Bagaimana
Ibu dilahirkan, sehingga ia bisa lebih muda dua tahun umurnya dari aku?
Mungkin
segala yang ada di kehidupan ini memang dikandung di dalam rahim serba
kemungkinan yang siap dilahirkan kapan saja, sehingga tidak ada sesuatu pun
yang tidak mungkin untuk menjadi dan terjadi.
Ceritanya
dimulai ketika aku dan dia menikmati waktu istirahat di kantin kampus. Aku
sudah lupa hari serta tanggalnya, tapi sedikit-sedikit aku masih ingat
obrolanku dengannya. Memang aku adalah seorang yang tak bisa mengalahkan lupa.
Makanya agar tidak mudah dilupakan, akan kutulis sedikit-banyak yang masih
kuingat tentang kenanganku dengannya.
“Su,
aku ini ibu kamu. Kamu tidak boleh mencintaiku seperti cinta Qais pada Laila
atau Romeo pada Juliet, cintai aku seperti pancaran cinta seorang anak kepada
ibunya.” Di bibirnya menggantung senyum yang manis, membuatku sulit membedakan antara
yang serius dan tidak serius dalam dirinya.
Apakah
dia benar-benar mau menjadi ibuku setelah tiga tahun berteman? Pertanyaan
semacam itu tumpang tindih dalam benakku. Aku berusaha tenang dalam kebingungan
mempertimbangkannya, seperti nelayan yang kerepotan mencari jalan keluar dari kepungan
ombak besar yang siap menggulung.
Kuraih
gelas berisi es teh, lalu kuminum sedikit untuk membasahi tenggorakan yang
sepertinya tiba-tiba kering. Bersamaan dengan gelas es teh menyentuh permukaan
meja, dengan malu-malu kutanyakan padanya, “Kenapa harus menjadi ibuku?”
Dengan
raut muka meyakinkan ia langsung menjawab pertanyaanku, katanya jika ia menjadi
ibuku, dirinya bisa mencintaiku sepanjang masa.
Aih,
amboi rasanya. Jawaban yang mengejutkan. Tak terduga sebelumnya, kalau akan ada
perempuan berparas cantik menembakku untuk dijadikan anaknya, bukan pacar—yang,
mungkin saja, baginya hanya hubungan sementara dan main-main.
Akhirnya
kuanggukkan saja kepala sembari membalas senyumnya. Meskipun sebenarnya ada
rasa tidak puas dalam hati, tapi aku senang jika ia mau memberikan kasih tulus
yang tak pernah habis padaku. Kulihat dari tempatku duduk ia menahan tawa. Tawa
itu tak tertahan, dan semakin tak bisa dibendung, lalu dia benar-benar tertawa
lepas dan disusul gelak tawaku.
Di
meja itu, tempat kami duduk, aku dan dia
seakan telah menjadi keluarga kecil yang bahagia.
“Su,
Panggil aku ibu, ya!” tatapan perempuan itu masih saja genit. Masih belum ada
pandangan atau getar suara keibuan dalam dirinya. Mungkin masih perlu banyak
belajar. Atau memang seperti itulah sikap seorang ibu yang lebih muda dua tahun
dari anaknya. Entah.
“Iya,
ibu.” Aneh dan malu rasanya memanggil teman dekat dengan panggilan ibu.
Jangan-jangan aku memang tidak mau dia menjadi ibuku, karena ibu tidak mungkin
bisa dijadikan pacar apalagi dinikahi. Ah, tapi aku yakin ini hanya kurang
terbiasa. Lalu aku katakan padanya, tentang kesedihanku menjadi anaknya yang
tanpa seorang ayah. Entah karena aku ini anak haram atau telah menjadi anak
yatim yang sudah lama ditinggal ayahnya mati.
Perempuan
yang telah menjadi ibuku itu kembali menumpahkan tawa. Dan hanya tertawa
senang. Seakan aku seorang badut yang terlihat lucu di depannya. Sedikit pun ia
tidak memberi jawaban yang jelas tentang status keberadaan ayah. Bisa jadi
pertanyaanku yang serius itu dianggapnya hanya sebagai lelucon. Padahal,
sebagai seorang anak, aku benar benar ingin tahu tentang ayahku.
Sehingga
untuk menutup-nutupi kesedihan yang merajam hati, aku hanya bisa menduga-duga
bahwa aku dilahirkan tanpa seorang ayah. Persis seperti kisah Yesus dan Maryam.
Tiba-tiba aku bergidik, bulu kuduk berdiri. Aku takut nasibku sama, disalib
untuk menebus segala macam dosa-dosa manusia.
Tidak.
Aku harus punya ayah. “Ibu, sebenarnya siapa ayahku?” Pertanyaanku untuk yang
kedua kalinya, karena perempuan yang dua puluh lima menit yang lalu telah
menjadi ibuku itu belum juga menjawab pertanyaanku.
“Tenang
saja, engkau punya ayah yang tampan dan baik hati.” Lebih lanjut ia bercerita
tentang ayahku dengan bersemangat: ayahmu adalah seorang yang taat beribadah,
sangat menyayangi ibu, dan tidak suka mabuk-mabukan. Setiap hari, ayahmu selalu
membuat ibu bahagia. Dan ibu tidak pernah bosan dengan berbagai macam
kebahagiaan yang ayahmu berikan. Selalu saja berbeda dan selalu romantis.
Ceritanya panjang lebar.
Sebagai
seorang anak aku senang dan bangga pada ayah yang ibu ceritakan. Tapi lagi-lagi
ibu membuatku kesal, katanya sebelum menutup cerita, “Sayangnya, sosok lelaki
yang seperti itu belum ada yang mau melamar ibu.” Kemudian ibu tertawa.
Ih,
kupaksa bibirku tertawa. Pembohong, seruku dalam hati. Ibu memang tidak mau
mengerti perasaanku, betapa sedihnya menjadi seorang anak tanpa ayah yang
jelas. Ditambah lagi tentang ketakutan bernasib sama seperti Yesus, dipaku di
tiang salib. Di jemur. Ditertawakan. Disiksa. Meskipun itu adalah perbuatan
heroik demi penebusan dosa, aku gak mau, aku tidak sanggup.
“Tenang
saja, nak, kamu pasti punya ayah.”
***
Namanya
Ietha. Nama lengkapnya Yunita Sani. Ietha Shanie adalah nama facebooknya. Namun
aku memanggilnya ASU, begitu pula sebaliknya. Asu bukanlah binatang berkaki
empat yang suka menggonggong. Orang Jakarta dan Jawa Barat menyebutnya anjing.
Bukan. Asu adalah singkatan dari ‘Aku
Sayang U (you:kamu)’.
Meskipun
bukan pacar, tiada salahnya aku sayang pada teman? Makanya aku panggil asu. Karena
aku memang benar-benar sayang pada teman.
Senin, 20 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar