Mam, sudahlah. Jangan paksa aku untuk
menjadi miskin. Menjadi orang miskin
adalah kondisi yang sangat sulit dan melelahkan. Di mana aku harus kehilangan
banyak waktu dan uang. Kalau hanya masalah waktu bisa saja kukorban pekerjaan
lain, misalnya bolos kuliah. Namun jika dihadapkan dengan persoalan uang, aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti mati perlahan.
Menjadi orang miskin adalah hal yang
melelahkan. Aku harus mengurus surat-surat ini dan itu, yang semua urusannya
tidak mudah, tidak seperti membalikan telapak tangan. Apalagi jika
ujung-ujungnya aku disuruh membeli materai, kertas kecil sebesar prangka yang
harganya menurutku tak pantas: Rp. 6.000. Padahal koran saja yang ukuran
ratusan kali lebih besar dari materai itu harganya ada yang Rp, 1000. Maaf Mam,
aku tidak mampu.
Ya, aku memang miskin. Tapi untuk
menjadi miskin yang dilegalkan seperti yang kamu inginkan aku tidak mampu.
Sungguh terlalu mahal biayanya untuk orang miskin seukuran aku.
Meskipun diiming-imingi uang sebesar
dua juta rupiah dari Kementrian Agama, yang mungkin, sebagai ganti rugi uang
lelah ke sana ke mari minta tanda tangan orang-orang besar, ngeprint surat-surat, membeli map,
materai dan cetak foto 4 x 6 sebanyak 2 lembar
aku tidak begitu tertarik. Lagian, dengan uang sebesar itu, apa yang
harus kubeli?
Mam, maafkan aku.
Atau,
kalau Kementrian Agama itu memang benar-benar niat memberikan beasiswa miskin,
suruh datang saja ke tempatku. Akan kusuguhi junkfood, agar beliau tidak lagi
menyuruh aku membeli materai atau membuat stempel dadakan, seperti kebanyakan
orang beruang mampu melakukannya.
Hahaha….
Kamis, 19 September
2013