Jangan Cemburu Kekasih


Tidak sedikitpun terbersit keinginan untuk menjadi seperti Soren Kierkegaard, filsfuf eksistensialis,  dalam kisah cintanya: meninggalkan perempuan cantik, berkulit putih, bermata bulat, dan hidung mancung bernama Regina Oslen. Apalagi hendak menumbuhkan rasa cemburu dalam hati putih kekasihku. Kekhawatiran itulah yang membuatku memberi judul catatan ini “Jangan Cemburu Kekasih”. Karena tulisan ini akan bercerita tentang rayuan gombal sahabat perempuanku yang katanya ingin melihat tulisan baru di blogku ini.
Namanya Yunita Sani. Mahasiswi Aqidah dan Filsafat angkatan 2010. Parasnya cantik, ditambah lagi dia seorang perempuan yang cerdas dan tak pernah lelah berusaha mengajar cita-citanya.
Perempuan berdarah Bali itu Tiba-tiba—entah disengaja atau tidak atau benar jujur atau tidak—mengatakan, kalau dirinya suka membaca tulisan di blogku dan juga penuh kesabaran menunggu akan ada tulisan baru muncul di sana sebagai wakil kisah di bulan Desember. Tak kubayakangkan ekspresi wajahku yang terkejut mendengar Ietha (sapaan akrabnya) memintaku untuk menulis lagi. Aku senang dalam keanehan.
Sejenak aku berpikir. Mengingat tulisan-tulisan yang pernah aku buat di Mount Rea Labenniey, Blog Mahasiswa-Kritis-Transformertif mililikku. Setahuku, tulisan di blogku tidaklah bagus. jauh sekali jika dibanding dengan catatan harian anak SMA, apalagi kalau disandingkan dengan tarian kreatifitas Goenawan Mohammad dalam catatan pinggirnya, karyaku seketika akan berada di pojok ruangan jelek yang teramat sangat. Sungguh tragis dan mengenaskan.
Lalu, seperti anak kecil yang selalu ditimpa perasaan ingin tahu, kenapa gadis Bali itu menyukai tulisan tak bagus ini? Jawabannya mungkin karena tulisannya memang tidak bagus.
Aku sekedar seorang yang tidak tahu menulis dan pada saat bersamaan hanya memiliki keinginan yang tak cukup besar untuk menulis. jadi, sudah bisa ditebak, tulisan yang dihalsikan tidak akan terlalu bagus, bahkan bisa jadi akan sangat jelek. Tapi bagiku keinginan itu adalah sebuah keberuntungan yang harus kujaga dari kejahatan bermalas-malasan. Sebagaimana kata sastrawan blasteran Bali-Madura, Achmad Faqih Mahfudz, “Jogja adalah kota yang enjoy, Jangan pernah berdamai dengan hidup santai-santai jika ingin berhasil di kota ini. Harus berani bergerak. Harus berani memeras keringat”.
Sayangnya beberapa bulan ini aku tidak pernah lagi menulis—kecuali menulis di facebook dan twiter: menjadi lelaki yang dijajah sepenuhnya oleh dua jejaring sosial itu. Beruntung ada kekasihku yang sering mengingatkan untuk menulis puisi dan catatan harian lagi. Pula, ada teman kelas yang menyuruhku untuk memperbarui tulisan di blog.
Sekali lagi teruntuk kekasihku, saat aku menyebut nama Yunita Sani, teman kelasku itu jangan pernah punya keinginan untuk cemburu padanya. Aku akan tetap menggilmu dengan “manisku”. Syahadat cintaku masih tetap penyair Syuriah, Nizar Qabbani: Aku bersaksi bahwasanya tidak ada perempuan selain engkau di hatiku, kekasih.
Jangan cemburu kekasih, arah cintaku masih padamu. Dan aku ucapkan juga terimakasih pada Yunita Sani, teman kelasku yang baik hati—mungkin juga suka menabung dari beasiswa (miskin dan penguatan prodi) yang selalu didapatkan.
Jum’at, 28 Desember 2012