Aku hanya ingin menulis. tentang kebingungan, apa yang harus ditulis? Tadi, ada keinginan untu menulis tentang UAS semester ganjil ini, tiba-tiba teringat tulisan Yunita Sani, dia telah bercerita panjang lebar tentang pengalaman UAS AF 10 di blog pribadinya, http://iethashanie.blogspot.com/; tadi juga hendak menulis tentang Gorong-Gorong institute, tapi aku urungkan lagi karena pengetahuanku tentang komunitas mahasiswa—yang katanya—pengacau kampus itu. Lalu, karena sudah kebelet untuk menulis pagi ini, aku hanya ingin menulis tentang sesuatu yang tidak kutahu harus menulis apa.
Hujan
deras siang ini. Aku putar lagu Untukmu
Kekasih-nya Ebit G. Ade di Asus K401J sambil menunggu hujan reda. Terjebak dalam
kamar saat ada kemauan berangkat ke kampus untuk mengikuti ujian filsafat
bahasa pada jam 1.00 WIB. Berangkat lebih awal agar bisa ngobrol dengan
anak-anak Gorong-Gorong Institute sebelum mengikuti ujian yang menyebalkan:
pekerjaan yang hanya membuang-buang waktu untuk mendapatkan gelar sarjana.
Tentu,
akupun perlu dipertanyakan, kenapa masih mau saja dibodohi dengan formalitas
semacam itu.? Sekolah itu candu kata
Roem topatimasang, lebih-lebih kata Yudhistira yang tegas mengatakan, “Berhentilah
sekolah sebelum terlamabat.” Aku sendiri tidak tahu harus berkata apa.
Sebenarnya
bingung menentukan jawaban. Andai saja kedua orangtuaku dan orang-orang di
rumah tidak menyuruhku kuliah, artinya hanya sekedar mencari ilmu, tentunya
sudah lama aku keluar dari bangunan yang banyak mengambil paksa kebebasanku
untuk mencari dan berbuat sesuai dengan yang aku inginkan.
kan
bisa berontak, mampu menolak, dan sanggup membawa diriku sendiri tanpa harus
mengikut orang lain. Bisa. Tapi bagaimanapun juga, aku masih tidak bisa
membuang jauh-jauh orang yang melahirkanku, merawatku sejak lahir, dan menyayangiku
tanpa akhir dari kehidupanku. Dalam kesunyuian harapan, aku masih mau berusaha
untuk membahagiakan mereka.
Namun,
pernah suatu malam aku berpikir, seharusnya orangtuaku itu tidaklah selalu
egois, terus menerus mementingkan kebahagian mereka, dan mencoba mencari tahu
apa yang sebenarnya diinginkan putranya. Sebab mereka juga harus memerhatiakan
kebahagian buah hatinya. jujur, aku tidak suka dengan peratuaran, kebijakan,
dan segalanya yang ada sangkut pautnya dengan kegiatan di gedung kuliah. Sama seperti
keinginan Soe Hok Gie dalam catatan hariannya, “Aku ingin kuliah di alam bebas
seperti Tagore.”
Kembali
pada judul tulisan ini: Tidak Ada. Ini hanya tulisan yang tidak ada artinya,
seperti orang yang menulis pada waktu tidur, atau seperti catatan perjalannya
orang gila. Tapi apakah orang gila dan orang mengigau selalu datang tanpa
makna?
Yang
penting, aku sampaikan permintaan maaf kepada kedua orangtuaku. Kemarin saat
ujian aku jawab dengan catatan harian: sebuah curhat tentang diriku pada dosen,
agar dia tahu siapa aku sebelum membuat pertanyaan, agar si dosen tidak selalu
menyamakan antara aku dengan mahasiswa-mahasiswa lain atau mahasiswa-mahasiswa
lain dengan aku, agar beliau mau mengenal lebih dalam mahasiswa-mahasiswanya,
dan tentunya supaya ada keindahan.
Terimakasih.
Selasa, 15 January 2013
LIKE THIS (y)
BalasHapusCurhatanmu memang tak ada duanya yik, inklusif :)
masih belajar menulis yang baik, Tha
BalasHapus