Kun Fayakun, Cinta


          Saat duduk di lantai empat Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, aku melihat dari balik jendela gambar kepala kakek tua tersenyum bahagia di sebuah bangunan seberang jalan raya. Di samping gambar kakek yang seumuran dengan kakekku itu berjejer tiga deret huruf berwarna merah, KFC. Aku sendiri tahu arti dari tiga huruf itu,  aku hanya berani menafsir kalau ketiga huruf itu singkatan dari Kun Fayakun Cinta.
Setelah beberapa lama kutatap bangunan berdinding kaca bening itu, aku menduga kalau tempat itu adalah sebuah panti jompo, lebih tepatnya tempat para jompo yang percaya pada kekuatan cinta. Tapi kalau kata temanku, bangunan mewah itu adalah tempat makan. Benar-tidaknya wallahu a’lam. Sebab aku sendiri bingung mendengar penjelasan temanku itu, kalau memang benar bangunan indah itu adalah tempat makan, kenapa gambarnya seorang kakek? Bukan lele, burung dara, atau paha ayam?
          Akhirnya aku menyerah, percaya saja kalau tempat itu berjenis kelamin restoran seperti tutur temanku. Daripada aku harus pergi ke sana untuk membuktikan benar tidaknya, itu lebih baik, karena nasi kucing di sana pasti mahal kalau tempat itu memang sebuah restoran.
          Sudahlah jangan membahas itu lagi. Biarlah gambar kakek tua itu tersenyum melihat kendaraan yang tak henti lewat di depannya, mungkin masa mudanya kurang bahagia!
          ***
          Jum’at malam, Jam 08.13. kuajak Polygon merahku ke Toman Coffe. Tas Tracker mendekap erat tubuhku. Kaos Pallmall warna biru yang seudah tiga hari tidak di cuci melindungiku dari belai dingin angin malam. Aku tersenyum saat melintas di depan bangunan mewah yang ada gambar kakek murah tawa itu. Sambil mengayuh sepeda aku berteriak pelan kearah si tua itu, “Oi kakek tua, alangkah indahnya masa tuamu.” Kakek tua itu tertawa mendengar ucapanku. Aku pun berlalu dengan senyum di depannya.
          Aku terus mengayuh sepeda, menelusuri jalan raya sambil menahan geram yang luar biasa pada kendaran bermotor yang tak sopan menjamah malam dengan sura bising. Pun gemerlap bintang di langit lepas di buat tak indah dengan polusi, knalpot kendaraan yang lalu-lalang inilah penyebabnya. Ingin kuadukan pada aktifis Febukiyah nanti, biar mereka membuat grup tentang penyelamatan keindahan bintang. “Seribu Facebooker Mendukung Mobil-Motor Tanpa Knalpot”, misalanya, atau apalah namanya. Pasti banyak yang merespon dan keindahan bintang akan kembali pulih. Bukankah jaman ini orang bisa tanggap dan bergerak membuat perubahan jika ada gerakan di facebook.
Di tikungan pertama, jalan menuju PP. Wahid Hasyim, rantai sepedaku putus. Aku menepi. Behenti. Sedih dan kesal menghampiriku lebih dulu dari belaian angin malam yang membuatku mendekap kedinginan.
          “Ya Allah, Gon,” ucapku pelan menatap kesal plus iba pada si merah kurus ceking ini, “kamu kok begitu tega sama aku sih, Gon,” tambahku berbicara dengan Polygon jadul itu sambil memungut rantai yang tergeletak di aspal. Sial nasibku malam ini.
Toman Coffe masih jauh dari sini. Rantai karat itu sudah tak bisa kusambung lagi, ingin pensiun muda katanya. Kepak sayap kelelawar berhamburan keluar dari rimbun pohon yang berdiri di pinggir jalan. Randhakasean terlihat mengintipku dari balik tirai cahaya bulan. Kusampingkan rantai karatan itu di pinggir jalan. Kemudian aku berjalan menuntun sepeda manja itu ke arah utara.
Sambil menuntun Polygon itu aku ngoceh sendiri di sepanjang jalan, dari masalah ini ke masalah itu, menceracau kemari kesana tak bertujuan: mulai dari uang di rekeningku yang sudah ludes, buku-buku di kardus yang merana tak kubaca, puisi-cerpenku yang mati suri, tulisan opiniku yang kurus ceking tanpa gizi belum kubawa pada ‘dokter’ Sanusi, dan... pokoknya banyak.
           Sepuluh menit kemudian aku sampai di Toman. Memarkirkan Polygon di samping Vixion kekar yang basah oleh embun. Memesan cofeemix pada pelayan toman yang kelihatannya sibuk menghitung uang ribuan. Lalu duduk lesehan di pojok menemani Pengantar Filsafat, titisan pena Louis O. Katsoff. Riak kedip cahaya kunang-kunang di lorong sempit di ujung tatap dan bisik orang-orang di Toman sedikit mengganggu konsentrasiku. Kututup kembali buku yang kubeli lima hari yang lalu itu. kubiarkan semuanya menggangguku.
          “Tie, sini.” Lelaki berambut panjang yang baru duduk di sampingku memanggil seorang perempuan yang memarkir mio hijau. Wajah lelaki itu menuntun ingatanku pada sebuah majalah yang aku baca pada kamis sore. Ya, dia penulis puisi “Darah Merah di Atas Melati” di majalah Anjabar, salah satu majalah kampus di kota ini. Aku hendak menyapanya untuk sekedar berkenalan dengannya, tapi kuurungkan, perempuan yang ia panggil tadi lekas menghempaskan bokongnya ke tikar lalu bercakap dengan penyair itu.
          Perempuan yang dipanggil Tie itu menyalakan sebatang rokok. Bibir mungilnya menyemburkan asap. Lalu bercakap dan tertawa terbahak-bahak dengan penyair berambut panjang itu. Bibir tipis yang sebelumnya terlihat indah membuatku menunduk muak.
          “Yank, udah pesan makanan?” perempuan itu bertanya pada penyair itu.
          “Pesan aja dulu,” jawabnya pelan. Pandangannya lurus pada Aple putihnya.
          Tanpa banyak omong, perempuan itu berdiri lalu pergi ke arah pelayan yang tadi aku temui, yang sepertinya masih sibuk menghitung uang seribuan. Kembali kuperhatikan perempuan itu. Celana pendek yang ia kenakan dan sebatang rokok yang terselip di antara jari-jemarinya yang putih terawat mengingatkanku pada Dom di film “Fast and Farioust”. Dom mengatakan bahwa pacarnya adalah 20% bidadari dan 80% iblis. Dan mungkin perempuan bernama Tie itu juga yang dimaksud Dom.
          Seorang pelayan membawa coffemix pesananku dengan nampan kayu. Dia meletakkan pesananku itu. Lalu pergi kembali.
          “Aku pesan nasi goreng,” ucap perempuan perokok itu. si penyair hanya mengangguk, lalu kembali menatap Aple putihnya.
          Sebelum membaca buku bersampul biru itu, kusruput kopi hangat di depanku. Nikmat. Kehangatannya terasa menemani kesepian dalam hatiku. kubuka halaman tiga. Aku membaca. Sementara di sampingku perempuan itu terus berceloteh bak burung kapodang tua.
          ***
          Jam 03.28. Perutku sudah menjerit tiga kali sejak tadi. Aku begitu lapar. Padahal, sebelum aku berangkat ke tempat ini berjanji hanya untuk membeli kopi. Tapi aku sudah tidak sanggup lagi menahan lapar. Akhirnya aku putuskan untuk memesan nasi goreng, aku ngiler lihat pacar penyair itu makan nasi goreng tadi, makanya aku juga pesan nasi goreng.
          Jam segini suasana di Toman begitu sepi. Hanya ada tiga orang pemuda yang masih terjaga bermain kartu di depanku. Penyair dan pacarnya yang duduk di sampingku pun telah pulang dua jam yang lalu. Dan kata-kata perempuan yang di panggil Tie itu masih segar di telingaku, “Yank, malam ini tidur di kamarku ya.” Mendengar kata itu barulah penyair itu men-shut down aple-nya. Lalu cepat pulang. 
          Nasi goreng Rp. 5000. 00,- akhirnya datang, lagi-lagi pelayan yang mengantar coffemixku yang membawa nasi gorengku. Aku langsung makan. 70% Enak. Lidahku yang meberi nilai seperti itu.
          Setelah makan nasi goreng itu aku memasukkan buku dan penaku ke dalam tas, tracker warna hitam gelap. Lalu aku pulang bersama Polygon merah yang sudah basah oleh embun. Ia kuntuntun lagi sepanjang jalan, semanja mantan kekasihku. Andai aku punya banyak uang sudah kuparkirkan ia dalam jurang. Tidak, aku masih sayang padanya, ia sudah terlalu banyak berjasa.
          ***
          Kembali aku berada di depan panti jompo, kakek tua itu masih tersenyum di jam 04.15 ini. Tak kuasa aku menahan senyum. Lantas kulambaikan tangan kananku kearahnya. Dia tersenyum melihatku dan jalan yang lengang. Senyumnya begitu beda, tak seperti biasa, saat banyak motor di jalan ini.
          “Kun Fayakun, cinta.” aku berlalu dari tempat itu.
Sabtu, 29 Januari 2011

UAS (Uji Aa’, Sayang!)


“Puji syukur pada Tuhan yang maha segalanya yang masih merestuiku untuk menikmati hidup di hari ini, Kamis, 27 Januari 2011, hari aku mendapatkan SMS dari “pejuang kelas” yang dengan semangat berkobar mengajakku untuk berdiskusi pagi ini. Namun, aku tidak ‘terbakar’—bahkan tidak akan pernah terbawa bujuk rayu—kobaran semangat itu, semangat musiman, semangat yang hanya ada saat ujian tiba. Aku mau belajar tidak untuk ujian, tidak untuk “B plus”, tidak untuk “A plus”, atau huruf-huruf lain yang mereka damba. Biarlah huruf-huruf itu menjadi kata dalam sajakku, menjadi sesuatu yang mewakili rasaku dalam catatan harianku, dan menjadi metafor rindu dalam cerita-ceritaku.”
Begitulah bisik hatiku padaku saat aku baru bangun tidur. Jam di hp-ku masih menunjukkan angka 06.49. Sebenarnya aku tidak akan bangun sepagi ini jika tidak terganggu oleh jerit sms Nokia 1202-ku. Meskipun bukan pengikut madzhab Mbah Surip (bangun tidur-tidur lagi), aku masih ingin tidur lagi, melanjutkan mimpi tadi—aku bermimpi berdiskusi dengan Muhibuddin, Sanusi, Fakih, Ong MD, Alaroa, dan Gus Zainal di perpustakaan besar Yunani—tapi karena sms itu kedua mataku sudah tidak mau diajak kompromi, aku tidak lagi mengantuk.
Sms itu seperti ini: AYO BANGUN!!! Kwan2, pgi ni, sblum ujian SKI berlngsung, mri kta brdiskusi, bljar bersma di kmpus. Sya hrap kdtangan klian smua. AYO SEMANGAT!!!
 Berulangkali aku membaca sms itu. Sambil memandangi hp jadulku itu, batinku  berbicara sendiri, “Kenapa temanku itu mau mengajakku berdiskusi, belajar, dan semangat berbagi ilmu seperti ini hanya pada waktu ujian? Apakah hari-hari sebelum ujian mereka anggap sebagai hari biasa, sehingga tidak perlu diskusi atau belajar? Semangat macam apa ini jika hanya panas-menyala ketika waktu ujian tiba?” ucapku pura-pura sok kritis, padahal sebelumnya aku tidak pernah sekritis ini, ataupun sekritis itu (seperti orang-orang kritis).
Aku jadi teringat telepon orang tuaku kemarin sore, beliau menyuruhku untuk semangat belajar agar tahu menjawab ujian. Sebelumnya aku menolak saran orang tuaku itu. Tapi karena mereka tetap bersikukuh menyuruhku belajar, aku ia-kan saja perintah orang tuaku meski sejatinya aku takkan mau menuruti keinginan itu. Aku berbuat semacam ini bukan tidak mau mematuhi perintah orang tua, janjiku untuk membahagiakan orang tua masih tetap bergelayut dalam dada. Aku cuma ingin mereka mengerti kalau nilai tinggi di rapor atau ijazah tidak mempunyai arti samasekali, dan biar beliau berdua mengerti kalau kata “semangat belajar” tidak lagi mereka ucapkan hanya ketika ujian tiba.
Mungkin orang-orang disekitarku akan menganggapku sebagaui anak yang durhaka, tak mau menaati perintah orang tua. Tapi sebelumnya biarlah kujelaskan: Ibu dan ayahku menyuruhku belajar agar bisa menjawab ujian dengan baik, aku tak mau dengan tawaran itu, aku ingin hasil yang lebih dari hanya sekedar angka ‘sakral’ yang mereka minta. Aku ingin belajar untuk masa depan, belajar terus menerus tanpa harus menunggu waktu-waktu tertentu. Lalu, apakah tidakan semacam itu disebut tindakan yang membangkang terhadap perintah orang tua? Jika pikiran orang-orang yang menilaiku itu masih sehat, pasti mereka bisa membedakan antara aku dan Malin Kundang.
...
Jika ada yang bingung membaca tulisan di atas, penulis sangat berterimakasih, karena penulis sendiri juga tidak mengerti. Penulis seorang yang tidak tahu apa-apa, boleh dikatakan ‘senasib dan seperjuangan’—tapi tidak senasib dalam persoalan mati—dengan Socrates, filsuf Athena, beliau pernah berujar, “Only One I Know That, I Know Nothing”, sama dengan saya.
Sebelum aku akhiri tulisan ini, aku curhat pada para dosen yang akan mengujiku, “Uji Aa’, Sayang!”
Semangat belajar!!!
Kamis, 27 Januari 2011

Cuhat, Lanjutkan!


Tiga hari tidak berjumpa dengan Kompas, Republika, Tempo, Jawa Pos, Radar Jogja, dan beberapa surat kabar lainnya, dunia ini terasa begitu sunyi, tak mau menyapaku, apalagi memberi informasi. Beruntung di rumah Bude Fathonah, istri almarhum Pak Warid, masih ada jaringan internet, sehingga aku bisa jalan-jalan mencari informasi di dunia maya, dari maya ini ke maya itu sebelum akhirnya aku bertemu dengan curhatnya Pak SBY di Detikcom.
Ceritanya seperti ini, pada hari Jum’at (21/1/2011), di Rapim (rapat pimpinan) TNI dan Polri di Balai Samudera, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Pak SBY curhat pada prajurit TNI dan anggota Polri bahwa gajinya belum pernah naik selama tujuh tahun. Pengakuan jujur Presiden itu spontan membuat prajurit TNI dan anggota Polri yang hadir tertawa. Entah aku juga tak mengerti kenapa prajurit TNI ataupun anggota Polri itu tertawa saat mendengar itu, dan aku juga tidak paham kenapa Presiden mau ditertawakan oleh para prajurit TNI.
          Sebagai seorang yang menyandang predikat awam, tentunya aku tidak mudah memahami curhat SBY itu. mengapa SBY berkata seperti itu? apakah SBY ingin gajinya segera naik? Terus, gaji yang 62 juta itu mau dinaikkan menjadi berapa juta lagi? Pertanyaan itu mengerubungi kepalaku, memaksaku memberi jawaban. Biarlah. Sebelum aku benar-benar pusing mencari jawaban itu, sebaiknya aku menunggu Pak SBY curhat lagi tentang gajinya itu. “Lanjutkan!”
Senin, 24 Januari 2011

Hari Jum’at aku ke Guyana


          Setelah lama menunggu bis yang mau menuju Solo atau ke Surabaya—aku mau ke Klaten, rumah paman, almarhum Pak Warid Khan—di luar terminal Giwangan, Yogyakarta, akhirnya Sumber Kencono, bis yang kabarnya anak haram Burrok, berhenti mendadak di depanku, rupanya sang sopir tahu kalau aku menungu dirinya sejak tadi. Aku naik bersama tas Tracker  yang berisi Asus-ku dan  beberapa buku. Duduk dibelakang sopir yang asyik bekerja memang sudah menjadi hobiku sejak dulu, sejak kenal dengan yang namanya bis.
          Bis pun melaju. Menderu begitu hebatnya dibarengi teriakan kernet yang tak kalah ngempreng memanggil-manggil orang di pinggir jalan. Seorang perempuan yang tak begitu cantik, namun selalu menggodaku untuk selalu melirik, mencuri pandang ke arahnya wajahn teduhnya, duduk di samping kiriku. Bibirku tersenyum, hatiku berbisik pelan, “ke Klaten menunggangi Burrok dengan ditemani bajakannya Dewi Shinta”.
          Awalnya, si Kencono hanya melewati  Revo Absolut yang dikendarai oleh gadis berseragam SMA, lalu melewati truk besar yang memuat pasir hitam, dan kemudian mulailah ia menampakkan jati dirinya sebagai anak haram Burrok, main sikat-asal salip kendaraan yang ada di depannya. Memang benar pepatah lama yang mengatakan “tidak ada pemenang kedua”, tapi dalam masalah seperti ini aku tidak setuju. Jantungku mau copot saat besi roda enam ini hampir menyenggol truk gandeng.
Sampai di lampu merah, bis tua dengan semangat diluar biasanya itu berhenti. Sopir bis yang duduk di depanku membasahi bibir black sweet-nya dengan aqua yang ia letakkan di sebelah kanannya. satu gitaris jalanan naik ke dalam bis bersama gitarnya. Warna merah memang menjadi warna keberuntungan bagi para pengamen, karena di lampu merahlah banyak kendaraan yang mereka anggap pengemudi dan penumpangnya adalah pengatar rezeki utusan tuhan.  Mungkin ini salah satu alasan kenapa di Indonesia banyak pengamen, karena banyak lampu merahnya, benderanya ada merahnya, dan lebih jelasnya tanya pada Bak Mega karena dia punya partai merah.
Setelah memberikan pengantar ini-itu-itu-ini, pengamen itu pun mulai bernyanyi, melantunkan lagu Iwan Fals, Wakil Rakyat, tapi dengan nada Jawa Tengah-an, ya, kedengarannya memang sangat terasa falesnya. Apalagi saat ditambah dengan deru bis, teriakan kernet, dan obrolan penumpang, suasana dalam bis Kencono terasa seperti di gedung baru DPR beserta para DPR-nya. Jadi, lagu Wakil Rakyat yang didendangkan pengamen itu begitu terasa, begitu mengena di dada.
Satu jam kemudian. Aku sampai di terminal Klaten. Seperti pangeran Romawi yang tampan dan gagah berani, aku langsung disambut oleh beberapa tukang ojek yang berebutan menawarkan diri untuk mengantarku, padahal waktu itu aku baru menginjakkan kaki kanan ke atas aspal, dan itu sudah membuat tukang ojek histeris melihatku. Kalau aku pikir, popularitas Justien Biber sudah berada sejengkal di bawahku. Ha ha....
Aku berusaha tenang dengan sambutan itu. Mencoba sedikit bersikap seperti SBY saat pidato kenegaraan, tenang, tenang, dan tenang. Akhirnya suasananya menjadi tenang, pengamen itu tidak lagi berteriak-teriak histeris. Aku pun mulai melancarkan serangan, menego. Satu-satunya senjata paling ampuh saat mereka, kaum ojek, tetap ngotot tidak mau dengan tawaran kita berikan adalah pergi meninggalkan mereka, dan mengatakan sebentar lagi akan dijemput.
Akhirnya salah satu dari mereka menerima tawaranku, Rp. 10. 000,- ke Sabrang Indah, rumah almarhum Pak Warid Khan. Motor astrea biru melaju membawa hatiku yang sedang menggebu, senang karena akan bertemu dengan keluarga di Klaten.
Ya Allah! Hampir lupa, judul di atas salah ketik. Yang benar “Hari Jum’at Aku ke Klaten”, bukan ke Guyana. Ini gara-gara teringat dia terus.
Jum’at, 21 Januari 2011