Pamer Kemiskinan


Sedangkan aku tidak punya uang, teman-teman angkatan 2010 malah mengajakku jalan-jalan ke pantai Indrayanti. Apa yang seharusnya aku lakukan apabila mereka memiliki alasan sebuah keakraban, kebersamaan dan untuk menjalin hubungan emosianal lebih dekat lagi? aku tidak punya jawaban di antara pilihan yang sudah tidak ada.
Aku ingin bersama dengan kalian, aku juga ingin lebih akrab pada kalian, tapi tidak hanya pada saat jalan-jalan.

Rocky Akhirnya Kembali


          Kasian si Rocky, sandal jepit warna hitam bernomor punggung sepuluh yang aku beli sepuluh ribu itu di pakai Hemmam Nasiruddin. Si Rocky pasti kesakitan selama dua hari ini, diinjak kaki Pak Takmir yang kasar itu, sepasang kaki yang tidak berprikesandalan. Hari-harinya pasti tersiksa, mungkin merasa seperti hidup di Jerman semasa Hitler berkuasa. Oh, kasian sekali kau wahai sandal jepitku.
          Akupun sangat merindukan si Rocky. Rindu yang tak bisa diampuni lagi, menusuk sampai tulang, berdengung di ubun-ubun. Aku ingin ditemani dia lagi: mengatarkanku ambil wudlu,  menemaniku ke kampus, dan dia tak pernah mengeluh meski diajak jalan kemanapun. Sungguh sahabat yang sangat setia. Pernah suatu hari dia hilang waktu aku tidur di Gorong-Gorong Institute, tapi besoknya kembali lagi padaku. Mungkin si Rocky rindu juga padaku, atau si pencuri sandal seorang yang punya pikiran bijak tentang sandal, tahu banyak tentang hak-hak sandal. Entah apa yang benar, si Rocky tak pernah memberi penjelasan. Dia hanya membisu saja waktu kutanya kemana saja waktu menghilang.
          Siang tadi, Sebelum masuk kuliah siang, aku bertemu Hemam Nasiruddin di Bascamp Maksiat, kantin belakang Ushuluddin. Kemudian aku minta dengan sangat untuk menukarkan sandalku dengan sandalnya, si Rocky dan Adidas. Aku senang sekali bertemu dengan si Rocky bernomor punggung sepuluh, dia langsung memeluk erat sepasang kakiku. 

Senin, 11 Maret 2013

Kejadian Mencuci Baju


Sepulang dari Gorong-Gorong Institute, aku langsung merebahkan tubuh dengan mata yang masih mengantuk di atas kasur. Maunya sih tidur lagi. Maklum, semalam tidur jam dua-an. Melihat jendela kamar yang terbuka lebar, tampaknya cuaca cukup cerah. Aku malah gak jadi mengantuk lagi. ini adalah situasi yang tepat untuk mencuci baju kotor yang sudah menumpuk di pojok kamar kost. Sprei kasur tampaknya juga sudah mengeluarkan pendapat tidak enak, bau mimpi-mimpi buruk.
Kubawa segala jenis pakaian kotor itu di tangan kananku, seperti tuhan yang katanya membawa jodoh-jodoh semua umat manusia (bagi yang beriman, hati-hati murtad). Kuberjalan menuruni tangga, melewati halaman rumah Bu Kost, kemudian sampailah di sumur misteri yang banyak digantung di pinggirnya jemuran milik Bu Kost: ada daster, baju sekolah anaknya, pakaian suaminya, dan…. Segitiga pengaman ninja juga banyak bergantungan di sumur tua itu. Mengerikan!
Sebenarnya aku tidak suka dan tidak mau untuk melihat benda-benda aneh bin sakral semacam itu. Tetapi aku sudah tidak berdaya lagi, tidak tahu harus berbuat apa, jarak benda aneh itu begitu dekat dengan tempatku merendam pakaian. Sungguh tak ada tabir yang menghalangi antara aku dan itu.
Aku balik lagi, bersembunyi di dalam kost sambil mendengarkan suara telepon orang tak dikenal di HP LG pinjaman kekasihku, sementara pakaian kotor kubiarkan berendam sesuai dengan rambu-rambu sabun cuci yang aku pakai.
Setelah beberapa menit kemudian, aku kembali kesumur tua itu untuk memenuhi panggilan mengkucek dan membilas baju.
Konsentrasiku malah jadi buyar. Tidak begitu menghayati mencuci. Seperti sedang memangku beban moral yang sangat berat. Benda segitiga seuperman itulah penyebabnya. Makanya, sambil mengkucek sprei kasur, aku selalu memejamkan mata dengan penuh harap tidak digoda oleh makhluk-makhluk gaib. Karena menurut rumor yang beredar di kalangan mahasiswa, makhluk paling jahat adalah makhluk yang bersembunyi di dalam segitiga ninja itu. Entah itu hanya isu saja, sekedar mitos, atau sudah terbukti secara ilmiah. Aku masih belum tahu kebenarannya. Hanya saja aku gampang percaya pada isu murahan, bagaimanapun isinya, termasuk isu mahasiswa tentang misteri di balik segitiga ninja itu.
Akhirnya selesailah pekerjaanku mencuci bajuku. Lalu, Kujemur di belakang kostku. Biar cepat kering, mumpun cuaca begitu bagus: langit cerah dan tak ada mendung sedikitpun. Ah, lega rasanya.
Ya, begitulah cerita hari ini yang aku buat-buat dengan membumbui banyak kebohongan di sana-sini. Agar kelihatan menarik, seperti tulisan orang yang ingin disebut hebat. Atau paling tidak, aku ingin menyadarkan diriku sendiri sebagai penikmat kata-kata, bahwa tulisan bisa menjadi media berbohong, tempat mengabadikan kebohongan. itupun kalau benar kalimat yang berbunyi, “Yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin.”
Sabtu, 09 Maret 2013

Pusing yang Diiringi Nyanyian Sabiq dan Harik


Alangkah indahnya diberikan kesempatan pusing di malam Jum’at ini. Syukur karena pusing saya diiringi suara serak-serak basah Sabiq menyanyikan beberapa buah lagu The Panas Dalam. Mungkin ini adalah pusing pertama dan satu-satunya di dunia yang ada soundtrack-nya. Waduh, betapa bangganya menjadi seorang yang pusing. Ingin rasanya menyombongkan diri di depan teman-teman yang suka menyombongkan diri dengan mengatas namakan pencitraan.
Tidak tahu pasti penyebab pusingnya kepala saya. Tiba-tiba langsung pusing, kedatangannya seakan muncul secara misterius. Hal ini membuat saya tidak ingin pergi ke dokter, karena saya yakin dokter tidak akan bisa menyembuhkannya. Konon, al-Kindi menyembuhkan tetangganya yang sakit hanya dengan musik? Oleh karena itu, biarkan saja petikan gitar dan suara Sabiq yang semi mirip imam besar The Panas Dalam, Pidi Baiq, itu menyembuhkan pusing yang saya derita malam ini.
Saat menulis catatan ini, sebenarnya kepala saya seperti dipukul alien jahat, alien yang oleh Harikimura Sana diilustrasikan seperti ayam hutan menyeramkan berkekuatan sepuluh kali dari badannya. Sayangnya, si Sabiq sudah bilang capek untuk menyanyi lagi, padahal lagu-lagu The Panas Dalam yang ia nyanyikan sudah mulai bereaksi menenangkan pusing dalam kepala. Dan, beberapa menit kemudian, akhirnya Sabiq meletakkan gitar listrik, ia benar-benar berhenti menyanyi. Betapa kecewanya suara hatiku.
Meskipun kepala pusing, Sabiq sudah meletakkan gitar listriknya, Dewi Fortuna tidak kemana, ia tetap bersamaku. Ada Kang Harik yang mau menggantikan Sabiq, ia mau memetik gitar listrik itu dan bernyanyi. Tentu bukan lagu-lagu The Panas Dalam lagi, tapi Ebit G. Ade.
Dan akhirnya saya ingin tidur, sambil smsan. Begitulah kiranya teks khotbah saya malam ini.
Jum’at, 07 Maret 2013

Tulisan Kamis Pagi


Katanya, kalau tidur pagi rezekinya akan dipatok ayam. Aku sendiri tidak terlalu peduli, toh meskipun bangun tidurnya jam delapan pagi si dia tetap memberikan perhatian padaku. Sms-nya yang menyuruhku untuk tidak lupa sarapan pagi tidak dimakan ayam, tetap masuk ke hape LG-ku. Apa yang yang perlu dirisaukan. Jadi, kuanggap itulah jatah rezekiku pagi ini: sms darimu, kekasih (ah, gak terlalu romantis).
Tak perlu bersedih, kecewa, atau iri pada orang lain yang bisa bangun pagi. Meskipun tidak bisa melihat matahari terbit, kita masih bisa melihatnya di youtube dengan penuh penghayatan. Bahkan lebih indah, lebih bagus dari matahari terbit di tempatmu.
Bangun siang juga memperbanyak pengalaman kita. Kita bisa tahu rasanya bangun siang, kita seakan bisa melampaui waktu: berada di siang hari tanpa harus mengikuti pagi, dan terkadang juga tiba-tiba ada orang yang membangunkan tidur pagimu dengan langsung menyuguhkan segelas kopi dan rokok. Nikmatnya tidak ada duanya, segarnya tidak beda jauh dengan melihat mawar yang masih berembunl.
Hanya saja saranku, jangan sekali-kali seenaknya saja tidur pagi jika punya jadwal kuliah di jam 7.30 Waktu Indonesia Bagian Kampusmu. Teman-temanmu tidak akan ada yang mengizinkan, kecuali mereka bisa bangun pagi. “Kalau tidur pagi absensi kuliahnya dipatok ayam”, bisa saja redaksi peribahasa yang benar memang seperti itu. Bukan “rezeki” melainkan “absensi”.
Aku tidak ada jadwal kuliah hari ini. Dosen minta libur. Entah alasannya kenapa. Tidak jelas. Aku sebagai mahasiswa hanya bisa berperasangka buruk, mungkin ingin tidur pagi bersama istrinya. Tapi jangan salahkan aku yang berperasangka buruk. Aku seorang mahasiswa, kata kakak senior waktu OSPEK dulu, agent of change, agen perubahan. Jadi, di saat aku masih menjadi siswa selalu berperasangka baik pada guru-guruku, maka sepatutnyalah sekarang ini aku berubah: harus berperasangka buruk pada dosen. “Iya, dong, Agent of Change!

Nb. Tulisan ini hanyalah fiktif belaka, karena ditulis tepat saat bangun tidur.

Kamis, 07 Maret 2013