Hari Jum’at aku ke Guyana


          Setelah lama menunggu bis yang mau menuju Solo atau ke Surabaya—aku mau ke Klaten, rumah paman, almarhum Pak Warid Khan—di luar terminal Giwangan, Yogyakarta, akhirnya Sumber Kencono, bis yang kabarnya anak haram Burrok, berhenti mendadak di depanku, rupanya sang sopir tahu kalau aku menungu dirinya sejak tadi. Aku naik bersama tas Tracker  yang berisi Asus-ku dan  beberapa buku. Duduk dibelakang sopir yang asyik bekerja memang sudah menjadi hobiku sejak dulu, sejak kenal dengan yang namanya bis.
          Bis pun melaju. Menderu begitu hebatnya dibarengi teriakan kernet yang tak kalah ngempreng memanggil-manggil orang di pinggir jalan. Seorang perempuan yang tak begitu cantik, namun selalu menggodaku untuk selalu melirik, mencuri pandang ke arahnya wajahn teduhnya, duduk di samping kiriku. Bibirku tersenyum, hatiku berbisik pelan, “ke Klaten menunggangi Burrok dengan ditemani bajakannya Dewi Shinta”.
          Awalnya, si Kencono hanya melewati  Revo Absolut yang dikendarai oleh gadis berseragam SMA, lalu melewati truk besar yang memuat pasir hitam, dan kemudian mulailah ia menampakkan jati dirinya sebagai anak haram Burrok, main sikat-asal salip kendaraan yang ada di depannya. Memang benar pepatah lama yang mengatakan “tidak ada pemenang kedua”, tapi dalam masalah seperti ini aku tidak setuju. Jantungku mau copot saat besi roda enam ini hampir menyenggol truk gandeng.
Sampai di lampu merah, bis tua dengan semangat diluar biasanya itu berhenti. Sopir bis yang duduk di depanku membasahi bibir black sweet-nya dengan aqua yang ia letakkan di sebelah kanannya. satu gitaris jalanan naik ke dalam bis bersama gitarnya. Warna merah memang menjadi warna keberuntungan bagi para pengamen, karena di lampu merahlah banyak kendaraan yang mereka anggap pengemudi dan penumpangnya adalah pengatar rezeki utusan tuhan.  Mungkin ini salah satu alasan kenapa di Indonesia banyak pengamen, karena banyak lampu merahnya, benderanya ada merahnya, dan lebih jelasnya tanya pada Bak Mega karena dia punya partai merah.
Setelah memberikan pengantar ini-itu-itu-ini, pengamen itu pun mulai bernyanyi, melantunkan lagu Iwan Fals, Wakil Rakyat, tapi dengan nada Jawa Tengah-an, ya, kedengarannya memang sangat terasa falesnya. Apalagi saat ditambah dengan deru bis, teriakan kernet, dan obrolan penumpang, suasana dalam bis Kencono terasa seperti di gedung baru DPR beserta para DPR-nya. Jadi, lagu Wakil Rakyat yang didendangkan pengamen itu begitu terasa, begitu mengena di dada.
Satu jam kemudian. Aku sampai di terminal Klaten. Seperti pangeran Romawi yang tampan dan gagah berani, aku langsung disambut oleh beberapa tukang ojek yang berebutan menawarkan diri untuk mengantarku, padahal waktu itu aku baru menginjakkan kaki kanan ke atas aspal, dan itu sudah membuat tukang ojek histeris melihatku. Kalau aku pikir, popularitas Justien Biber sudah berada sejengkal di bawahku. Ha ha....
Aku berusaha tenang dengan sambutan itu. Mencoba sedikit bersikap seperti SBY saat pidato kenegaraan, tenang, tenang, dan tenang. Akhirnya suasananya menjadi tenang, pengamen itu tidak lagi berteriak-teriak histeris. Aku pun mulai melancarkan serangan, menego. Satu-satunya senjata paling ampuh saat mereka, kaum ojek, tetap ngotot tidak mau dengan tawaran kita berikan adalah pergi meninggalkan mereka, dan mengatakan sebentar lagi akan dijemput.
Akhirnya salah satu dari mereka menerima tawaranku, Rp. 10. 000,- ke Sabrang Indah, rumah almarhum Pak Warid Khan. Motor astrea biru melaju membawa hatiku yang sedang menggebu, senang karena akan bertemu dengan keluarga di Klaten.
Ya Allah! Hampir lupa, judul di atas salah ketik. Yang benar “Hari Jum’at Aku ke Klaten”, bukan ke Guyana. Ini gara-gara teringat dia terus.
Jum’at, 21 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar