Masyaallah, Hujan Lagi!


Hari ini aku tidak pulang ke padepokan. Hujan deras yang tak urung reda ini membuatku takut kedinginan mengayuh sepeda merahku menuju tempat tinggal baruku di Jogja, Padepokan Zainal Arifin Thoha (P-ZAT), yang jaraknya kurang lebih sepuluh kilometer dari kampus. Untuk sampai ke tempat baruku itu, butuh waktu satu jam aku harus mengayuh sepeda. Hanya semangat belajar yang aku punya, jadi tak perlu kau tanyakan kenapa aku tidak kos di dekat kampus saja.
Malam ini aku menginap di tempatnya Supriyadi, Masjid Muhammadiyah al-Falah, Gendeng. Supriyadi dan Hemmam menjadi takmir di Masjid Muhammadiyah itu. Mereka berdua juga sama sepertiku, nekat kuliah di Jogja hanya dengan modal semangat belajar. Aku sendiri memang tidak menjadi Takmir Masjid, tapi tempat tinggalku juga gratis, sama seperti mereka.
Begitulah memang resiko mahasiswa yang tempat tinggalnya jauh dari kampus. Harus menginap di kos teman yang dekat kampus jika hujan deras seperti ini, tak punya tenaga untuk pulang karena perut lapar, dan jika sepeda merahku ngambek tak mau jalan terpaksa aku juga harus menginap di kos teman, jadi tak salah jika teman-temanku di kelas mengatakan aku seorang penjajah kos.   
Tengtang biaya hidupku di Jogja, kadang aku minta kiriman uang pada orang tua di rumah jika sudah berhari-hari tidak pegang uang, sebenarnya minta kiriman uang seperti ini tidak dibenarkan di Padeponkanku, kami semua dituntut untuk hidup mandiri. Ya, satu-satunya solusi mendapatkan uang untuk bertahan hidup adalah dengan menulis, mulai dari menulis puisi, cerpen, essai, kolom dan opini. Dengan tulisan itu kami, teman-teman P-ZAT, berlomba untuk mengirimnya ke media, nah, karya yang dimuat akan membuat si mpunya bersiul bahagia karena sebentar lagi akan dapat honor dari media yang telah menerbitkan tulisannya itu. Tapi sayang sampai saat ini masih belum ada karyaku yang dimuat di media, makanya terkadang aku masih suka minta kiriman pada orang tua di rumah.
Sebenarnya aku tidak mau hidup senang di atas jerih payah orang tuaku seperti ini. Aku ingin hidup mandiri seperti sahabat-sahabatku di padepokan. Aku juga harus sadar kalau ayah-ibuku bukanlah seorang kaya raya yang siap mengirimiku uang setiap saat. Ayah-ibuku adalah seorang pedagang pinggir jalan yang selalu bangkrut dan mengeluh tak punya modal. Dengan hasil pas-pasan mereka harus menanggung biaya hidup dua buah hatinya, aku dan adik kecilku. Makanya aku selalu takut dan malu untuk meminta uang pada mereka. Aku takut kalau ayah-ibu sedang tidak punya uang dan masih banyak kebutuhan. Dan aku juga malu untuk selalu merengek minta uang pada mereka, karena semangat belajarku masih jauh dari sempurna, masih tak seperti harapan mereka.
Oleh karena itu, semangat belajar harus kupupuk kembali. Kegiatan membaca-menulis tidak hanya sampai di sini. Dan terus semangat untuk menggapai mimpi-mimpi yang telah kutulis dalam hati sanubari. Mungkin dengan begitu aku bisa menjadi wujud baktiku pada kedua orang tua.
...
Hari ini persahabatan futsal antara kelasku, Aqidah dan Filsafat, dengan anak Tafsir Hadits. Pertandingan awal aku main sebentar, kemudian aku minta diganti sama Reza. Capek banget, kaos yang aku kenakan basah dengan keringat, selama ada di lapangan tak satupun gol bisa aku sumbangkan untuk kelasku. Saat keluar meninggalkan lapangan aku tersenyum malu pada diriku sendiri, yang masih mau bermain futsal walau sudah jelas-jelas aku seperti Tom yang tak pernah berhasil menangkap Jery.
Aku tidak tahu hasil akhir pertandingan itu, karena aku pulang sebelum pertandingan selesai. Tapi saat aku pulang, bani Filosof memang sudah banyak kemasukan gol. Entah sahabat-sahabatku bisa mengejar ketertinggalan itu, atau malah semakin tertinggal. Tapi semoga saja tidak seperti itu, paling tidak mereka bisa menyamakan kedudukan.
...
Saat aku bangun tidur kulihat ada satu pesan di hpku. Pesan itu dari Reza, teman sekelasku yang logat Bandungnya kental banget di lidahnya. Pesannya seperti ini: Dalam permainan memang ada menang dan kalah. Wajar kalau hari ini anak Tafsir Hadits menang, karena mereka memang begitu bernafsu untuk menang. Sedangkan kita masih tidak bisa melepaskan kegiatan berpikir, berpikir bagaimana caranya untuk menang. Meskipun berpikir itu dilakukan ditengah lapangan, saat bermain futsal.
Aku bingung membaca pesan itu, bingung antara memilih untuk tersenyum atau bersedih. Jika aku tersenyum berarti aku tidak ikut sedih hati dengan kekalahan AF atas THK. Dan jika aku bersedih berarti aku tak menghargai humor Reza yang tentunya ingin menghiburku. jadi aku hanya bisa diam temenung. Dan semoga saja sahabat-sahabatku di AF tidak pernah melepaskan diri dari kegiatan berpikir. “Think Different” Einstein.
Sabtu, 04 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar