Neng


Akupun masih tidak tahu apakah sebenarnya hubunganku dengan dia? Yang jelas aku sangat mencintai dia dan menganggapnya sebagai kekasihku. Diapun juga mengatakan hal yang sama, sambil tersenyum, seraya bertatap pandang dan serta sama-sama berjanji untuk saling terbuka.
Sebab apa artinya cinta jika selalu dibumbui kebohongan? Tidak ada, kecuali penyakit ganas yang akan membunuh secara perlahan, yang menyiksa terlebih dahulu sebelum melepas ruh dari jasad.
Jika kata yang sudah diucapkan untuk selalu bersama, jika janji yang telah disepakati selalu setia, dan jika sumpah yang dilontar hanya untuk mencintai kekasihnya adalah kebohongan semata, sudah sepantasnya kita hidup dalam Kota Orang-Orang Bisu—judul cerpen Dadang Ari Murtono di Harian Kompas 13 Januari 2013—kota manusia “yang memotong lidahnya setelah saling mengucap cinta dan saling mengucap nama masing-masing.” Tentu agar tidak ada kebohongan lagi, karena kebisuan adalah sesuatu kedamaian yang puitis dan kata yang dibuat untuk menipu adalah kejahatan bagi ketenangan.
“Aku tidak pernah memaksamu untuk mencintaiku,” katanya dengan suara datar dalam telepon. Mungkin ada rasa kecewa yang mulai berjatuhan dalam perasaannya, setelah tahu ada perempuan lain yang pernah ada dalam cerita hidupku sebelum dia.
Sebenarnya aku ingin menjawab bahwa aku tidak pernah terpaksa mencintai dirinya, “Cintaku datang padamu dengan wajah yang sebenarnya,” seperti cinta Tagore, “Aku kecil, sehingga tidak bisa menyembunyikan tentang apapun padamu, kekasih.” Tapi aku pilih untuk diam tanpa jawaban dengan hati gelisah malam itu. Karena aku tahu ini salah, sebelumnya tidak pernah bercerita tentang perempuan ‘gelap’ tanpa nama di catatanku ini. “Ya, aku salah. Aku minta maaf!”
Lelaki harus tegar, harus kuat, tidak boleh cengeng, apalagi mengemis minta ketulusan cinta pada perempuan yang disukainya. Kata siapa? Leo Nikolyevich Tolstoy remuk dalam kecemburuan yang hebat ketika ia tahu ada tumbuh percintaan platonik antara istrinya, Sophia, yang sudah berumur 52 tahun dengan seorang musikus. “Aku rasakan kesakitan di ulu hati,” ucapnya lirih yang membuat pengarang besar itu tidak bisa tidur.
Lalu, apakah aku harus meniru Tolstoy karena dia seorang yang hebat, pengarang besar? Tidak. Tapi aku akan merasakan hal yang sama jika kekasihku berbuat seperti itu, seperti cinta platonis yang tumbuh dalam dada Sophia. Makanya aku takut kekasihku tidak akan percaya lagi padaku, lalu pergi meninggalkanku karena aku tidak pernah bercerita tentang perempuan ‘gelap’ itu.
“Kekasih, perempuan itu sudah tidak ada dalam benakku, hanya cerita, sekedar kenangan yang tak ingin kuingat. Hanya kaulah perempuanku, karena hanya padamulah aku berucap cinta.”
Alif dan Ya’—Alfa dan Omega—awal dan akhir aku selalu mencintaimu kekasih (Neng).

Kamis, 17 Januari 2013

Tidak Ada


Aku hanya ingin menulis. tentang kebingungan, apa yang harus ditulis? Tadi, ada keinginan untu menulis  tentang UAS semester ganjil ini, tiba-tiba teringat tulisan Yunita Sani, dia telah bercerita panjang lebar tentang pengalaman UAS AF 10 di blog pribadinya, http://iethashanie.blogspot.com/; tadi juga hendak menulis tentang Gorong-Gorong institute, tapi aku urungkan lagi karena pengetahuanku tentang komunitas mahasiswa—yang katanya—pengacau kampus itu. Lalu, karena sudah kebelet untuk menulis pagi ini, aku hanya ingin menulis tentang sesuatu yang tidak kutahu harus menulis apa.
Hujan deras siang ini. Aku putar lagu Untukmu Kekasih-nya Ebit G. Ade di Asus K401J sambil menunggu hujan reda. Terjebak dalam kamar saat ada kemauan berangkat ke kampus untuk mengikuti ujian filsafat bahasa pada jam 1.00 WIB. Berangkat lebih awal agar bisa ngobrol dengan anak-anak Gorong-Gorong Institute sebelum mengikuti ujian yang menyebalkan: pekerjaan yang hanya membuang-buang waktu untuk mendapatkan gelar sarjana.
Tentu, akupun perlu dipertanyakan, kenapa masih mau saja dibodohi dengan formalitas semacam itu.? Sekolah itu candu kata Roem topatimasang, lebih-lebih kata Yudhistira yang tegas mengatakan, “Berhentilah sekolah sebelum terlamabat.” Aku sendiri tidak tahu harus berkata apa.
Sebenarnya bingung menentukan jawaban. Andai saja kedua orangtuaku dan orang-orang di rumah tidak menyuruhku kuliah, artinya hanya sekedar mencari ilmu, tentunya sudah lama aku keluar dari bangunan yang banyak mengambil paksa kebebasanku untuk mencari dan berbuat sesuai dengan yang aku inginkan.
kan bisa berontak, mampu menolak, dan sanggup membawa diriku sendiri tanpa harus mengikut orang lain. Bisa. Tapi bagaimanapun juga, aku masih tidak bisa membuang jauh-jauh orang yang melahirkanku, merawatku sejak lahir, dan menyayangiku tanpa akhir dari kehidupanku. Dalam kesunyuian harapan, aku masih mau berusaha untuk membahagiakan mereka.
Namun, pernah suatu malam aku berpikir, seharusnya orangtuaku itu tidaklah selalu egois, terus menerus mementingkan kebahagian mereka, dan mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan putranya. Sebab mereka juga harus memerhatiakan kebahagian buah hatinya. jujur, aku tidak suka dengan peratuaran, kebijakan, dan segalanya yang ada sangkut pautnya dengan kegiatan di gedung kuliah. Sama seperti keinginan Soe Hok Gie dalam catatan hariannya, “Aku ingin kuliah di alam bebas seperti Tagore.”
Kembali pada judul tulisan ini: Tidak Ada. Ini hanya tulisan yang tidak ada artinya, seperti orang yang menulis pada waktu tidur, atau seperti catatan perjalannya orang gila. Tapi apakah orang gila dan orang mengigau selalu datang tanpa makna?
Yang penting, aku sampaikan permintaan maaf kepada kedua orangtuaku. Kemarin saat ujian aku jawab dengan catatan harian: sebuah curhat tentang diriku pada dosen, agar dia tahu siapa aku sebelum membuat pertanyaan, agar si dosen tidak selalu menyamakan antara aku dengan mahasiswa-mahasiswa lain atau mahasiswa-mahasiswa lain dengan aku, agar beliau mau mengenal lebih dalam mahasiswa-mahasiswanya, dan tentunya supaya ada keindahan.
Terimakasih.
Selasa, 15 January 2013

Tahun Baru dan Info Obenx II


Tahun baru. Pesta yang penuh dengan kembang api itu ternyata diguyur hujan deras di tahun ini, 2013.
Sebelum pergantian tahun, di dalam kamar kost, aku hanya bertanya sambil melihat halaman yang tak henti-henti diguyur hujan, “Apakah tahun akan tetap berganti tanpa ada ledakan kembang api yang megah meriah di atas langit?”
ternyata waktu terus berjalan. Bergerak. Melaju tak peduli kiri-kanan, pada harapan orang-orang untuk melihat warna-warni kembang api di langit. Tahun tetap berganti. Meskipun hanya sekedar hujan yang menandai bahwa kita sudah meniggalkan 2012 dan berada di tahun 2013.
“Hujan memang tak pernah tahu perasaan pedagang terompet dan kembang api,” ujar seorang kawan keesokan paginya. “Betapa sedih. Buah keringatnya beberapa hari atau beberapa bulan terakhir tidak membuatnya menyunggingkan senyum bahagia. Lebih-lebih ketika keluarganya melihat ia pulang dengan tangan hampa; hanya sebaris terompet yang kedinginan, atau kembang api yang sudah banyak dicumbu gerimis,”  tambahnya panjang lebar padaku.
Mungkin saja tidak hanya pedagang terompet yang merasakan luka mendalam pada malam tahun baru. Ada banyak lagi: orang-orang yang ingin menikmati tahun baru dengan kekasihnya, mahasiswa baru yang berasal dari luar Jogjakarta, orang-orang yang ingin berfoto dengan latar warna-warni kembang api, dan semua orang yang rutin menikmati pergantian tahun dengan peniupan terompet.
aku hanya bisa menyarankan bagi yang memiliki kenangan hitam dengan malam tahun baru, jangan sampai terlampau sedih. Anggap saja hujan di malam itu sebagai berkah yang akan menyuburkan banyak hal dalam hati sanubari. Setahuku belum pernah tahun baru diawali dengan hujan lebat seperti ini: langitlah yang melepaskan hujan, bukan kita yang harus melepaskan kembang api ke langit untuk memeriahkan malam pertama tahun 2013. 
 Pada malam sepi itu, hanya setatus facebook seorang kawan dekat, Andoe Obenx II, yang terlihat lucu dan cukup menghibur. Isinya seperti ini: “Info Penting: Bagi gadis-gadis cantik yang tidak punya teman di malam tahun baru ini, bisa menghubungi saya. Saya bisa menemani sampai pagi. NB; Diperioritaskan yang pakai jilbab.” Sebuah humor yang cerdas dari seorang jomblo. Kenapa tidak, apa hubungannya cewek yang memakai jilbab dan malam tahun baru yang becek?
Berbicara Andoe Obenx II, dia adalah seorang sahabat saya yang misterius dalam kehebatannya. Selalu mengaku sebagai fotografer gagal di antara banyak mahakarnyanya. Menyebut dirinya seorang mahasiswa yang tidak punya apa-apa, padahal mampu membiayai hidupnya sendiri, tanpa minta bantuan orangtuanya. Dalam keadaan tidak tahu, aku meyakinkan diriku sendiri kalau Andoe Obenx bukanlah orang sembarangan: tidak seperti mahasiswa yang selalu sibuk belajar saat UAS dan UTS,  bukan seperti orang-orang yang pandai tampil cool di mata perempuan, dan pokoknya dia berbeda dari yang lain.
Dua hari setelah malam tahun baru, aku duduk bersama Andoe Obenx II di gorong-gorong institute, ia kemudian bercerita tentang dirinya, “Aku tidak tahu apa-apa yang terjadi saat pergantian tahun baru,” ceritanya. Pada malam itu, setelah menulis status lucu itu—kira-kira pada jam 21.00 WIB—ia langsung tidur.
Tapi, aku lupa bertanya, apakah tidurnya  pada malam itu termasuk rutinitas dia setiap tahun untuk merayakan pergantian tahun, di saat orang-orang berbondong untuk menandai pergantian tahun dengan tiupan terompet dan pelepasan kembang api. Aku tidak tahu, tapi kalau memang seperti sungguh berbeda dan luar biasa, karena tidak tergantung pada bunyi terompet atau meriahnya kembang api untuk bahagia di malam pergantian tahun.
Rabu, 9 Januari 2013

Sandal Jepitku Bukan Yamaha


Ketulusan cinta itu jangan dibawa dengan sepasang sandal jepit jika kau masih mau mengabadikan cerita cinta dengan kekasihmu, meskipun kau begitu tulus mencintainya. Bawalah cintamu dengan Honda, Yamaha, atau kendaraan mahal lainya, barulah kisah cintamu itu akan berlangsung lama, pun benda-benda itu akan memudahkanmu menaklukkan hati perempuan yang perkasa atau tak mudah terpikat oleh godaan laki-laki.
Sebenarnya aku juga ingin memiliki barang-barang mewah seperti itu: motor, hape gaul, kamera canggih, dan baju keren. Apa mau dikata, uang banyak tidak pernah mau berselingkuh denganku. bisaku hanya membeli sepasang sandal jepit murahan, yang bahkan taka da di iklan. Hanya sebagai penghibur dari nasib sial yang memberiku bannyak cerita ini, aku selalu ingat kata-kata Victor Francl, “Semakin banyak hidupmu terpenuhi, maka hidupnmu akan semakin tidak bermakna.  Ya, hanya sekedar penghibur saja atas keinginan membeli barang yang tidak mungkin. Sebab semua orang pasti menginginkan hidup yang penuh dengan makna.  
Apa yang perlu dibanggakan dari sandal jepit? Membuat tubuh lebih sehat karena selalu berolahraga, jalan kemana saja dengan kekuatan otot sendiri; terhindar dari musibah macet; tanpa lampu merah yang akan memerintahkanmu untuk berhenti sewaktu-waktu, dan; tentu tanpa harus ditilang polisi.
 Akan tetapi semua itu bukanlah kelebihan, melainkan kekurangan di mata banyak orang. Kebanyakan orang sudah lebih senang untuk hidup tidak sehat, terbiasa dengan macet, dan suka ditilang oleh polisi. Sandal jepit sudah tidak ada harganya di mata orang-orang. Apalagi bagi manusia yang mengaku keturunan dari “tradisi mall”, ujar Muhiddin M. Dahlan.
Aku hanya ingin membawa perasaan yang tulus dengan kekuatanku sendiri, dengan sandal jepit, bukan kendaraan bermotor yang banyak membuat keributan lalu lintas. Ada benarnya juga kata sebuah iklan, “Yamaha memang semakin di depan” dalam segala hal. Termasuk untuk mendapatkan perempuan. Sedangkan sandal jepit tidak terlalu banyak ada iklan, kalau ada paling-paling hanya berkata, “enak dipakai.” Sungguh tidak ada kelebihan dan tidak bisa dibanggakan.
Dan inilah aku, dengan sandal jepit, dan mau berjalan. Seperti, mungkin, Adam saat mencari Hawa. Tapi apakah dia berjalan dengan sandal jepit? Alangkah mulia hati Hawa, menerima lelaki itu apa adanya, tanpa sandal atau pun Yamaha buatan jepang.
Minggu, 30 Desember 2012

Malam Sabtuan


Buanglah malam Minggu. Dalam seminggu hanya ada tujuh hari—entah, terlepas apakah tujuh malam juga termasuk dalam hitungan waktu dalam seminggu. Gunakan waktu sebaik mungkin. jangan sampai mengundang rasa sesal. Lebih-lebih bila kesedihan yang memilih untuk datang mengancam, bukan bertamu dengan berbagi banyak hal.
Apakah ada yang pernah bertanya, mengapa kebanyakan orang mengajak kencan kekasihnya harus pada malam Minggu? faktor gen, keturunan pasangan yang suka malam mingguan; sekedar mempertahankan tradisi ‘kakak’ moyang (nenek moyang kita tidak mungkin melakukan hal seperti itu, karena mereka seorang pelaut); atau hanya ikut-ikutan tanpa harus tahu sebabnya. Alasan terakhirlah yang kata Fahruddin Faiz termasuk dalam golongan manusia yang sudah kehilangan curiosity atau rasa ingin tahu: rasa heran, takjub dan ingin menyingkap kebenaran sesuatu yang menarik hatinya tetapi masih misterius.
Alangkah lebih bijak seseorang jika tidak terlalu percaya pada kesakralan malam Minggu. Dipertanyakan terlebih dahulu. Diragukan terlebih dahulu. Jangan sampai menjadi seorang yang hanya sekedar mengekor pada tradisi buram tanpa keterangan pasti. Karena Semua malam pasti memiliki ruh keindahan masing-masing.
 Aku pernah berkunjung ke tempat seseorang yang kuanggap kekasih [terlepas apakah dia juga menganggapku seperti itu atau tidak], di sana aku juga mendapatkan kebahagian yang tak terkira. Juga penuh cerita. Padahal malam itu adalah malam Sabtu, bukan malam Minggu.
Teman-teman di Gorong-Gorong Institute juga tetap bisa tertawa setiap malam, tidak perlu menunggu malam ini dan malam itu. Kata Remi Silado, “Jangan terbiasa menunggu, tapi mari kita jemput,” jika bisa hari ini, kenapa harus menunggu besok. Jika kau yakin keindahan hanya ada pada malam minggu, maka tunggulah malam itu datang. Namun apabila percaya keindahan itu tidak hanya ada pada malam itu, maka keindahan akan datang padamu setiap malam.
Sebelum kuakhiri tulisan yang tidak jelas arah dan tujuannya ini, saya kutipkan satu paragraf tulisannya Fauz Noor dalam bukunya Tapak Sabda:
Berbicara masalah keindahan maka kita akan berbicara seni. Apakah seni? Herbert Read menulis dalam The Meaning of Art, “Seni secara sederhana sering didefinisikan sebagai usaha menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan.” Kemudian, apakah hakikat keindahan dan bentuk-bentuk yang menyenangkan itu? Herbert Read menjawab, “Bentuk-bentuk yang memuaskan penghayatan keindahan kita dan penghayatan keindahan itu apabila kita mampu mengapresiasi kesatuan hubungan-hubungan formal antara indera tanggapan kita.
Kemudian, masihkah malam Minggu akan selalu indah?
Senin, 31 Desember 2012