Ternyata Kita Sudah Menjadi Alumni KKN



Ternyata secara diam-diam kita sepakat bahwa kita bukan teman KKN. Buktinya selesai KKN kalian masih menganggap Geng of Bagong’s Nam Style (GBS) sebagai teman. Terutama si Umi. Apalagi si Fitri.
Sebenarnya si Fitri lah yang paling utama, seakan-akan dalam dirinya selalu terjadi ledakan kerinduan yang tak bisa ia kendalikan. Padahal KKN sudah selesai beberapa hari yang lalu. Tetapi masih saja dia merasa dirinya sebagai ketua KKN, memberi banyak perintah agar GBS selalu berkumpul bersama-sama. kepo, ih!
Pada setiap pertemuan, pastilah ada perpisahan. Begitulah hidup, mungkin. Kebersamaan kita tidak abadi. Karena ketidak abadian itulah akan ada rindu sebagai penggantinya. Maka tidak salah jika kita saling merindukan satu sama lain, serupa yang dirasakan Umi dan Fitri setiap merasakan kesepian.—Maaf, yang lainnya tidak kusebut, bukan berarti aku anggap kalian sudah memberi jarak dengan GBS. Aku hanya ingin husnudzon saja, bahwa yang lainnya pasti sedang sibuk. Entah sibuk mendakwahkan Islam, menata buku di perpustakaan, ngurus ekonomi rumah tangga, merawat burung, mencari kader dan mengejar cinta sejati. Wallahu a’lam.
Tidak hanya Umi dan Fitri. Aku sebenarnya juga merindukan saat-saat KKN, kebersamaan  bersama kalian. Ingin mendengarkan khutbah dari Tante Sarah, yang kemudian menjadi ajang perdebatan sengit denganku meskipun ujung-ujungnya dia tidak mau disalahkan; tidur berdua sambil bercerita tentang peri aneh bernama Mala dan sebuah kisah cinta yang rumit bersama Bimbim;  kangen larangan Umi untuk tidak selalu makan mie instan; merindukan suara kentut Sobleh yang aromanya tidak sebau ilernya; mau melihat Dina kecapean karena ngelembur ngerjain tugas dari Bu Lastri; pengen lagi membaca puisi-puisi cinta karya Adik Hariyono di selebaran kertas buat Fitri; mau juga dibuat cemburu lagi oleh Ipud, karena dia suka berdua dengan Umi naik motor panas-panasan; dan, aku juga kangen pada perintah Fitri untuk memalsukan tanda tangan Pak Dukuh, Sekretaris Desa dan DPL juga.
Ya, aku kangen semua itu. Aku rindu. Tapi aku tidak mau sering-sering bertemu dengan kalian. Biarlah rasa rinduku tetap menjadi rindu. Tak mau dilebur apalagi dihilangkan dengan pertemuan atau perjumpaan. Rindu itu bukanlah penyakit yang harus diobati, melainkan anugerah yang mesti dijaga. Kata Sujiwo Tedjo, si budayawan nyentrik itu, “Puncak kangen paling dahsyat ketika kita tak saling menelepon, tak saling SMS, BBM-an, dan lain-lain tak saling. Namun diam-diam kita saling mendoakan.” Ah, betapa indahnya rindu. Memang!
Jadi, rasa terimakasih aku ucapkan pada kalian karena telah mengisi ruang-ruang rinduku. Tanpa kalian, apa artinya rindu yang kosong melompong. Tak ada maknanya. Tak ada gunanya. Maka untunglah ada kalian, GBS, untuk mengisi hari-hariku dengan kerinduan yang berguna.
Oh, ya, hampir lupa. Aku juga mau berterimakasih pada Pak Dukuh yang telah mengizinkanku tinggal di dusunnya selama dua bulan: Pada Pak Nur Hidayat yang telah mengizinkanku adzan di Masjid al-Ittihad. Teriakan adzanku jadi terdengar satu dusun karena loudspeakernya yang bagus. Dan itu program unggulanku karena melibatkan pendengaran orang satu dusun; pada Bu Lastri juga aku ucapkan terimakasih, telah membolehkan aku tinggal di rumahnya yang nyaman, juga telah ikut andil dalam  memberiku nilai KKN. Meskipun nilai yang beliau berikan padaku terbilang jelek, aku malah tidak sempat untuk kecewa meski barang sebentar. Maafkan aku, Bu Lasri, sekali lagi maafkan aku atas perasaanku yang seperti itu. Mungkin Anda akan kecewa dengan hal itu. Maka, sekali lagi, maafkan aku.
Pada yang tidak bisa kusebutkan namanya, juga aku ucapkan terimakasih. Maaf tidak bisa aku sebutkan namanya, data sensus penduduknya ada pada laptop Dina. Biarlah kapan-kapan aku minta file-nya. Dan semoga dia tidak membolehkan, karena aku sudah capek.
“Sudah. emmm… Ya, sudah. Kita sudah menjadi alumni KKN.”


Kamis, 02 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar