Mengingatmu di Toilet






Setiap kali masuk ke dalam toilet aku selalu teringat pada Mahalli, temanku yang kerap berbicara tentang toilet. Di benaknya seakan-akan pembahasan tentang toilet tidak pernah ada habis-habisnya. Salah satunya, kalau tidak salah ingat, “Peradaban pertamakali dimulai sejak orang pertama menemukan toilet”. ‘Kalimat-kalimat toilet’ seperti itu ia abadikan menjadi status di facebooknya dan kicauan di twitternya.
Kemudian yang menjadi masalah bagiku, apa hukumnya mengingat dan keceplosan menyebut nama Mahalli Hatim Nadzir di dalam toilet menurut pandangan Fiqih? Jujur, sampai saat ini aku belum tahu jawabannya. Terlalu sulit. Terlalu rumit. Selain karena tidak banyak memahami fiqh, aku juga tidak terlalu bisa membaca literatur Arab untuk membaca kitab-kitab fiqh—Fiqhu as-Sunnah dan Madzahibul Arba’, misalnya—untuk mencari tahu hukum mengingat si teman di dalam toilet. Jika terus dibiarkan tidak tahu tentang hukum boleh-tidaknya atau halam-haramnya, mungkin akan menjadi seorang yang merugi dengan menanggung banyak dosa.
Dulu, aku hanya diajari oleh kakek, jika sedang di dalam toilet tidak boleh menyebut nama Tuhan, membaca Alqur’an, berdzikir dan ngobrol. Coba seandainya pada saat itu aku sudah kenal Mahalli yang suka bicara panjang lebar tentang seluk beluk toilet, pasti akan kutanyakan pada kakek hukumnya mengingat Mahalli di dalam toilet.
Sudah sering aku berusaha melupakan Mahalli ketika hendak masuk ke dalam toilet. Namun usaha itu seakan sia-sia belaka. Sebelum melangkahkan kaki kiri ke dalam toilet, nama dan sosok Mahalli yang berkumis tebal itu begitu kuat hadir mengetuk ingatanku. Ini serupa penyakit aneh yang disebabkan oleh sihir atau guna-guna, tak akan ada dokter yang bisa menyembuhkannya. Hanya Mahalli satu-satunya orang yang tahu obatnya.
Sehingga, karena begitu seringnya teringat lelaki kelahiran parenduan itu, aku tahu beberapa merk toilet yang pernah aku singgahi: UIN Sunan Kalijaga, Toto, warnanya putih; Blandongan, tak ada merk (toilet durno), warnya putih; Kost-an Bu Sri Gowok, Ina dan Toto, warnanya putih dan merah; Di rumahku, Ina, warnanya biru; di rumah nenekku, Ina, warnanya putih; dan, Di Kost Nick, Ina, warna biru.
Di antara semua toilet yang kutahu itu, hanya toilet di rumah nenek dan di tempat kost bu Sri yang yang aku suka. Alasanya karena banyak coretan dinding di sana. Dan jangan pernah meremehkan coretan dinding, sebab kata Iwan Fals, “Coretan dinding adalah pemberontakan”.
Kemudian, apakah kamu tahu? Kostku di tempat Bu Sri di daerah Gowok. Setiap pagi, sebelum berangkat ke kampus, aku selalu ke toilet terlebih dahulu untuk mengosongkan perut sekaligus menikmati coretan dindingnya. Maka tunjukkanlah rasa takut dan hormat padaku wahai semua rektor, dosen dan mahasiswa Indonesia serta Luar Negeri, karena aku sudah belajar pemberontakan terlebih dahulu sebelum ke kampus.
“Terimakasih Mahalli, meskipun aku belum tahu hukumnya mengingatmu di dalam Toilet.”
                                                                                                  
Selasa, 17 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar