Akulah Tetes Hujan


Aku melihatmu mengetuk pintu. Perlukah kubukakan pintu? Sebab garis di wajahmu tidak mengizinkanku.
Kala itu gerimis datang. Kau berlari menjauh dari serbuan butir-butir hujan yang kian deras, lalu berteduh di bawah bangunan berwarana kulit jeruk matang. Angin berhembus ke arahmu, menggerakkan ujung kerudung putihmu. Sebenarnya telah kusampaikan kerinduan yang matang bersamaan hembusan angin itu, apakah kau mendengar aromanya walau sedikit saja?
Wajahmu berpura-pura memandangi rintik hujan. Menghiraukanku. Padahal justru itu yang membuatku senang, karena aura kebencian yang keluar dari wajahmu begitu tulus berurai memancar padaku. Yang penting kau tulus membenciku, aku pun membalas akan terus tulus menyayangimu. Sebab cinta kadang butuh berbalas seperti itu.
Semoga hujan tak segera reda mengurungmu di sini. Karena aku sedang menunggu tepatnya waktu, untuk menjadi tetes hujan terakhir yang akan menyapa permukaan tanganmu. Izinkan aku, meski sudah tidak menjadi manusia untuk mendekap tenang tanganmu.
Rabu, 28 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar