Miskinnya Diriku dan Sungguh Teganya Dirimu





Mam, sudahlah. Jangan paksa aku untuk menjadi miskin.  Menjadi orang miskin adalah kondisi yang sangat sulit dan melelahkan. Di mana aku harus kehilangan banyak waktu dan uang. Kalau hanya masalah waktu bisa saja kukorban pekerjaan lain, misalnya bolos kuliah. Namun jika dihadapkan dengan persoalan uang, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti mati perlahan.
Menjadi orang miskin adalah hal yang melelahkan. Aku harus mengurus surat-surat ini dan itu, yang semua urusannya tidak mudah, tidak seperti membalikan telapak tangan. Apalagi jika ujung-ujungnya aku disuruh membeli materai, kertas kecil sebesar prangka yang harganya menurutku tak pantas: Rp. 6.000. Padahal koran saja yang ukuran ratusan kali lebih besar dari materai itu harganya ada yang Rp, 1000. Maaf Mam, aku tidak mampu.
Ya, aku memang miskin. Tapi untuk menjadi miskin yang dilegalkan seperti yang kamu inginkan aku tidak mampu. Sungguh terlalu mahal biayanya untuk orang miskin seukuran aku.
Meskipun diiming-imingi uang sebesar dua juta rupiah dari Kementrian Agama, yang mungkin, sebagai ganti rugi uang lelah ke sana ke mari minta tanda tangan orang-orang besar, ngeprint surat-surat, membeli map, materai dan cetak foto 4 x 6 sebanyak 2 lembar  aku tidak begitu tertarik. Lagian, dengan uang sebesar itu, apa yang harus kubeli?
Mam, maafkan aku.
Atau, kalau Kementrian Agama itu memang benar-benar niat memberikan beasiswa miskin, suruh datang saja ke tempatku. Akan kusuguhi junkfood, agar beliau tidak lagi menyuruh aku membeli materai atau membuat stempel dadakan, seperti kebanyakan orang beruang mampu melakukannya.
Hahaha….
Kamis, 19 September 2013

Mengingatmu di Toilet






Setiap kali masuk ke dalam toilet aku selalu teringat pada Mahalli, temanku yang kerap berbicara tentang toilet. Di benaknya seakan-akan pembahasan tentang toilet tidak pernah ada habis-habisnya. Salah satunya, kalau tidak salah ingat, “Peradaban pertamakali dimulai sejak orang pertama menemukan toilet”. ‘Kalimat-kalimat toilet’ seperti itu ia abadikan menjadi status di facebooknya dan kicauan di twitternya.
Kemudian yang menjadi masalah bagiku, apa hukumnya mengingat dan keceplosan menyebut nama Mahalli Hatim Nadzir di dalam toilet menurut pandangan Fiqih? Jujur, sampai saat ini aku belum tahu jawabannya. Terlalu sulit. Terlalu rumit. Selain karena tidak banyak memahami fiqh, aku juga tidak terlalu bisa membaca literatur Arab untuk membaca kitab-kitab fiqh—Fiqhu as-Sunnah dan Madzahibul Arba’, misalnya—untuk mencari tahu hukum mengingat si teman di dalam toilet. Jika terus dibiarkan tidak tahu tentang hukum boleh-tidaknya atau halam-haramnya, mungkin akan menjadi seorang yang merugi dengan menanggung banyak dosa.
Dulu, aku hanya diajari oleh kakek, jika sedang di dalam toilet tidak boleh menyebut nama Tuhan, membaca Alqur’an, berdzikir dan ngobrol. Coba seandainya pada saat itu aku sudah kenal Mahalli yang suka bicara panjang lebar tentang seluk beluk toilet, pasti akan kutanyakan pada kakek hukumnya mengingat Mahalli di dalam toilet.
Sudah sering aku berusaha melupakan Mahalli ketika hendak masuk ke dalam toilet. Namun usaha itu seakan sia-sia belaka. Sebelum melangkahkan kaki kiri ke dalam toilet, nama dan sosok Mahalli yang berkumis tebal itu begitu kuat hadir mengetuk ingatanku. Ini serupa penyakit aneh yang disebabkan oleh sihir atau guna-guna, tak akan ada dokter yang bisa menyembuhkannya. Hanya Mahalli satu-satunya orang yang tahu obatnya.
Sehingga, karena begitu seringnya teringat lelaki kelahiran parenduan itu, aku tahu beberapa merk toilet yang pernah aku singgahi: UIN Sunan Kalijaga, Toto, warnanya putih; Blandongan, tak ada merk (toilet durno), warnya putih; Kost-an Bu Sri Gowok, Ina dan Toto, warnanya putih dan merah; Di rumahku, Ina, warnanya biru; di rumah nenekku, Ina, warnanya putih; dan, Di Kost Nick, Ina, warna biru.
Di antara semua toilet yang kutahu itu, hanya toilet di rumah nenek dan di tempat kost bu Sri yang yang aku suka. Alasanya karena banyak coretan dinding di sana. Dan jangan pernah meremehkan coretan dinding, sebab kata Iwan Fals, “Coretan dinding adalah pemberontakan”.
Kemudian, apakah kamu tahu? Kostku di tempat Bu Sri di daerah Gowok. Setiap pagi, sebelum berangkat ke kampus, aku selalu ke toilet terlebih dahulu untuk mengosongkan perut sekaligus menikmati coretan dindingnya. Maka tunjukkanlah rasa takut dan hormat padaku wahai semua rektor, dosen dan mahasiswa Indonesia serta Luar Negeri, karena aku sudah belajar pemberontakan terlebih dahulu sebelum ke kampus.
“Terimakasih Mahalli, meskipun aku belum tahu hukumnya mengingatmu di dalam Toilet.”
                                                                                                  
Selasa, 17 September 2013

Kebelet Polygon Xtrada 4.0





Tadi, di Jl. Adi Sucipto, di depan tukang buat stempel, ada sepeda Polygon dibiarkan tergeletak di pinggir jalan. Betapa malangnya Polygon kuning dan begitu teganya pemilik sepeda itu. Aku langsung teringat pada si Khumairo di rumah, semoga ia baik-baik saja di sana: dirawat dengan penuh kasih oleh adikku, Abeng.
“Ya Tuhan, aku ingin sekali membeli sepeda Polygon Xtrada 4.0 untuk dijadikan kendaraan pribadi di Jogja: dari kost ke kampus, kampus ke kost dan mengantarkanku jalan-jalan ke mana pun aku suka.”
Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih itu mendengar keinginanku yang telah kuucapkan dan kutulis juga, agar tidak mudah berlalu bersama hembusan angin—scripta manent verba Volant, seperti yang diyakini oleh para penulis.
Kata temanku yang alim, rajin beribadah, “Tidak diminta saja Tuhan telah memberikan kita kehidupan yang begitu indah, apa lagi sesuatu yang kita minta dengan sangat pada-Nya. Tuhan akan memberikannya.” Aku percaya saja pada kata-kata temanku yang alim itu, karena guru agamaku pun dulu pernah mengatakan bahwa Tuhan Maha Kaya, penguasa alam semesta. Berbeda dengan pendapat guru PPKN yang malah mengatakan “tanah, air dan udara dikuasai oleh negara”. Dan, untungnya aku percaya bahwa hanyalah diri-Mu Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Aku telah melafalkan doa dan telah kutulis juga, selanjutnya terserah Engkau. Namun aku penuh harap untuk mendapatkannya. Aku tidak pernah meremehkan kun-Mu, dan tidak pernah menyepelekan Fayakun-MU. Maka terimalah doaku.”

Senin, 16 September 2013

Sebenarnya Curhat




Kenapa sibuk harus menjadi pekerjaan? Dan, sayangnya, itu tidak menyenangkan.
Terbukti kekasihku dengan nada mengeluh mengatakan kalau aku saat ini terlalu sibuk. “Gundah gulana punya pacar sekretaris HMJ FA. Ia lebih mementingkan rapat dan membuat TOR daripada menemani aku jalan,” tuturnya menirukan lirik lagu Pidi Baiq, Gundah Gulana Pacar Aktivis.  
Mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur menyanggupi zabatan itu. Mau tidak mau harus dijalani sambil berharap suatu hari nanti akan ada manfaat yang bisa di petik dan dinikmati. Tidak ada manfaatnya pun tidak jadi masalah, sebab aku bisa jadi tahu perasaannya orang sibuk karena terpaksa: capek luar dalam, lemes luar dalam juga dan kesal luar dalam juga.  
Sebelum kuakhiri tulisan ringan ini, kiranya perlu kutegaskan pada kekasihku tentang kesibukanku akhir-akhir ini. Agar dia terpelihara dari prasangka buruk yang malah akan memperburuk suasana hatinya. kutegaskan bahwa “aku tidak hanya sibuk sebagai sekretaris, tetapi bingung bagaimana cara memanjangkan kumis agar aku bisa menjadi tua sebelum waktunya. Ini semua sebagai upayaku untuk melawan rezim penuaan dini yang kebanyakan orang begitu takut menghadapinya. Dan, syukurlah aku berani.”
Revolusi sampai Tua.

Senin, 16 September 2013