Pasia



Aku sudah tahu kamu itu cantik, dan seorang aktivis kampus pula. Tapi, aku ingatkan, jangan sekali-kali membuatku jatuh cinta. Sebab kalau hal itu terjadi, aku akan mengejarmu, mendekatimu dan merayumu tanpa mengenal waktu. Kuingatkan kembali kata-kata Mardhana Ate: laki-laki adalah makhluk paling buas ketika sedang jatuh cinta. Maka hati-hatilah!
Hari itu bukan hari pertama aku melihatmu. Sudah kedua kalinya. Sesekali kau diam-diam memandangku tanpa sepengetahuanku, kan? Hahaha… Aku sudah belajar berbohong sejak kecil, jadi jangan berharap kau bisa membohongiku untuk yang pertama kalinya, nona. Aku tahu gerak matamu yang masih kaku itu jatuh di mana. Tertuju padaku. Dan selalu ke arahku. Sampai aku kenal betul bentuk dan warna bola matamu yang bulat sempurna dan hitam manis itu.
Setahuku, kamu adalah satu-satunya perempuan yang pandai menarik perhatian. Hanya diawali sebuah lirikan kecil, telah membuatku jatuh penasaran. Makanya aku membatasi pandanganku ke arahmu, tapi aku diam-diam tetap mengawasimu.  Aku tidak bisa total menutup diri darimu. Karena, seperti yang kukatakan tadi, aku sudah dibuat jatuh dalam rasa penasaran padamu.
Namun untungnya, satu-satunya pengalaman paling romantis dalam hidupku adalah saat tatapan kita bertemu. Meskipun sebentar, kesannya lebih tua dari umur dunia ini, karena aku seakan menggapai semua pengalaman yang orang lain susah payah mengumpulkannya. Bukankah hidup hanya urusan memperteguh pengalaman? Dan aku telah mendapatkan ribuan pengalaman saat tatapan kita bertemu: saling menyapa dengan bahasa kesunyian yang tiba-tiba aku tahu dan mengerti.
Kau diam-diam kembali menatapku. Meskipun dalam posisi kepala menunduk, aku tahu. Aku masih mengawasi ke mana arah bola matamu. Rasa Penasaranku semakin terseret jauh ke arahmu. 
Tentang sepasang matamu, kurasakan ada kelembutan yang menggoda di kedalaman hitam bola matamu. Entah siapa yang menaruhnya, atau mungkin kau sendirilah yang membentuknya seindah itu: keindahan yang membuatku menyerah untuk mengatakan mampu menjelaskannya pada orang lain. Dan suatu ketidakmungkinan aku bertanya, dari mana datangnya keindahan yang tak tergugat itu padamu. Demi kebaikanmu dari kebuasan cinta seorang laki-laki. Sebab pertanyaan seorang laki-laki, adalah pintu masuk menguasai perasaan perempuan.
Jangan beri kesempatan sedikitpun padaku untuk jatuh cinta padamu. Aku akan menyakitimu hanya dengan sebuah kata “cinta”.  Ya, “cinta” yang disebut-sebut banyak orang, yang disepakati sebagai sebuah kata dan suatu keadaan paling indah dalam hidup. Lagi pula, kamu perempuan yang cantik, seorang aktivis sejati, dan begitu romantis pula. Itu alasan kesekianku kenapa tidak ingin jatuh cinta padamu. Aku menginginkan perempuan dari golongan manusia, bukan makhluk yang serba sempurna. Sudahlah, aku tidak ingin jatuh cinta padamu, nona.
Makanya, sejak pertamakali kita bertemu, aku sudah melarangmu untuk tidak menatapku semanis itu, semanis ajakan Hawa pada Adam untuk turun ke bumi. Buanglah jauh-jauh pandanganmu dariku. Tatapanmu membuatku merasa kehilangan kendali atas diri. Aku serasa sia-sia bersama dan mengenali diri selama bertahun-tahun. Sebab, sebentar saja aku bertukar sapa dengan sepasang matamu, aku sudah berada dalam kebimbangan: antara mau sepenuhnya hanya mencintai diri sendiri, atau hendak berbagi rasa cinta denganmu.  
“Hei, Nona, jangan terlalu jauh memandangku. Cukup di mata jangan sampai jauh ke dalam hati. Jangan pernah membuatku jatuh cinta padamu!” Itu yang kukatakan padamu waktu itu, melalui sepasang mataku. Aku yakin kau mengerti. Sebab sepasang matamu lebih berkuasa dari sepasang mataku.
Pada setiap waktu kita berjumpa, ya, hanya sebatas melalui tatapan mata kita menyapa. Tidak lebih. Aku pun tidak mau lebih. Tatapan, meskipun sekilas, sudah lebih dari cukup bagiku. Dan kuharap, jika kita bertemukan lagi, kita masih saling menyapa hanya melalui sorot mata. Buat apa bicara panjang lebar, jika dengan sepasang mata pun kita saling mengenal. Konon, mata itu lebih jujur daripada lidah meskipun sama-sama tidak bertulang.
Malam ini kau kuberi nama Pasia. Sama sekali tidak ada makna filosofis dari nama itu. Aku hanya sekedar membalik suku kata “siapa”. Tentu, hanya agar aku bisa mengingatmu dengan mudah saat aku lupa: bahwa kau pernah ada.
Minggu, 12 Oktober 2014

Ternyata Kita Sudah Menjadi Alumni KKN



Ternyata secara diam-diam kita sepakat bahwa kita bukan teman KKN. Buktinya selesai KKN kalian masih menganggap Geng of Bagong’s Nam Style (GBS) sebagai teman. Terutama si Umi. Apalagi si Fitri.
Sebenarnya si Fitri lah yang paling utama, seakan-akan dalam dirinya selalu terjadi ledakan kerinduan yang tak bisa ia kendalikan. Padahal KKN sudah selesai beberapa hari yang lalu. Tetapi masih saja dia merasa dirinya sebagai ketua KKN, memberi banyak perintah agar GBS selalu berkumpul bersama-sama. kepo, ih!
Pada setiap pertemuan, pastilah ada perpisahan. Begitulah hidup, mungkin. Kebersamaan kita tidak abadi. Karena ketidak abadian itulah akan ada rindu sebagai penggantinya. Maka tidak salah jika kita saling merindukan satu sama lain, serupa yang dirasakan Umi dan Fitri setiap merasakan kesepian.—Maaf, yang lainnya tidak kusebut, bukan berarti aku anggap kalian sudah memberi jarak dengan GBS. Aku hanya ingin husnudzon saja, bahwa yang lainnya pasti sedang sibuk. Entah sibuk mendakwahkan Islam, menata buku di perpustakaan, ngurus ekonomi rumah tangga, merawat burung, mencari kader dan mengejar cinta sejati. Wallahu a’lam.
Tidak hanya Umi dan Fitri. Aku sebenarnya juga merindukan saat-saat KKN, kebersamaan  bersama kalian. Ingin mendengarkan khutbah dari Tante Sarah, yang kemudian menjadi ajang perdebatan sengit denganku meskipun ujung-ujungnya dia tidak mau disalahkan; tidur berdua sambil bercerita tentang peri aneh bernama Mala dan sebuah kisah cinta yang rumit bersama Bimbim;  kangen larangan Umi untuk tidak selalu makan mie instan; merindukan suara kentut Sobleh yang aromanya tidak sebau ilernya; mau melihat Dina kecapean karena ngelembur ngerjain tugas dari Bu Lastri; pengen lagi membaca puisi-puisi cinta karya Adik Hariyono di selebaran kertas buat Fitri; mau juga dibuat cemburu lagi oleh Ipud, karena dia suka berdua dengan Umi naik motor panas-panasan; dan, aku juga kangen pada perintah Fitri untuk memalsukan tanda tangan Pak Dukuh, Sekretaris Desa dan DPL juga.
Ya, aku kangen semua itu. Aku rindu. Tapi aku tidak mau sering-sering bertemu dengan kalian. Biarlah rasa rinduku tetap menjadi rindu. Tak mau dilebur apalagi dihilangkan dengan pertemuan atau perjumpaan. Rindu itu bukanlah penyakit yang harus diobati, melainkan anugerah yang mesti dijaga. Kata Sujiwo Tedjo, si budayawan nyentrik itu, “Puncak kangen paling dahsyat ketika kita tak saling menelepon, tak saling SMS, BBM-an, dan lain-lain tak saling. Namun diam-diam kita saling mendoakan.” Ah, betapa indahnya rindu. Memang!
Jadi, rasa terimakasih aku ucapkan pada kalian karena telah mengisi ruang-ruang rinduku. Tanpa kalian, apa artinya rindu yang kosong melompong. Tak ada maknanya. Tak ada gunanya. Maka untunglah ada kalian, GBS, untuk mengisi hari-hariku dengan kerinduan yang berguna.
Oh, ya, hampir lupa. Aku juga mau berterimakasih pada Pak Dukuh yang telah mengizinkanku tinggal di dusunnya selama dua bulan: Pada Pak Nur Hidayat yang telah mengizinkanku adzan di Masjid al-Ittihad. Teriakan adzanku jadi terdengar satu dusun karena loudspeakernya yang bagus. Dan itu program unggulanku karena melibatkan pendengaran orang satu dusun; pada Bu Lastri juga aku ucapkan terimakasih, telah membolehkan aku tinggal di rumahnya yang nyaman, juga telah ikut andil dalam  memberiku nilai KKN. Meskipun nilai yang beliau berikan padaku terbilang jelek, aku malah tidak sempat untuk kecewa meski barang sebentar. Maafkan aku, Bu Lasri, sekali lagi maafkan aku atas perasaanku yang seperti itu. Mungkin Anda akan kecewa dengan hal itu. Maka, sekali lagi, maafkan aku.
Pada yang tidak bisa kusebutkan namanya, juga aku ucapkan terimakasih. Maaf tidak bisa aku sebutkan namanya, data sensus penduduknya ada pada laptop Dina. Biarlah kapan-kapan aku minta file-nya. Dan semoga dia tidak membolehkan, karena aku sudah capek.
“Sudah. emmm… Ya, sudah. Kita sudah menjadi alumni KKN.”


Kamis, 02 Oktober 2014