Jogja-Bandung: Sebuah Perjalanan Hura-Hura

Aku baru sampai di Jogja tadi pagi dalam keadaan selamat dan kaya raya, setelah lima hari lamanya berada di Bandung hanya untuk bersenang-senang. Sekarang hanya tinggal kangennya pada kota dingin yang tidak kekurangan perempuan cantik itu. Oleh karena itu, aku akan mencatatnya sebagai laporan pada diriku sendiri jika suatu hari nanti lupa bahwa aku pernah datang ke Bandung. Tidak lebih.
Sebelumnya tak perlu, dan aku juga tidak ingin, menceritakan segala yang terjadi saat aku membeli tiket kereta api, sehari sebelum berangkat ke Bandung di stasiun Lempuyangan Jogjakarta. Ada cemburu yang meledak-ledak di sana. Ada sakit hati yang perih menggores di dada. Hal itu lantaran Mrs. Indah, perempuan manis yang bertugas melayani pembelian tiket kereta api pada loket empat di stasiun Lempuyangan tidak hanya memeberikan senyum ramah nan menggoda padaku saja, tapi pada semua orang yang ingin membeli tiket kereta. Sungguh, mau tidak mau,  aku harus kecewa padanya.
Sudahlah aku ingin melupakan kejadian itu. Terlalu menyakitkan untuk dikenang. Biarlah aku bercerita hanya tentang Bandung, dan perempuannya yang cantik-cantik. Meskipun nanti aku akan disebut sebagai lelaki mata keranjang, toh tak ada bukti bahwa aku mengeranjangi perempuan-perempuan itu. Sebab aku hanya mengagumi saja, sebagai bukti bahwa limpahan kasih dan sayangku memang berlebihan bagi semua orang.
Sebagai homo narrans (makhluk pencerita), maka, baiklah, akan kucoba menceritakan tentang sebuah perjalanan hura-hura dari Jogja menuju Bandung.


Pada hari Selasa (11/03), jam 18.21 WIB aku berangkat dari UIN Sunan Kalijaga ke Stasiun Lempuyangan bersama Reza dengan diantar Sayu dan Fajar. Tentunya aku dan Reza sampai di stasiun dengan selamat karena Sayu dan Fajar mengendarai motor dengan sangat hati-hati, sehingga tidak mengalami kecelakaan sedikitpun. Aku juga bahagia karena ini akan menjadi pengalaman pertama naik kereta. Sebelumnya hanya naik bus, taksi, angkot, ojek dan becak.
Berbeda denganku yang begitu bersemangat menantikan rasa betapa-senangnya-naik-kereta-api, Reza malah tampak sedikit cemas. Lantaran ayam jago, yang telah dimasukkan dengan rapi ke dalam kardus untuk dibawa ke rumahnya, takut ketahuan petugas kereta api. Ayam adalah termasuk jenis binatang yang dilarang untuk dibawa ke bagasi kabin kereta. Jadi jika sampai petugas tahu kalau kita sebenarnya diam-diam sedang membawa ayam, kita tinggal pilih: 1. Ayam ditinggal di stasiun, atau; 2. Kita berdua sama-sama akan ditinggal kereta api.
Untuk menghibur kecemasannya, Reza pura-pura memprediksi keajaiban yang akan terjadi pada pukul 19.10 WIB, waktu pemberangkatan kereta Kahuripan: bahwa ayam jagonya akan lolos dari pengawasan petugas di pintu masuk ruang tunggu penumpang, lolos saat pemeriksaan tiket penumpang di kabin kereta, dan aman tidak ketahuan sampai Stasiun Kiaracondong, Bandung. Aku amini saja harapan itu, semoga ayamnya benar-benar tidak ketahuan. Sebab aku juga mulai merasa cemas, jika naik kereta ke Bandung harus tanpa Reza, sebab Reza pasti tidak akan naik kereta kalau tanpa ayamnya.
Pukul 18.45 WIB, aku dan Reza bergegas menuju pintu masuk ruang tunggu penumpang kereta api yang dijaga dua orang gagah berseragam seperti satpam kampus. Di depan dua petugas itu, Reza pura-pura gobrol ‘ini dan itu’ atau ‘itu dan ini’, intinya hanya untuk mengelabuhi si petugas agar tidak bertanya atau memeriksa isi kardus yang dijinjingnya. Dan syukurlah, usahanya membuahkan hasil menyenangkan, ayamnya lolos dibawa masuk ke dalam ruang tunggu kereta.
Setelah itu, aku dan dia menunggu kereta tiba sambil menikmati rokok.
Tepat pukul 19.00 WIB kereta Kahuripan benar-benar nongol, melaju dengan pelan dari arah kanan tempatku menunggu. Aku dan Reza bersiap menunggu paling depan, karena pada tiket yang kubeli kemarin tertera bahwa kita berdua duduk di lokomotif pertama: 1; 7D dan 1; 7E. Meskipun sudah tahu kita duduk di lokomotif pertama, Reza berharap tempat duduk kita menghadap ke depan. Agar kita bisa melihat dengan normal ke depan.
“Semoga saja begitu,” kataku agak sedikit bingung, karena aku sebenarnya tidak tahu letak posisi duduk di dalam kereta itu seperti apa. Ini untuk yang pertamakalinya.
Dengan sangat hati-hati Reza masuk ke dalam kereta, diikuti aku yang mulai membuncah senang menginjakkan kaki untuk pertamakalinya pada lantai besi kereta api. Aku melangkah perlahan mencari tempat dudukku sambil mencocokkan nomor kursi yang tertulis di atas tempat duduk kereta dengan nomor yang ada pada tiketku. Ah, ternyata mengecewakan. Aku mendapatkan kursi yang membelakangi Bandung.
Sebelum kereta berangkat, tiket diperiksa oleh petugas berseragam biru tua. Saat itu adalah detik-detik paling menegangkan dalam perjalananku ke Bandung. Aku takut ayam jago yang dibawa Reza berkokok saat ketiga petugas itu memeriksa tiket. Jika hal itu terjadi, artinya sama saja dengan ayam jago itu dibuang keluar atau kami berdua dikeluarkan dari kereta.
Tapi untunglah tidak terjadi apa-apa. Semuanya berjalan sempurna, seperti yang diprediksi Reza. Ayam aman di dalam kereta, tak ada satu pun yang tahu, kecuali Allah SWT. Kereta Kahuripan pun berangkat tepat pada jam 19.10 WIB meninggalkan stasiun Lempuyangan JogJakarta.

9 Jam dalam Kahuripan
Sayangnya tempat dudukku di kereta menghadap ke belakang. Jadi, perjalanan dari Jogja ke Bandung kulalui dengan berjalan mundur. Perjalanan yang luar biasa. Hal itu membuatku memprediksi sebuah kebenaran semu, yang mungkin saja memang benar, bahwa Bandung adalah kebalikan dari Jogja.
Kereta ternyata berjalan dengan lembut. Tidak ada lompatan-lompatan kecil seperti naik bus ketika rodanya terbentur aspal rusak atau polisi tidur. Tak ada gangguan kalau seandainya ingin tidur sepuasnya di dalam kereta api, nyaman dan juga ber-ac. Aku jadi berhayal, jika seandainya suatu hari nanti punya banyak uang, aku akan membeli satu kereta untuk dijadikan kendaraan pribadi. Lumayan buat pamer, sepertinya masih belum ada orang yang punya kereta pribadi. Kecuali aku suatu hari nanti, kalau saja takdir itu benar-benar terjadi. Amin.
Di depan tempat dudukku ada seorang bapak yang jika harus kutaksir umurnya sekitar 4o-an tahun. Ia duduk di samping ibu tua yang pasti cantik di waktu mudanya, tapi aku tidak menjamin. Di dalam kereta yang berjalan tenang, aku hanya ngobrol dengan Reza karena sudah kenal, sedangkan pada kedua orang asing itu, aku tidak bicara sepatah kata pun. Kulihat mereka berdua juga tidak ngobrol satu sama lain. Mungkin mereka berdua sama-sama grogi untuk sekedar mengatakan “hai” apalagi harus kenalan. Kasian mereka, sudah tua tapi minim pengalaman. Di waktu mudanya pasti jarang pergaulan.
 Setelah bosan ngalor ngidul ngobrol ke sana ke mari bersama Reza, aku jadi ngantuk lalu tidur. Bagaimanapun aku harus tahu rasanya tidur di kereta, agar tidak malu-maluin: sering naik kereta tapi tidak pernah punya pengalaman tidur di dalam kereta. Dan ini adalah kesempatan pertamaku naik kereta, tidak boleh disia-siakan untuk mendapatkan pengalaman tidur di sana.
Seperti yang kukatakan, tidur di dalam kereta ternyata enak, nyaman, bahkan mimpi basah di sana pun tak akan terganggu. Saking enaknya, Tiba-tiba saja sudah jam 04.00 WIB. Tiba-tiba sudah di stasiun Kiaracondong. Aku jadi menyesal tidur lama-lama di dalam kereta api. Tidak bisa menikmati perjalanan. Tapi aku tak perlu menyalahkan masinisnya yang sepertinya terlalu ngebut membawa kereta, karena ini murni adalah keteledoranku sebagai penumpang yang suka bermalas-malasan.

Angkot Menuju Riung
Turun dari kereta. Berjalan beberapa langkah melewati pasar yang becek. Kanan kiri dipenuhi dengan pedagang serta pembeli yang berbicara menggunakan bahasa aneh. Aku hiraukan saja percakapan mereka, tidak mau diambil pusing karena aku masih capek. Biarkan saja mereka bicara dengan bahasa yang aneh, selama tidak bicara padaku. Itu sah-sah saja dan bisa dibenarkan.
Lalu sampailah aku dan Reza pada sebuah angkot berwarna biru. Masuk ke dalamnya, yang masih tanpa seorang pun di sana. Memilih duduk di tempat duduk paling belakang. Merokok sebentar, sambil mendengar si ayam yang di dalam kardus berkokok nyaring beberapa kali.
“Untung kau tidak berkokok di dalam kereta,” kata Reza pada ayamnya, tapi anehnya tatapannya mengarah padaku. Mungkin temanku yang gendut itu sudah mulai kecapean.  Dan aku tertawa kecil membalas tatapannya.
Satu-dua penumpang masuk bergiliran. Aku berharap ada perempuan cantik juga yang ikut menumpang. Karena sebelumnya aku pernah mendengar sebuah kabar baik, bahwa di angkot pun tak pernah kekurangan perempuan cantik di Bandung. Jadi aku hanya ingin mencari bukti kalau perkataan itu memang benar, bukan hanya sekedar kata kosong melompong.
Tak beberapa lama angkot berjalan perlahan, dengan suara sopir yang berteriak menyebut kata “Cibiru” berulang-ulang. Entah itu nama apa. Aku tak berani menanyakan, “Cibiru itu apa?” Lagi pula buat apa, itu tidak penting.
Karena penumpang sudah hampir separuh yang tertarik untuk ikut, si sopir mulai sedikit menambah kecepatan. Rokokku sudah habis, lalu kubuang. Si sopir tetap meneriakkan kata “Cibiru” berulang-ulang, membuat beberapa orang tertarik untuk ikut bergabung. Barulah kemudian angkot melaju kencang. Kuyakin si sopir pasti lagi senang, sebab angkotnya penuh dengan penumpang. Tapi sayangnya, sekarang masih terlalu pagi, kawan, penumpang angkot memang ada yang terlihat manis tapi beliau adalah ibu-ibu yang habis belanja keperluan rumah di pasar. Bukan si neng seperti yang kubayangkan.
Kira-kira 20 menit. maka sampailah aku di Rumah Sakit Islam. Reza meminta turun. tentu aku juga ikut turun dari angkot. Lalu melangkah menyeberang jalan menuju pangkal ojek yang ada di seberang jalan.
Ya, akhirnya tukang ojeklah yang bersedia mengantar kami berdua sampai ke depan pintu pagar rumah Reza yang berwarna biru. Aku tidak tahu Reza memberi sogokan berapa pada kedua tukang ojek itu. Aku tidak mau tahu, biar gak usah disuruh bayar.

Keluarga Reza
Sampai di rumah Reza. Ibunya masih tidur di sofa, aku tahu karena melihatnya dari kaca jendela. Mendengar suara pintu terbuka, dan sedikit melihat Reza masuk ke dalam rumah, barulah beliau benar-benar bangun dan menyambut kedatangan kami dengan senyum manja, senyum dari seorang ibu gaul yang penuh dengan cinta.
“Syukurlah kalian sampai dengan selamat,” ucap ibunya menyambut kami dengan senang. “Selamat datang di apartemen kami,” tambah Ibu Reza padaku, beliau tersenyum menandakan bahwa apa yang dikatakannya hanya bercanda.
Reza mencium tangan ibunya. Aku hanya sekedar bersalaman saja, takutnya nanti ada yang cemburu jika aku ikut mencium tangannya. Lalu si Mamah memujiku, katanya rambutku keren, kribo tapi menawan. Pujiannya itu membangkitkan hasratku untuk segera berdiri di depan cermin untuk memastikan kebenarannya. Namun Reza terlebih dahulu mengajakku ke lantai atas, untuk menaruh tas dan beristirahat melepas lelah barang sebentar. Jadi, aku yakin-yakin saja kalau aku memang menawan.
Maka kagetalah aku ketika sampai di lantai dua rumah Reza, ada banyak ayam dalam kandang besar yang dibentuk seperti rumah susun. Ayam-ayam jago itu berkokok menggila menyambut kedatangan kami. Ini memang sebuah keluarga penggila ayam yang patut diteladani bagi para penyuka ayam jago, yang tak sembarangan memelihara, merawat serta mengandangi ayam. Ingat, ayam-ayamnya saja ditaruh di lantai dua, dengan keramik mahal yang menjadi halaman bermainnya. Apa tidak perlu untuk ditiru? Perlu sekali tentunya untuk para penggila ayam.
“Ini apartemen ayam,” kata Mamah yang juga sudah di lantai atas mengambil dan merapikan pakaian di kursi dekat mesin cuci di lantai dua. Aku hanya tersenyum ramah padanya, karena aku tak tahu harus menjawab dengan kalimat apa. Malu.
Aku duduk di kursi sambil mengeluarkan rokok, sementara Reza mengeluarkan ayam dari dalam kardus. Setelah ayam terlihat masih sehat, ia berbicara dengan ayamnya seolah ia tahu dan mengerti bahasa ayam dan ayamnya juga mengerti bahasa Indonesia. “Kamu kecapean, ya?” ucapnya. Ayamnya hanya berkokok berjalan pelan menjauhinya, sambil mencari makan. Aku tersenyum melihat kedua makhluk itu. Sebenarnya aku juga ingin mengatakan sesuatu pada ayamnya, tapi kuurungkan. Kurasa tidak perlu.
Mamah turun ke bawah setelah selesai merapikan barang-barang yang menurutnya berserakan. Sebelum turun ia berkata padaku, “Bersenang-senanglah di Bandung. Jangan diem saja.”
Aku ketawa canggung. “Siap, Mah,” jawabku tegas tanpa menghilangkah senyum di bibir. “Jika tuhan menghendaki, apa pun bisa saja terjadi,” tambahku, lalu Mamah berlalu pergi menuruni tangga sembari tertawa.
Tak lama kemudian, seorang laki-laki gendut keluar dari dalam kamar kecil di sebelah kiri tempatku duduk. Ternyata lelaki itu adalah ayah Reza. Aku bersalaman dengan lelaki gemuk yang baru bangun itu.
Sebagaimana pada umumnya pemilik rumah yang suka berbasa-basi pada tamu: beliau menanyakan namaku, aku menjawabnya; beliau bertanya tempat asalku, aku menjawabnya; beliau bertanya tentang siapa nama pacarku, aku katakan tidak ada, dan; pertanyaan lain yang aku juga bisa menjawabnya. Kecuali pembicaraan tentang ayam yang selalu kuhindari karena aku tidak akan mungkin mengerti.
Sayangnya di sana topik pembicaraan paling menarik adalah ngomongin tentang ayam dan segala macam lika-likunya. Sehingga membuatku harus menghindar dengan pergi ke kamar Reza agar tidak stres untuk berusaha mengerti dan memahami segala persoalan ayam.
Tepat pada jam 8.00 WIB mereka mulai mencoba mengadu ayam di dalam ring hitam yang sudah disiapkan oleh ayah Reza. Aku keluar dari dalam kamar, jadi penasaran dan ingin ikut menonton adu ayam. Dari dulu tidak pernah melihat adu ayam. Pikirku, mungkin, setelah melihat pertandingan itu aku juga akan menjadi tertarik pada ayam.
Ternyata ngadu ayam itu tidak membuatku terpesona untuk juga terjun mencobanya. Aku tidak mendapatkan sisi menarik dan indahnya yang Reza dan ayahnya begitu mengebu-gebu membicarakannya. Sudahlah, ayam bukan duniaku.
Sehabis ngadu ayam, ayah Reza pergi melatih renang anak-anak SD. Beliau kan memang guru olahraga. Aku dan Reza dibolehkan untuk ikut, renang bersama anak-anak SD. Sebelumnya memang sudah dipinjami celana renang oleh Reza. Maklum, aku ke sana hanya bawa celana tanpa celana dalam. Jadi kalau mau renang, mau tidak mau harus pinjam celana renang. Masak di kolam renang pakai celana jeans, harus tahu tempat lah.
Di kolam renang aku diajari berenang oleh Reza. Katanya, dalam renang itu ada gaya bebas dan bebas gaya. Setelah melihatku berenang, kata Reza, tipe renangku termasuk yang ke-dua: bebas gaya. Tentulah begitu, di rumah aku hanya berenang di laut, sungai dan kali. Tak perlu pakai gaya berenang tempat-tempa itu, yang penting selamat dan senang.
Sehabis renang aku tidur. alasannya sudah jelas karena kecapeaan. Kalau gak kecapean mungkin tidak akan tidur, pasti milih nonton tivi.
Malam harinya, aku disuruh ngerjain tugas bahasa Inggris oleh adiknya Reza. Aku grogi sekaligus takut berada di sampingnya. Bukan karena aku jatuh hati padanya, tapi sebelumnya diceritain oleh ayah Reza kalau si Anis itu perempuan tomboy dan pemberani, siap menggolok siapa saja yang mengganggunya. Sehingga saat ngerjain tugas bahasa Inggris di sampingnya, aku jadi selalu salah tingkah. Entah apa yang harus aku lakukan kalau tiba-tiba ia mengajakku bertengkar karena aku membuat sedikit kesalahan.
Setelah selesai mengerjakan tugas bahasa Inggrisnya si Anis, ayahnya Reza kelihatan masuk angin. Di ruang tamu dia tiduran sambil batuk-batuk. Pada saat itulah dia pertamakali memanggilku galing. Sebuah panggilan yang terdengar keren di telinga. Aku membayangkan, bagaimana kalau aku dipanggil dengan nama itu saja. Pasti lebih keren dari sekedar dipanggil Ayi. Ya, meskipun Galing itu artinya keriting, tapi terasa luar biasa. Seperti benar-benar mewakili diriku.  
Agak malam sedikit aku tidur di lantai atas, di kamar Reza. Karena besok pagi aku harus ke tempat kakak di Pasundan.  Dari tadi Maghrib kakak selalu nelepon, menanayakan kapan aku akan pergi main ke kostnya. Katanya di sana juga sudah ada Kakak Arik, yang jauh-jauh dari Bogor hanya untuk jalan-jalan di Bandung bersamaku.

Kost Kakak di Pasundan
Hari Kamis pagi aku diantar oleh Reza ke tempat angkot biasa menepi menunggu penumpang.  Aku mau ke alun-alun kota Bandung, tempat kost kakakku katanya di sekitar itu. Kasihan kakak Arik yang jauh-jauh dari Bogor mungkin sudah kebelet untuk jalan-jalan denganku di Bandung.
Pada sebuah jalan yang aku tidak tahu namanya, Reza memarkir motornya. Ia menyuruhku menunggu angkot di sana. Katanya,  naik angkot berwarna hijau kalau mau ke Alun-Alun kota Bandung. Kuturuti saja apa maunya, tanpa bertanya panjang lebar, sebab dia sudah lebih banyak tahu tentang Bandung dari pada aku yang baru pertama kali.
Reza memang tidak mengantarku sampai di alun-alun, dia takut kena macet. Dan Bandung adalah kota yang tak bisa lepas dari macet. Bahkan, kalau Bandung gak macet bukan Bandung lagi.
Aku benar-benar naik angkot warna hijau seperti yang disarankan oleh Reza, minta turun di terminal Kalapa pada sopirnya. Ihir, di dalam angkot itu ternyata banyak gadis-gadis cantik. Kalau seandainya surga itu memang benar-benar ada, pasti hanya selebar angkot Kalapa ini, dengan tiga bidadari yang begitu cantik di depan dan kanan-kiriku.
 Aku mudah untuk jatuh hati pada gadis manis itu. Tapi mereka pasti sulit untuk tertarik padaku. Yah, dari pada merepotkan orang, sekalian aku berdoa pada tuhan agar mereka tidak usah repot-repot untuk jatuh cinta padaku. Biarkan aku saja yang dengan senang hati tertarik pada mereka dengan curi-curi pandang.
Jalanan memang macet, tapi aku senang. Karena angkot ini seperti surga, maka perjalanan waktu di Surga memang tak secepat di bumi. Begitu lamban, sangat lamban, bahkan seperti tak bergerak karena macet. Sebenarnya aku berharap angkot hijau ini terjebak dalam kemacetan berjam-jam, agar aku bisa duduk berlama-lama dengan para bidadari di sampingku.
Kira-kira satu jam kemudian aku sampai di terminal Kalapa. Turun di sana sambil melambaikan tangan di dalam hati pada gadis cantik yang tadi seangkot denganku. Jika tuhan menghendaki, kita pasti berjumpa kembali.” harapku dalam hati, semoga Tuhan juga mendengarkan kata hatiku tadi.
Betapa bangganya kalau dia benar-benar menjadi pacarku… haha. Mimpi di siang bolong memang ada.
Kulangkahkan kaki menuju Alun-alun kota Bandung, yang masih dua ratus meteran lagi. Aku dan kakak Arik, kakaku yang dari Bogor, sudah janjian untuk bertemu di sana. Tapi dalam telepon dia bilang untuk menunggunya sebentar, sebab ia masih mencukur rambutnya di salon. Aku tak peduli, dia mau lama atau sebentar. Pokoknya aku lagi senang. Bayangan tentang perempuan manis yang tadi seangkot denganku itu telah membuatku lupa segalanya. Sambil berjalan menuju alun-alun, aku senyum-senyum sendiri membayangkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi: bertemu lagi dengan dia.
Sampailah aku alun-alun. Memandang kanan-kiri, mengamati apa saja. Senyum-senyum sendiri membayangkan perempuan tadi, sembari menunggu kakak yang juga belum datang di tempat duduk yang memang telah disediakan.
Alun-Alun kota Bandung tak seindah Alun-Alun kota Jogjakarta, sempit dan membosankan. Itu baru sisi jeleknya, sisi indahnya adalah gadis cantik yang tak ada di alun-alun Jogja banyak berkeliaran di alun-alun Bandung. Bandung memang kebalikan dari Jogja. Sayangnya perempuan-perempuan itu sudah punya pasangan semua, sehingga bagiku mereka adalah gadis cantik yang telah kehilangan kecantikannya. Berbeda dengan perempuan yang tadi seangkot denganku, dia sungguh luar biasa.
Akhirnya kakakku datang setelah lama aku menunggunya di alun-alun sendirian. Ia memanggil namaku, sambil berjalan ke arahku. Aku bersalaman padanya. Kemudian, tanpa kuminta, ia memberi komentar tentang rambutku yang mulai gondrong. Mungkin terlihat aneh di hadapnnya, tapi bagiku ini adalah penampilan yang biasa saja. Orang yang secara rutin pergi ke salon memang selalu memiliki rasa aneh berlebihan pada sesuatu yang berbeda dengan penampilannya. Biarlah. Aku kehilangan minat untuk menanggapinya.
Ia mengajakku ke tempat kos Kak Icuk, aku manut dan memang di sanalah tujuanku. Aku berjalan mengikuti langkahnya menuju arah timur. Sepanjang jalan kakak bercerita banyak hal, aku hanya mendengarkan, sebab kalau aku juga bercerita lalu siapa yang mau mendengarkan.
“Kakak Icuk masih jam lima baru bisa keluar dari kantornya,” ia memberitahuku. “Jam lima nanti kita ke sana, lalu jalan-jalan bareng ke BEC (katanya, BEC itu singkatan dari Bandung Elektoronic Centre). Aku hanya mengiakan saja.
Ternyata kost Kak Icuk memang tidak jauh dari alun-alun. Hanya menyeberang jalan sekali, belok kanan sekali, masuk gang sekali, dan naik tangga sekali juga. Kira-kira cuma lima ratus meteran lah. Di tempat kost Kak Icuk, Kak Arik bercerita banyak tentang kota Bogor dan temanku di rumah yang menikah dengan janda. Ceritanya seru. Aku mendengarkannya sambil twitteran. Setelah itu, kita sama-sama tertidur.
Bangun tidur langsung mandi, sholat, dan jalan mencari warung makan. Kak Arik ingin makan nasi Padang katanya, makanya sepanjang jalan di dekat alun-alun kita berdua mencari rumah makan padang yang entah di mana letaknya. Baru tahu setengah jam kemudian, ternyata rumah makan padang itu ada di mana-dimana, kami pilih makan yang di dekat alun-alun saja. Agar tidak jauh dan muter-muter lagi. Capek.
Sehabis makan langsung pulang lagi ke kost Kak Icuk. kata Kak Arik kita sholat Ashar dulu, baru kemudian jam setengah lima’an berangkat ke tempat kerja Kak Icuk di Bank BJB di jalan Braga.
Selesai sholat Ashar aku masih asik twitteran, sedangkan Kak Arik sibuk mengisi biodata diri yang katanya mau digunakan untuk melamar perempuan shalihah. Aneh-aneh saja memang kakak yang satu ini. Dulu, pas lagi kumpul keluarga pada lebaran tahun lalu, dia ngaku udah banyak cewek yang suka padanya, tapi nyatanya masih saja dia membuat data diri untuk mendapatkan istri.
Jam setengah lima aku akhirnya berangkat menuju tempat kerja kakak. ternyata harus menyebrang jalan dan terus melangkah ke arah yang tidak kutahu. Pokoknya jauh, hanya terasa menyenangkan karena Bandung adalah tempat yang baru di mataku.
Akhirnya sampai juga di depan kantor BJB. Aku dan Kak Arik masuk ke dalam menemui Kak Icuk setelah minta izin pada satpam yang berjaga di pintu masuk kantor Bank BJB. Di dalam kantor Kak Icuk, kami hanya sekedar foto-foto. Kata Kak Icuk, ini adalah kesempatan langka. Aku jadi tidak tahu harus menolak gimana.
Jam pulang kerja, kami bertiga langsung berangkat menuju BEC naik angkot. Kecewa aku di sana, ternyata BEC hanya sekedar tempat jualan barang-barang electronic. Sialnya lagi, kita hanya sekedar lihat-lihat, tidak ada barang yang mau dibeli. Untungnya ada banyak perempuan yang bening-bening di sana. Sehingga rasa kecewaku sedikit terobati.
Sepulang dari BEC, kami makan dan langsung tidur. Tidurnya tentu di kost Kak icuk, bukan di tempat makan. Sungguh perjalanan yang membosankan.

Diculik ke Jatinangor
Pagi sekali Naufal menjemputku untuk dibawa ke Jatinangor, ke tempat kursus bahasa Inggris barunya: AERO, Active English Revolution.
Naufal adalah teman pondokku di Annuqayah dan teman seperguruan bahasa Inggris di Pare. Karena rezeki Tuhan memang tidak ada orang yang bisa memprediksinya, ia mendapatkan jodoh orang Jatinangor. Kemudian ia memiliki rencana untuk membangun tempat kursus bahasa Inggris di sana.
Di Jatinangor, di tempat kursus bahasa Inggris barunya itu, aku diminta untuk membuat logo, brosur dan banner. Rupanya si Naufal tidak mau menganggurkan aku di Bandung. Ia tidak mau tahu, kalau di Bandung aku hanya ingin jalan-jalan, bukan mencari pekerjaan. Kalau seandainya aku memang niat mencari pekerjaan, sudah sejak dulu kulakukan. Biarlah orang lain yang lebih membutuhkan kerja yang mendapatkannya. Tapi kenyataannya, malah pekerjaan yang memburuku. Apa boleh buat. Dengan sedih, aku hanya bisa berkata pada mereka, “Maafkan aku yang telah mengambil satu lapangan pekerjaanmu secara dipaksa.”
Di pagi itu, Naufal menculikku dengan motor supra. Bandung terasa begitu dingin. di atas motor yang bergerak pelan pun sudah begitu menusuk dinginnya. Jaketku terasa tak ada gunanya, tak ada yang terasa hangat sama sekali. Saat itu masih belum ada macet, karena masih pagi sekali. Naufal memang sengaja menjemputku pagi-pagi agar terhindar dari macet.
Dalam perjalanan ke Jatinangor, Naufal memabawaku melihat-lihat beberapa kampus yang searah dengan tempat kursusnya: UIN Sunan Gunung Djati, ITB Jatinangor, dan keliling kampus UNPAD yang luas. Setelah itu sampailah di tempat kursusnya, dan aku langsung disuruh kerja paksa di sana, melay-out brosur dan banner.
Selesai dari tugasku melay-out aku minta pulang padanya. Tapi Naufal melarangku pulang cepat-cepat, karena dia diajaknya nonton film 99 Cahaya. Dengan penuh rasa hormat, aku menolak tawarannya itu. Karena aku harus balik lagi ke tempat Kakak Icuk di Pasundan. Aku masih kangen padanya, ingin diajak jalan-jalan lagi tapi tidak ke BEC lagi.
“Maaf, Fal, kerja itu tidak boleh lama-lama. Di luar sana masih banyak orang yang tidak punya kerja,” ucapku pura-pura serius. Naufal tertawa. “Lagi pula aku tidak punya banyak waktu di Bandung. Besok Minggu harus balik ke Jogja. Jadi Sekarang aku harus balik ke tempat kakak untuk melepas kangen,” tambahku panjang lebar pura-pura memohon.
Akhirnya Naufal membolehkan, dia memberiku uang ongkos untuk pulang. Dan aku harus senang.
Aku balik ke tempat kakak naik Damri.
***
Bersambung.  Nanti kalau ada waktu akan aku edit dan kulanjutkan. Soalnya sudah capek.

Senin-Sabtu, 17-22 Maret 2014