak memilih ibumu
bukan karena beliau tidak secantik ibuku, tapi aku takut menjadi saudara
kandungmu. Coba bayangkan saja Ken jika kita lahir dari rahim perempuan yang
sama, kita akan menjadi muhrim sejak
lahir dan wudlu’ku tidak akan pernah batal jika aku dan kamu bersalaman. Hem…
tidak asyik, kan.
Oh,
ya. Ada satu hal yang aku lupa. Saat kamu menyapa manis padaku tadi pagi,
kupikir itu bukan niken yang dulu pernah aku kenal, tapi niken yang sekarang
mencintaiku. Benar tidak? Kuharap jawabanku salah. Sebab aku hanya ingin benar
dalam menjawab soal-soal filsafat pancasila.
Senin, 28
Oktober 2013