Golongan Hitam


Setelah mendapatkan payung dari Bank Britama, aku jadi ingin hujan turun terus-menerus. Pagi hujan, siang hujan, sore hujan, malam hujan, dan… pokoknya tidak berhenti-henti deh. Hujan datang setiap hari. Minimal dua minggu, lah. Sampai aku bosan.
Payung itu bonus spesial Beasiswa Miskin yang kuajukan setahun lalu. Jadi, selain mendapatkan kartu tabungan dan kartu ATM dari Bank BRI, aku dan beberapa ribu mahasiswa miskin lainnya juga dihadiahi sebuah payung berwarna hitam.
Mungkin pihak Bank BRI atau Menteri Agama merasa kasihan melihat atau membayangkan mahasiswa miskin kehujanan: tubuhnya kurus, bajunya lepek, dan jelas wajahnya pucat karena menahan dingin dan lapar, sedangkan dikantong mereka tidak ada uang. Mengerikan!
Berjalan di bawah guyuran hujan deras dengan payung itu tampak keren sekali, dan tentu membuat pemiliknya menjadi lelaki yang semakin gagah.
Temanku bahkan mengatakan, “Yi, dengan jas Hitler, tas klasik berisi buku filsafat, celana jeans, sepatu kulit, dan payung yang terbuka itu akan membuat kita seperti orang Eropa. Makanya kamu siap-siap saja untuk menghadapi rasa bangga yang berlebihan pada dirimu sendiri karena payung itu.” Ia mengatakannya dengan raut muka yang begitu meyakinkan. Sehingga aku sama sekali tak punya daya untuk tidak percaya padanya.
Ada juga temanku yang tiba-tiba ingin merintis usaha ojek payung. “Toh, meskipun hanya sekedar menjadi tukang ojek payung, aku akan terlihat sebagai pahlawan keren dengan payung hitam di tangan,” ucapnya serius. “Ketampanan yang aku miliki tidak akan berkurang sedikitpun, bahkan semakin bertambah di mata orang lain.” Aku hanya tertawa mendengar igauannya di sisng bolong.
Hujanlah. Turunkan hujan wahai Tuhan Yang Maha Esa. Aku sudah punya payung. Dan kalau sehabis hujan aku lapar, kan cuma tinggal gesek Kartu ATM yang baru saja kudapatkan itu ke mesin pencairan uang. Uang dua juta rupiah tidak akan habis kalau cuma untuk beli satu porsi masakan Padang dan susu anget plus madu murni sehabis hujan. Mentraktir tiga teman pun masih ada sisa banyak. Jadi jangan ragu-ragu untuk menurunkan hujan-Mu wahai Tuhan. Please!
Selang beberapa menit, gerimis benar-benar datang. Hatiku berdecak gembira sambil membuka payung itu. Dengan payung terbuka aku berdiri di pinggir jalan menunggu hujan turun deras. Kian lama hujan memang semakin deras. Aku bersorak dan tertawa senang.
Namun jangan sekali-kali menganggap aku sebagai seorang nabi, yang doanya selalu dikabulkan oleh Tuhan. Sekarang memang musim hujan. Sebelumnya memang mendung. Jadi hujan bisa turun kapan saja tanpa harus menunggu doaku. Tapi perlu diingat juga, doa orang-orang miskin memang selalu dekat dengan pengabulan Tuhan.
Dan hujan memang benar-benar semakin deras berjatuhan. Suaranya menghentak-hentak di atas payungku. Bagai derap tarian bidadari di Surga.
Samar-samar dari balik jutaan bulir-bulir hujan yang terus berjatuhan, kulihat beberapa orang dengan senyum mengembang di bawah payung yang bermekaran. Mahasiswa dan mahasiswi. Pasti para penerima beasiswa miskin. Karena hanya golongan miskinlah yang punya payung berwarna hitam seperti yang mereka pegang.
Mereka bercakap-cakap sepanjang jalan. Di bawah hujan yang turun semakin romantis. Sekali-kali ada yang menunjukkan kartu ATM berwarna hijau ke langit yang mendung, lalu mereka tertawa bersama-sama. Alangkah gilanya. Tapi itu bahagia.
Kalau seandainya ada orang yang meragukan ada-tidaknya kebahagian, atau ingin bertanya tentang makna kebahagiaan, tanyakan saja pada mereka. Jawabannya pasti sebuah payung, kartu ATM yang masih kinclong dan tawa tulus yang keluar dari jiwa dan raga.
Aku tetap berdiri di pinggir jalan, sembari menikmati hujan di bawah payung hitam. Biar kuhabiskan hujan sendirian, sampai perasaanku dibanjiri kebahagian. Sudah lama aku, sebagai orang miskin, tidak melihat mahasiswa miskin lainnya berbahagia.
Ternyata tidak semua orang bahagia dengan adanya payung itu. Mulai muncul gosip-gosip miring tentang kami, mahasiswa-mahasiswi penerima payung gratis yang membanggakan.
Di mana-mana kami selalu menjadi buah bibir. Penerima payung Britama telah menjadi berita utama untuk dibicarakan, digunjing di sana-sini. Mulai dari tongkrongan di kampus, warung kopi, tempat kencan, status facebook, kicauan twitter dan lainnya.
Sehingga tidak lama berselang ada sebutan ‘Komunitas Payung Hitam’ pada kami. Entah apa yang mereka maksud sebagai payung hitam? Kukira hanya luapan dari rasa iri yang tak terkontrol.
Lalu aku hanya bisa menduga-duga, mereka yang merasa iri dan menyebut kami sebagai ‘Komunitas Payung Hitam’ karena dua kemungkinan: Pertama, payung yang kami gunakan warnanya memang hitam-keren-elegan. Lebih-lebih diberikan pada waktu yang tepat: musim hujan. Makanya timbul rasa iri di hati segenap orang tak berbeasiswa miskin ketika melihat ada beberapa orang berpayung hitam berjalan leluasa di tengah kepungan hujan;
Kedua, mereka menganggap orang-orang kami sebagai pasukan gelap, segelap warna payung, karena suka memalsukan identitas kemiskinan. Ya, bisa jadi. Kenapa tidak? Saat calon penerima beasiswa miskin itu mengantri, sebelum menerima uang dua juta rupiah dan sebuah payung berwarna hitam, segenap mahasiswa miskin itu sudah punya Blackbery, Smart Phone, motor cowok keren, motor matic menarik, pakaian bagus dan tidak ada yang menunjukkan raut muka kelaparan atau sedikitpun semburat kerut kesusahan pada wajahnya.
Tapi semua itu hanya dugaanku saja. Semoga saja salah.  Misalnya, nama ‘Komunitas Payung Hitam’ mereka berikan karena turut merasa bangga pada teman-teman peraih beasiswa miskin yang baru saja mendapatkan uang dan payung. Dan orang miskin yang kulihat mengantri sambil memainkan Blackbery-nya itu, memang benar-benar orang tidak mampu. Artinya setelah mendapatkan uang sebesar dua juta rupiah, dia harus menyetorkannya ke pegadaian untuk menebus barang-barangnya yang sudah hampir jatuh tempo, lalu hidup miskin lagi: kelaparan, rajin berhutang, dan Black Bery-nya  tanpa pulsa. Kasihan. Mau tidak mau aku harus merasa kasihan.

Cerita Orang Miskin
Yang aku sedihkan menjadi orang miskin cuma satu: di mana-mana nasib orang miskin selalu dijauhkan dari kebahagiaan.
Setelah uang sebesar dua juta rupiah sudah di tangan, teman-teman pada minta ditraktir, ngajak karaokean, nonton bioskop, jalan-jalan dan lain sebagainya. Ya, memang benar kita harus berbagi kebahagian. Tapi kalian juga harus tahu takaran untuk meminta bagiannya.
Benar juga kata Paijo, temanku yang juga miskin, “Sakit hati rasanya. Para orang kaya selalu menunggu kita punya uang untuk jalan-jalan bersama.” Kulihat di sepasang matanya ada air yang menggenang. Aku juga hampir menangis dibuatnya. Sungguh.
Aku juga sedih menjadi orang miskin. karena uang kemiskinanku itu tidak cukup untuk membeli sepeda Polygon Xtrada 4.0 yang sudah kuharapkan sejak dulu. Uang itu masih harus kubayarkan untuk registrasi kuliah, uang listrik kos yang sudah lama menunggak, hutang yang menumpuk, dan kebutuhan hidup dan segala macam ketegangannya yang mengerikan.
“Uh. Kalau seandainya tidak terlatih miskin, aku akan sulit menjalaninya. Serius. Tapi aku mau mentraktir teman-teman dan mengajaknya jalan-jalan. Karena aku memang sudah terlatih hidup miskin, dan siap kelaparan kalau uang miskin itu sudah habis.”
Mungkin aku seorang yang nasibnya sama seperti tokoh dalam cerpen Agus Noor: Perihal Orang Miskin Yang Bahagia. Sedikit kukutip kalimat dari cerita pendek menarik itu, ….Ia pernah mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk tangannya. ''Kamu memang punya bakat jadi orang miskin," kata dukun itu. ''Mestinya kamu bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu.''
Mendengar ceritaku ini seharusnya kalian sedih. Biar aku senang melihat kalian. Meskipun tidak ada yang mau sedih, aku bisa senang. Selama payung hitam masih terbuka, dan hujan deras turun deras dari langit. Aku akan seperti sedang di Eropa.
“Teman-teman, ayo jalan-jalan!”
“Jalan kaki lebih menarik”
Panas, euy. Payung uang panas iki

Sabtu, 25 Februari 2014

Asu



Bagaimana Ibu dilahirkan, sehingga ia bisa lebih muda dua tahun umurnya dari aku?
Mungkin segala yang ada di kehidupan ini memang dikandung di dalam rahim serba kemungkinan yang siap dilahirkan kapan saja, sehingga tidak ada sesuatu pun yang tidak mungkin untuk menjadi dan terjadi.
Ceritanya dimulai ketika aku dan dia menikmati waktu istirahat di kantin kampus. Aku sudah lupa hari serta tanggalnya, tapi sedikit-sedikit aku masih ingat obrolanku dengannya. Memang aku adalah seorang yang tak bisa mengalahkan lupa. Makanya agar tidak mudah dilupakan, akan kutulis sedikit-banyak yang masih kuingat tentang kenanganku dengannya.
“Su, aku ini ibu kamu. Kamu tidak boleh mencintaiku seperti cinta Qais pada Laila atau Romeo pada Juliet, cintai aku seperti pancaran cinta seorang anak kepada ibunya.” Di bibirnya menggantung senyum yang manis, membuatku sulit membedakan antara yang serius dan tidak serius dalam dirinya.
Apakah dia benar-benar mau menjadi ibuku setelah tiga tahun berteman? Pertanyaan semacam itu tumpang tindih dalam benakku. Aku berusaha tenang dalam kebingungan mempertimbangkannya, seperti nelayan yang kerepotan mencari jalan keluar dari kepungan ombak besar yang siap menggulung.
Kuraih gelas berisi es teh, lalu kuminum sedikit untuk membasahi tenggorakan yang sepertinya tiba-tiba kering. Bersamaan dengan gelas es teh menyentuh permukaan meja, dengan malu-malu kutanyakan padanya, “Kenapa harus menjadi ibuku?”
Dengan raut muka meyakinkan ia langsung menjawab pertanyaanku, katanya jika ia menjadi ibuku, dirinya bisa mencintaiku sepanjang masa.
Aih, amboi rasanya. Jawaban yang mengejutkan. Tak terduga sebelumnya, kalau akan ada perempuan berparas cantik menembakku untuk dijadikan anaknya, bukan pacar—yang, mungkin saja, baginya hanya hubungan sementara dan main-main.
Akhirnya kuanggukkan saja kepala sembari membalas senyumnya. Meskipun sebenarnya ada rasa tidak puas dalam hati, tapi aku senang jika ia mau memberikan kasih tulus yang tak pernah habis padaku. Kulihat dari tempatku duduk ia menahan tawa. Tawa itu tak tertahan, dan semakin tak bisa dibendung, lalu dia benar-benar tertawa lepas dan disusul gelak tawaku.
Di meja itu, tempat kami duduk,  aku dan dia seakan telah menjadi keluarga kecil yang bahagia.
“Su, Panggil aku ibu, ya!” tatapan perempuan itu masih saja genit. Masih belum ada pandangan atau getar suara keibuan dalam dirinya. Mungkin masih perlu banyak belajar. Atau memang seperti itulah sikap seorang ibu yang lebih muda dua tahun dari anaknya. Entah.
“Iya, ibu.” Aneh dan malu rasanya memanggil teman dekat dengan panggilan ibu. Jangan-jangan aku memang tidak mau dia menjadi ibuku, karena ibu tidak mungkin bisa dijadikan pacar apalagi dinikahi. Ah, tapi aku yakin ini hanya kurang terbiasa. Lalu aku katakan padanya, tentang kesedihanku menjadi anaknya yang tanpa seorang ayah. Entah karena aku ini anak haram atau telah menjadi anak yatim yang sudah lama ditinggal ayahnya mati.
Perempuan yang telah menjadi ibuku itu kembali menumpahkan tawa. Dan hanya tertawa senang. Seakan aku seorang badut yang terlihat lucu di depannya. Sedikit pun ia tidak memberi jawaban yang jelas tentang status keberadaan ayah. Bisa jadi pertanyaanku yang serius itu dianggapnya hanya sebagai lelucon. Padahal, sebagai seorang anak, aku benar benar ingin tahu tentang ayahku.
Sehingga untuk menutup-nutupi kesedihan yang merajam hati, aku hanya bisa menduga-duga bahwa aku dilahirkan tanpa seorang ayah. Persis seperti kisah Yesus dan Maryam. Tiba-tiba aku bergidik, bulu kuduk berdiri. Aku takut nasibku sama, disalib untuk menebus segala macam dosa-dosa manusia.
Tidak. Aku harus punya ayah. “Ibu, sebenarnya siapa ayahku?” Pertanyaanku untuk yang kedua kalinya, karena perempuan yang dua puluh lima menit yang lalu telah menjadi ibuku itu belum juga menjawab pertanyaanku.
“Tenang saja, engkau punya ayah yang tampan dan baik hati.” Lebih lanjut ia bercerita tentang ayahku dengan bersemangat: ayahmu adalah seorang yang taat beribadah, sangat menyayangi ibu, dan tidak suka mabuk-mabukan. Setiap hari, ayahmu selalu membuat ibu bahagia. Dan ibu tidak pernah bosan dengan berbagai macam kebahagiaan yang ayahmu berikan. Selalu saja berbeda dan selalu romantis. Ceritanya panjang lebar.
Sebagai seorang anak aku senang dan bangga pada ayah yang ibu ceritakan. Tapi lagi-lagi ibu membuatku kesal, katanya sebelum menutup cerita, “Sayangnya, sosok lelaki yang seperti itu belum ada yang mau melamar ibu.” Kemudian ibu tertawa.
Ih, kupaksa bibirku tertawa. Pembohong, seruku dalam hati. Ibu memang tidak mau mengerti perasaanku, betapa sedihnya menjadi seorang anak tanpa ayah yang jelas. Ditambah lagi tentang ketakutan bernasib sama seperti Yesus, dipaku di tiang salib. Di jemur. Ditertawakan. Disiksa. Meskipun itu adalah perbuatan heroik demi penebusan dosa, aku gak mau, aku tidak sanggup.
“Tenang saja, nak, kamu pasti punya ayah.”
***
Namanya Ietha. Nama lengkapnya Yunita Sani. Ietha Shanie adalah nama facebooknya. Namun aku memanggilnya ASU, begitu pula sebaliknya. Asu bukanlah binatang berkaki empat yang suka menggonggong. Orang Jakarta dan Jawa Barat menyebutnya anjing. Bukan.  Asu adalah singkatan dari ‘Aku Sayang U (you:kamu)’.
Meskipun bukan pacar, tiada salahnya aku sayang pada teman? Makanya aku panggil asu. Karena aku memang benar-benar sayang pada teman.
[jika ada kesempatan, cerita di atas akan kutulis kelanjutannya.]
Aku Dan Ibu Baru (ASU)
Senin, 20 Januari 2014

Menentukan Tahun Baru



Ibu, apakah kamu dulu meriang, pilek dan disertai batuk-batuk saat mencintai Ayah? Hari ini aku sakit. Takutnya ini adalah gejala awal bagi orang yang sedang jatuh cinta. Namun aku masih belum juga mengerti, jika memang benar begitu, pada siapakah sebenarnya aku sedang jatuh cinta? sedangkan pada perempuan mana pun aku tidak pernah dekat.
Seandainya aku tahu pada perempuan mana aku sedang menaruh hati, aku kan bisa langsung menghentikannya. Agar demam ini cepat berlalu.  Karena sebentar lagi, aku akan berangkat ke Bandung. Dalam rangka menemui kakak dan merayakan tahun baru—yang ternyata, aku sudah terlambat sepuluh hari untuk merayakannya. Tapi tidak apa lah, tidak ada kata terlambat untuk merayakan tahun baru.
Kata salah satu teman, tahun baru itu jatuh pada tanggal pertama bulan Januari. Saat jam di telepon genggammu menunjukkan angka 00.00. Biasanya pergantian tahun itu dimeriahkan dengan tiupan terompet yang memekakkan telinga, pesta kembang api yang pecah-meriah bagai hujan bintang warna-warni dari langit, tampak jelas kesenangan pada setiap raut wajah setiap orang, dan ribuan harapan agar tahun baru ini membawa berkah tergantung di langit.
Hari ini sudah tanggal sepuluh. Sudah tak akan ada bunyi terompet dan pesta kembang api lagi. Ya, mau bagaimana lagi. Namanya juga sudah terlambat sepuluh hari. Tapi karena keterlambatan inilah tahun 2014 menjadi tahun yang benar-benar baru bagiku. Berbeda dengan tahun baru orang lain. Salah satu yang memberi nilai lebih adalah: aku akan merayakannya di Bandung pada tanggal 23 Januari nanti.
Siapa yang akan meniup terompet dan menyulut kembang api? Aku akan mengundang Malaikat Isrofil untuk meniup sangkakalanya, dan Abu Bakar Ba’asyir kuminta untuk membawa bom ringan. Ah, tentu rame dan seru kalau keduanya bisa datang. Hahaha…  ini tentu saja mustahil.
Kamis-Jum’at, 09-10 Januari 2013