Aku lebih suka menjadi seorang pemalu di depan publik apalagi dalam forum serius. Karena dalam situasi serius siapa pun saja tidak akan pernah merasakan nikmatnya ngupil. Ngupil memang hal yang sepele, tapi perlu direnungkan secara mendalam bait sajak Kiai Faizi, “Jangan pernah menyepelekan yang ganjil dalam genap//seratus dalam seribu”. Juga, jangan sepelekan ‘ngupil’. Ingat.
***
[perjumpaan pertama]
Tapi ia tidak, ia adalah orang yang selalu terlihat
serius. Sehingga dengan gaya yang seperti itulah ia memiliki nilai yang berbeda
di mataku: aneh sekaligus menarik. Ia berani mengutarakan pertanyaan maupun pendapatnya
di dalam forum, di depan banyak orang. Bukan pemalu, tidak seperti aku. Dalam
bayanganku ia tipe orang yang tak punya dan tidak akan pernah punya pengalaman
ngupil di dalam kelas saat dosen menerangkan tentang pemikiran John Lock,
padahal kalau seandainya ia tahu, ngupil itu adalah bagian dari empirisme si
Lock.
[perjumpaan kedua]
Kemudian ditambah pula rasa kecemburuanku padanya
saat melihatnya mengendarai sepeda BMX ke kampus. Sudah seringkali aku
mengatakan pada teman-teman dekat, bahwa perempuan yang paling cantik dan
menarik bagiku adalah saat perempuan duduk di atas sadle (seat) sepeda sambil mengayuh pedalnya perlahan. Dan waktu
itu ia bisa melakukan gerakan akrobatik yang romantis seperti itu. indah
sekali.
Selepas kejadian itu, aku ingin sekali menyapanya.
Mengucap “halo”, “hai”, memperkenalkan nama atau apa sajalah yang
ujung-ujungnya nanti aku bisa ngobrol dengannya tentang sepeda. Sayangnya aku
tidak berani. Ia sepertinya adalah perempuan yang selalu serius. Tidak bisa
diajak bercanda. Jadi kuurungkan saja niatku meskipun hanya sekedar untuk tahu
namanya. Aku takut tertular keseriusannya seperti yang selalu tergambar di raut
wajahnya. Bayangkan saja jika aku menjadi orang yang serius, pasti menakutkan,
salah sedikit saja langsung demo besar-besaran. Lebih-lebih, jika aku tertular
menjadi orang serius, takutnya aku akan menaruh perhatian khusus dan perasaan
serius padanya. “hu… Jangan. Jangan sampai. Ini membahayakan dirinya sekaligus
diriku.”
[apakah akan ada perjumpaan ketiga?]
Pada suatu hari, entah pada hari apa aku lupa, secara
tidak sengaja aku tahu namanya dari seorang teman. Asna sapaan akrabnya.
Sebenarnya tidak penting siapa namanya. Kalau saja aku ingin memanggilnya
tinggal berteriak “Hei cewek BMX!”, “Oi cewek maskulin!” atau “ei ba’ yang pake
BMX biru!” dengan panggilan itu ia pasti akan balas menoleh ke arahku, tak
perlu namanya. Nama adalah hal yang tidak penting di Indonesia, Bung! Buktinya
para pendemo tidak ada yang pernah menyebut nama asli presiden, mereka lebih
suka berteriak “Hai Presiden!”, “Hai Plinplan!”, “Oi prihatin!” ada pula yang
berteriak memanggil “Hai koruptor”. Benar kan
nama itu tidak terlalu penting di negeri ini, termasuk juga nama perempuan BMX
itu. Karena yang terpenting bagiku, aku ingin melihat ia bersepeda, ingin
melihat betapa anggunnya perempuan itu mengayuh
pedal sepeda, dan menyaksikan secara langsung betapa manisnya ia memutar
stang sepeda di tikungan depan kampus.
Sayangnya, aku tak pernah melihatnya lagi.
“Hai, Asna!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar