Akulah Tetes Hujan


Aku melihatmu mengetuk pintu. Perlukah kubukakan pintu? Sebab garis di wajahmu tidak mengizinkanku.
Kala itu gerimis datang. Kau berlari menjauh dari serbuan butir-butir hujan yang kian deras, lalu berteduh di bawah bangunan berwarana kulit jeruk matang. Angin berhembus ke arahmu, menggerakkan ujung kerudung putihmu. Sebenarnya telah kusampaikan kerinduan yang matang bersamaan hembusan angin itu, apakah kau mendengar aromanya walau sedikit saja?
Wajahmu berpura-pura memandangi rintik hujan. Menghiraukanku. Padahal justru itu yang membuatku senang, karena aura kebencian yang keluar dari wajahmu begitu tulus berurai memancar padaku. Yang penting kau tulus membenciku, aku pun membalas akan terus tulus menyayangimu. Sebab cinta kadang butuh berbalas seperti itu.
Semoga hujan tak segera reda mengurungmu di sini. Karena aku sedang menunggu tepatnya waktu, untuk menjadi tetes hujan terakhir yang akan menyapa permukaan tanganmu. Izinkan aku, meski sudah tidak menjadi manusia untuk mendekap tenang tanganmu.
Rabu, 28 Desember 2011

Berawal Dari Lama

Lama sudah tidak menulis. Banyak kerjaan, banyak keinginan aneh, banyak ajakan mendadak yang tanpa diduga sebelumnya, dan banyak gangguan lainnya.
Malam ini saja kalau tidak dipaksakan untuk nulis, mungkin tak akan ada yang baru di Mount Rea Labenniey, blog transformerku ini. beruntunglah ada keinginan membludak yang berteriak sekian keras menyuruh untuk menulis, kalau tidak, ya mungkin hanya nulis status facebook.
Entah bagaima nenek moyangnya, akhir-akhir ini aku memang jarang sekali menulis. Padahal tujuan kuliah di Jogja sepenuhnya ingin mengabdi pada pengetahuan, pada buku, pada kegiatan menulis yang, konon katanya, sangat digandrungi oleh konco-konco mahasiswa Jogjakarta.
Memang ada yang berubah pada diri saya, aku ternyata lebih gandrung memburu perempuan, ingin punya pacar seperti teman-teman. Ada yang memberi perhatian lebih, ada yang nemenin, dan ada malam minggu yang romantis, dan ada-ada yang lainnya. Tapi takdir mengabulkan keinginan saya, terus memberi kebebasan untuk sendiri. Hahaha... alangkah lucunya takdir saya, dan saya pun bangga.
Kata salah seorang teman, no woman, no opo-opo! Dan inilah tulisan pertamaku di bulan Desember untuk Mount Rea Labenniey.
Rabu, 28 Desember 2011

Aylofyu Kepada Siapa?

Siapa manusia di dunia ini yang tidak pernah jatuh cinta? mungkin jawabannya Mak Lampir. Karena selama aku menonton Misteri Gunung Merapi tidak pernah ada adegan yang menampilkan Mak Lampir kasmaran pada seorang laki-laki. Ini hanya dugaanku. Benar tidaknya ini masih misteri, lebih komplitnya misteri gunung merapi.
Dan bila ada pertanyaan—entah dalam soal UTS, UAS, UAN, atau ada orang yang bertanya—siapakah  orang di dunia ini yang begitu memuja cinta? jawablah tanpa ragu: Ruhut Sitompul.
Ruhut adalah tokoh yang begitu cinta mati pada golongannya, dan berani apa saja untuk membela alirannya itu. Dalam kasus Century, misalnya, ia dengan yakin menjaminkan leher dan kupingnya. “Aku orangnya fakta. Potong leher aku kalau Ibas terima dana Century,” katanya. Di saat lainnya ia bilang, “Tidak ada kaitannya SBY dan Demokrat dengan aliran dana Bank Century. Kalau ada, potong kuping Ruhut Sitompul.” Dan berita terbaru pembelaan Ruhut pada golongannya, adalah tentang keberaniannya mengakui bahwa dirinya es lilin.
Lantas, bagaimana dengan kisah cintaku? Karena aku bukan Mak Lampir atau Ruhut Sitompul, maka kisah pernajalanan cintaku berbeda dengan kedua tokoh tersebut. Tentang kisah cintaku, aku usahakan untuk menceritakannya dari awal, mulai kegelisahan-kegelisahan di jurusan filsafat sampai menemukan cinta sejatiku:
Selama menjadi mahasiswa Aqidah dan Filsafat (AF), kalau boleh jujur, aku merasa masih tidak pantas kalau disebut sebagai mahasiswa AF. Cakrawala pengetahuanku masih tak seberapa, dan ketajaman pemikiranku masih perlu dipertanyakan. Itulah sebagian alasan kenapa aku suka bolos kuliah, ya karena takut dikatakan mahasiswa, lebih-lebih dikatakan mahasiswa AF yang notabeni dengan keilmuan yang luar biasa.
Beruntung setiap malam Sabtu ada kajian rutin filsafat angkatan 2010 (For Maksiat “Forum Malaikat Filsafat”). Di diskusi rutin itu aku bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa yang benar rakus pada ilmu pengetahuan, sehingga sedikit banyak aku belajar dari mereka, dari pemaparan-pemaparan mereka saat diskusi.
Teman- teman seperti A. Rusliyanto, Supriyadi, Imanuel Marcus, Jakfar (Je Ef), Roro Kanjeng, Siro, Iraone, Izzat, Ipank, dan beberapa teman lainya yang selalu datang pada diskusi rutin For Maksiat, mereka itulah yang banyak membantu pemahamanku tentang filsafat, yang bagiku begitu rumit dan sukar untuk difahami.
Mungkin saja aku tidak akan mengenal corak pemikiran filsafat pada zaman klasik, filsafat abad tengah, filsafat abad modern, dan filsafat post modern. Beruntung aku bertemu dengan orang-orang seperti mereka, para pembawa pijar pengetahuan dalam batinku.
Meskipun aktif di kajian rutin For Maksiat di malam Sabtu, toh aku pun tak boleh sombong, dan rasanya masih tak pantas disebut mahasiswa AF, karena keilmuan yang aku miliki masih begitu sempit untuk menyombongkan diri. Teringat kata Sokrates: “Only one I know that, I Know nothing”. Satu hal yang hanya aku ketahui, yaitu aku tidak tahu apa-apa. Benar, saat ini aku memang tak ada apa-apanya. Mungkin hanya daging yang dibalut tulang.

Berlanjut pada persoalan jatuh cinta
Saat ini aku memang sedang jatuh cinta. Paling pertama dan utama aku jatuhkan jatuh cintaku hanya pada For Maksiat. Karena kurasa, hanya dialah yang mengerti tentang keadaanku. Pun ia kerap bersamaku, juga selalu memberikan apa yang aku butuhkan. Kalau kata Sujiwo Tejo di rubrik Wayang Durangpo, Jawa Pos (07/05/11), "Di alam mayapada ini salon terbaik adalah cinta. Orang yang sedang jatuh cinta akan tampak cantik, apalagi jika dilihat oleh orang yang diam-diam mencintai.."  
Mungkin—bila pernyataan Sujiwo Tejo mujarab—Anda akan melihat perubahan pada diriku. Itu karena aku memang benar-benar sekaligus sungguh-sungguh untuk mencintai For Maksiat.
“Aylofyu For Maksiat!” (Maaf bila ada salah penulisan, matakuliah bahasa Inggris kelas A).
Jum’at, 27 Mei 2011

“Bismillah, Aku Bolos Hari Ini!”


Kata Sujiwo Tejo di Jawa Pos (8/5/11): “Jangan anggap enteng hal sepele”. Karena Kuliah bukanlah termasuk dalam golongan hal yang sepele, maka aku menganggap enteng berkuliah; Beberapa kali bolos, beberapa kali mengirim surat izin dengan bermacam rupa alasan, dan beberapa kali yang lain pura-pura sakit.
“Mas... mas... kalau yang enteng saja jangan sampai disepelekan, apalagi yang tidak enteng?” Begitulah pekik hati kecilku mencoba memperingatkan.
Katanya sih, matahati itu lebih peka pada kebenaran dibanding sepasang mata yang telah memberitahuku indahnya pelangi dan warna langit. Maka dari itu aku tidak langsung menyalahkan. Mengunyah terlebih dahulu apa yang barusan ia katakan. Mungkin ada benarnya juga. Tapi... hari ini aku tetap mau bolos. “Bolos bukanlah hal yang enteng. Jadi, bolehlah aku menyepelekannya.” Pesan Sujiwo itu masih kuingat, akan aku amalkan. Mungkin lain waktu aku mengikuti apa kata hatiku itu, ketika Ranah 3 Warna sudah selesai aku baca.
***
Gara-gara sibuk kuliah, novel “Ranah 3 Warna” belum selesai kubaca. Mungkin itulah satu jawaban dari ribuan jawaban yang kupunya jika ada yang bertanya kenapa aku ‘menjauh’ dari kegiatan kuliah. 
Kuliah adalah sebuah kesibukan yang tidak enteng. Butuh tenaga dan pikiran super ekstra jika hendak bergelut dengan ‘dunia’ ini. Coba kau bayangkan; para mahasiswa dari berbagai kadar keilmuan, dosen yang gelarnya sudah sambung menyambung, matakuliah yang melangit, tumpukan buku-buku referensi (meski hanya jadi pengaharum ruangan), dan berbagai makalah dengan memakai metode “menurut analis saya”. Belum lagi tentang rapat-diskusi-debatnya para mahasiswa yang berapi-api menggunakan berbagai argumen. Memang butuh waktu panjang untuk membahas kegiatan perkuliahan. Oleh karena itu, aku tidak pernah menganggap kuliah adalah kegiatan yang main-main, enteng.
“Karena kuliah bukan termasuk hal yang enteng, maka saya anggap sepele,” ungkapku pelan. Kalimat ringkas Sujiwo Teju mengalun merdu dibenakku.
Tadi, sambil merokok Uno Mild aku bertanya-tanya, menduga-duga, dan mencoba menjawabnya sendiri pertanyaan yang muncul tanpa kuduga dalam pikiranku; kenapa anggota DPR suka molor waktu rapat? Nonton video porno? Suka mengatakan komisi8@yahoo.com? dan jalan-jalanKalau bahasa kerennya: Study Tour. Kalau pelisiran itu bahasa yang sejujurnya.
Dari sekian banyak pertanyaan itu, jawaban yang aku dapatkan hanya satu: karena beliau dulu terlalu sibuk kuliah, menjadi mahasiswa yang aktif, tidak pernah bolos.
Pasti Anda pernah melihat mahasiswa yang molor di kelas saat dosen mengajar. Yang nonton video porno ada juga (bahkan ada juga yang jadi bintangnya). Study Tour itu memang sudah menjadi agenda wajib mahasiswa. Dan tentang komisi8@yahoo.com itu perlu ditanyakan secara khusus pada mahasiswa yang sering menulis status lebay di facebook.
Tapi tidak. Hari ini aku bolos kuliah bukan karena takut menjadi anggota DPR yang tidak baik seperti mereka itu. Aku tidak kuliah karena hanya ingin bolos kuliah. Itu saja.
Selasa, 10 Mei 2011

Hanya Tentang Mata Kuliah


Dipikir-pikir, ternyata yang menjadikan saya semakin goblok adalah mata kuliah. Kenapa tidak, coba kalau seandainya diberi kebebasan untuk belajar apa saja, di mana saja, tanpa dikejar-kejar absensi, dan tanpa harus ada embel-embel takut dengan IP buruk yang buruk rupa, mungkin sudah di ambang mata apa yang saya harapkan: menjadi penulis play boy, penulis yang bisa menulis apa saja.
Kata salah seorang teman, “Edison bisa mencipta lampu bukan karena kuliah. Si Howking juga pernah meninggalkan ruang kuliah karena dianggap bodoh oleh dosennya. Gus Dur (alm), kamu tahu sendiri kan kalau si dewa mabuk itu pernah tidak diterima waktu mau kuliah di Mesir.” Dalam arti sederhananya teman saya itu ingin mengatakan kalau tidak ada sangkut pautnya antara kuliah dengan pintar-cerdasnya seseorang.
Saya membenarkan sekaligus bingung menentukan pilihan: mau aktif kuliah atau giat membolos demi mewujudkan keinginan semula, Belajar Sesuai Selera!
 Hidup memang sebuah pilihan. Dan setiap pilihan memiliki konskuensi masing-masing. Jika memilih aktif kuliah, otomatis menu belajar harus sesuai dengan mata kuliah yang telah saya ambil: Orientalisme, Ulumul Hadits, Filsafat Umum, Sosiologi Agama, Sejarah Agama-Agama, dan lain sebangsanya yang juga membosankan. Dan jika saya menjatuhkan pilihan pada belajar sesuai selera, pastinya harus bermadzhab “Anti Wisuda Dini”, karena tentunya banyak mata kuliah yang harus diulang.
Saya sulit menentukan pilihan. Sungguh!
Waktu terus berputar. Detik menjadi menit, menit berlalu menjadi jam, jam berubah menjadi hari, hari pun berganti minggu, dan tak terasa sudah hampir dua bulan aku bingung untuk menentukan pilihan.
Namun, tadi, saat melihat absensi di Godam Kusuka, ternyata sudah ada beberapa mata kuliah yang memberi warning pada saya untuk lebih rajin masuk kuliah. Artinya, jika tetap suka membolos tidak akan diperkenankan ikut ujian.
Entah, apakah itu adalah sebuah jawaban!

Kamis, 07 April 2011 

Kun Fayakun, Cinta


          Saat duduk di lantai empat Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, aku melihat dari balik jendela gambar kepala kakek tua tersenyum bahagia di sebuah bangunan seberang jalan raya. Di samping gambar kakek yang seumuran dengan kakekku itu berjejer tiga deret huruf berwarna merah, KFC. Aku sendiri tahu arti dari tiga huruf itu,  aku hanya berani menafsir kalau ketiga huruf itu singkatan dari Kun Fayakun Cinta.
Setelah beberapa lama kutatap bangunan berdinding kaca bening itu, aku menduga kalau tempat itu adalah sebuah panti jompo, lebih tepatnya tempat para jompo yang percaya pada kekuatan cinta. Tapi kalau kata temanku, bangunan mewah itu adalah tempat makan. Benar-tidaknya wallahu a’lam. Sebab aku sendiri bingung mendengar penjelasan temanku itu, kalau memang benar bangunan indah itu adalah tempat makan, kenapa gambarnya seorang kakek? Bukan lele, burung dara, atau paha ayam?
          Akhirnya aku menyerah, percaya saja kalau tempat itu berjenis kelamin restoran seperti tutur temanku. Daripada aku harus pergi ke sana untuk membuktikan benar tidaknya, itu lebih baik, karena nasi kucing di sana pasti mahal kalau tempat itu memang sebuah restoran.
          Sudahlah jangan membahas itu lagi. Biarlah gambar kakek tua itu tersenyum melihat kendaraan yang tak henti lewat di depannya, mungkin masa mudanya kurang bahagia!
          ***
          Jum’at malam, Jam 08.13. kuajak Polygon merahku ke Toman Coffe. Tas Tracker mendekap erat tubuhku. Kaos Pallmall warna biru yang seudah tiga hari tidak di cuci melindungiku dari belai dingin angin malam. Aku tersenyum saat melintas di depan bangunan mewah yang ada gambar kakek murah tawa itu. Sambil mengayuh sepeda aku berteriak pelan kearah si tua itu, “Oi kakek tua, alangkah indahnya masa tuamu.” Kakek tua itu tertawa mendengar ucapanku. Aku pun berlalu dengan senyum di depannya.
          Aku terus mengayuh sepeda, menelusuri jalan raya sambil menahan geram yang luar biasa pada kendaran bermotor yang tak sopan menjamah malam dengan sura bising. Pun gemerlap bintang di langit lepas di buat tak indah dengan polusi, knalpot kendaraan yang lalu-lalang inilah penyebabnya. Ingin kuadukan pada aktifis Febukiyah nanti, biar mereka membuat grup tentang penyelamatan keindahan bintang. “Seribu Facebooker Mendukung Mobil-Motor Tanpa Knalpot”, misalanya, atau apalah namanya. Pasti banyak yang merespon dan keindahan bintang akan kembali pulih. Bukankah jaman ini orang bisa tanggap dan bergerak membuat perubahan jika ada gerakan di facebook.
Di tikungan pertama, jalan menuju PP. Wahid Hasyim, rantai sepedaku putus. Aku menepi. Behenti. Sedih dan kesal menghampiriku lebih dulu dari belaian angin malam yang membuatku mendekap kedinginan.
          “Ya Allah, Gon,” ucapku pelan menatap kesal plus iba pada si merah kurus ceking ini, “kamu kok begitu tega sama aku sih, Gon,” tambahku berbicara dengan Polygon jadul itu sambil memungut rantai yang tergeletak di aspal. Sial nasibku malam ini.
Toman Coffe masih jauh dari sini. Rantai karat itu sudah tak bisa kusambung lagi, ingin pensiun muda katanya. Kepak sayap kelelawar berhamburan keluar dari rimbun pohon yang berdiri di pinggir jalan. Randhakasean terlihat mengintipku dari balik tirai cahaya bulan. Kusampingkan rantai karatan itu di pinggir jalan. Kemudian aku berjalan menuntun sepeda manja itu ke arah utara.
Sambil menuntun Polygon itu aku ngoceh sendiri di sepanjang jalan, dari masalah ini ke masalah itu, menceracau kemari kesana tak bertujuan: mulai dari uang di rekeningku yang sudah ludes, buku-buku di kardus yang merana tak kubaca, puisi-cerpenku yang mati suri, tulisan opiniku yang kurus ceking tanpa gizi belum kubawa pada ‘dokter’ Sanusi, dan... pokoknya banyak.
           Sepuluh menit kemudian aku sampai di Toman. Memarkirkan Polygon di samping Vixion kekar yang basah oleh embun. Memesan cofeemix pada pelayan toman yang kelihatannya sibuk menghitung uang ribuan. Lalu duduk lesehan di pojok menemani Pengantar Filsafat, titisan pena Louis O. Katsoff. Riak kedip cahaya kunang-kunang di lorong sempit di ujung tatap dan bisik orang-orang di Toman sedikit mengganggu konsentrasiku. Kututup kembali buku yang kubeli lima hari yang lalu itu. kubiarkan semuanya menggangguku.
          “Tie, sini.” Lelaki berambut panjang yang baru duduk di sampingku memanggil seorang perempuan yang memarkir mio hijau. Wajah lelaki itu menuntun ingatanku pada sebuah majalah yang aku baca pada kamis sore. Ya, dia penulis puisi “Darah Merah di Atas Melati” di majalah Anjabar, salah satu majalah kampus di kota ini. Aku hendak menyapanya untuk sekedar berkenalan dengannya, tapi kuurungkan, perempuan yang ia panggil tadi lekas menghempaskan bokongnya ke tikar lalu bercakap dengan penyair itu.
          Perempuan yang dipanggil Tie itu menyalakan sebatang rokok. Bibir mungilnya menyemburkan asap. Lalu bercakap dan tertawa terbahak-bahak dengan penyair berambut panjang itu. Bibir tipis yang sebelumnya terlihat indah membuatku menunduk muak.
          “Yank, udah pesan makanan?” perempuan itu bertanya pada penyair itu.
          “Pesan aja dulu,” jawabnya pelan. Pandangannya lurus pada Aple putihnya.
          Tanpa banyak omong, perempuan itu berdiri lalu pergi ke arah pelayan yang tadi aku temui, yang sepertinya masih sibuk menghitung uang seribuan. Kembali kuperhatikan perempuan itu. Celana pendek yang ia kenakan dan sebatang rokok yang terselip di antara jari-jemarinya yang putih terawat mengingatkanku pada Dom di film “Fast and Farioust”. Dom mengatakan bahwa pacarnya adalah 20% bidadari dan 80% iblis. Dan mungkin perempuan bernama Tie itu juga yang dimaksud Dom.
          Seorang pelayan membawa coffemix pesananku dengan nampan kayu. Dia meletakkan pesananku itu. Lalu pergi kembali.
          “Aku pesan nasi goreng,” ucap perempuan perokok itu. si penyair hanya mengangguk, lalu kembali menatap Aple putihnya.
          Sebelum membaca buku bersampul biru itu, kusruput kopi hangat di depanku. Nikmat. Kehangatannya terasa menemani kesepian dalam hatiku. kubuka halaman tiga. Aku membaca. Sementara di sampingku perempuan itu terus berceloteh bak burung kapodang tua.
          ***
          Jam 03.28. Perutku sudah menjerit tiga kali sejak tadi. Aku begitu lapar. Padahal, sebelum aku berangkat ke tempat ini berjanji hanya untuk membeli kopi. Tapi aku sudah tidak sanggup lagi menahan lapar. Akhirnya aku putuskan untuk memesan nasi goreng, aku ngiler lihat pacar penyair itu makan nasi goreng tadi, makanya aku juga pesan nasi goreng.
          Jam segini suasana di Toman begitu sepi. Hanya ada tiga orang pemuda yang masih terjaga bermain kartu di depanku. Penyair dan pacarnya yang duduk di sampingku pun telah pulang dua jam yang lalu. Dan kata-kata perempuan yang di panggil Tie itu masih segar di telingaku, “Yank, malam ini tidur di kamarku ya.” Mendengar kata itu barulah penyair itu men-shut down aple-nya. Lalu cepat pulang. 
          Nasi goreng Rp. 5000. 00,- akhirnya datang, lagi-lagi pelayan yang mengantar coffemixku yang membawa nasi gorengku. Aku langsung makan. 70% Enak. Lidahku yang meberi nilai seperti itu.
          Setelah makan nasi goreng itu aku memasukkan buku dan penaku ke dalam tas, tracker warna hitam gelap. Lalu aku pulang bersama Polygon merah yang sudah basah oleh embun. Ia kuntuntun lagi sepanjang jalan, semanja mantan kekasihku. Andai aku punya banyak uang sudah kuparkirkan ia dalam jurang. Tidak, aku masih sayang padanya, ia sudah terlalu banyak berjasa.
          ***
          Kembali aku berada di depan panti jompo, kakek tua itu masih tersenyum di jam 04.15 ini. Tak kuasa aku menahan senyum. Lantas kulambaikan tangan kananku kearahnya. Dia tersenyum melihatku dan jalan yang lengang. Senyumnya begitu beda, tak seperti biasa, saat banyak motor di jalan ini.
          “Kun Fayakun, cinta.” aku berlalu dari tempat itu.
Sabtu, 29 Januari 2011