The Power Of Angkringan

Setelah kubaca ulang catatan harian yang selalu menemani perjalananku, mencatat sebagian kisahku, dan mengabadikan beberapa mimpi-mimpiku, ternyata riwayat jatuh cinta yang aku alami sebanding dengan jumlah perempuan yang menolak cintaku. Mungkin benar kata temanku, aku ini termasuk seorang yang tak memiliki potensi untuk dicintai, bakatku hanyalah mencintai. GW Von Leibnitz, Matematikawan-Penemu Kalkulus, mengingatkanku, "Mencintai artinya berbagi kebahagiaan demi kebahagiaan orang yang kita cintai." jadi, biarlah aku sendiri menikmati cinta dengan mencintai dia dan tak mengharap dicintainya.
Kemarin aku mendengar kalau si sahabatku sudah resmi pacaran dengan si temanku. Si dia kulihat dengan mata kepala sendiri sedang berduan dengan si itu. Si tampan lagi pedekate sama si anggun. Dan si pendiam dalam kelas ceritanya malah lebih ekstrem lagi, ternyata dia playboy kelas kelinci Afrika yang suka gonta-ganti cewek tiap minggu. Melihat semua itu sebenarnya aku marah pada diriku sendiri karena tidak mudah mendapat belahan jiwa seperti mereka. Tapi aku berjanji untuk tidak semudah itu jatuh cinta.
...
Aneh! Sudah jelas-jelas tahu kalau tidak akan ada gadis yang bakal suka padaku, tetap saja aku mebiarkan hati ini jatuh hati. Jatuh hati pada putri nilai tinggi, yang tak sekedar perempuan saraf tegang seperti Zakia Nurmala, cantik tak ada duanya semisal A Ling, dan cerdas setaraf Sophie Amundsend. Dia adalah bidadari kelas atas yang tersesat di bumi, dan aku seorang bujang lapuk yang seringkali jatuh terjungkal ditolak perempuan tersesat dalam kelembutan hatinya. Lalu, masihkah aku mau sakit hati untuk yang ke sekian kalinya?
Seperti janjiku, tak mungkin aku mengutarakan perasaanku padanya. Selain sudah bisa kutebak kalau cintaku hanya akan bertepuk sebelah tangan, aku juga masih tak sanggup mendapat rekor muri sebagai pemuda paling banyak sakit hati. Cukuplah catatan harian yang selalu setia bersanding denganku itu mengabadikan namanya, merekam jejak perasaanku padanya, dan menyimpan kata yang hendak kuucapkan untuknya. Mungkin begitu lebih baik daripada gegabah mengutarakan perasaan.
Aku teringat pesan Gandhi: “Menyebut perempuan makhluk paling lemah adalah suatu fitnah; hal itu merupakan bentuk ketidakadilan kaum pria terhadap kaum perempuan. Kau hendaknya menjaga kehormatan istrimu dan bukan menjadikannya budak tetapi teman sejatimu. Tak seorangpun darimu diperbolehkan memperlakukan yang lainnya sebagai pemuas nafsu.” Jadi, aku hanya mencintai bidadari itu dan tak berharap dia mencintaiku.
...
Untuk menentramkan suasana hati yang pasang-surut dan penuh gelombang ini, dengan membawa catatan harian dan buku “Dunia Sophie” aku berangkat menuju Angkringan. Resah dan gundah biasanya hilang jika aku sudah lesehan di Angkringan, apalagi kalau ditemani kopi hangat yang rasanya begitu nikmat, hidup seperti tak ada masalah dan gelisah seolah cepat singgah. Kalau sudah begitu aku bisa tenang membaca buku, nyaman menuangkan ide dalam untaian kata, dan pastinya aku bisa melupakan perempuan anggun nomor wahid itu.
Benar dugaanku, novel filsafat karya Jostein Gaarder itu begitu nyaman kunikmati. Kadangkala aku catat pemikiran filsuf dan kalimat filosofis yang sepertinya mudah kulupa, dengan begitu aku bisa melihat catatan itu kembali saat aku lupa. Di Ankringan itu—meski tak sepenuhnya—aku juga bisa melupakan bayangan perempuan itu.
Halaman demi halaman novel filsafat itu sedikit demi sedikit kutelusuri. Mulai dari ucapan terima kasih, pengantar penerbit, filsafat dan pengalaman, taman firdaus, topi pesulap, sampai akhirnya pada bab yang menerangkan tentang Socrates, filosof Athena yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap pemikiran Eropa. Tentunya tak perlu panjang lebar aku membahas ini...
Jam tangan hitam yang melingkar di tangan kiriku menunjuk angka sebelas. Jarum panjangnya berada di antara angka sebelas dan dua belas. Sedangkan jarum kecilnya terus menari tak henti menarik waktu. Akhirnya aku melenggang pulang. Di tengah perjalanan aku tersenyum sendiri. Tapi bukan teringat wajah bidadari itu, tingkat ke’gilaan’ku padanya tidak separah itu. Aku senang karena tak perlu susah-payah menguluarkan uang banyak untuk mencari tempat menyendiri, merenung dan menghibur diri ketika banyak masalah, karena Angkringan sudah menyediakan segalanya.
Selasa, 30 Nopember 2010