Satu Masalah yang Aku inginkan


Mungkin hanya beberapa menit aku melihat dia lewat di depanku. Tapi sampai malam ini bayangannya masih basah dalam benakku, melekat dan tak bisa kulepas dari ingatanku. Aku tidak mengerti, sampai kapan aku bisa lepas dari persoalan semacam ini. Persoalan yang membuat hatiku selalu bertanya-tanya tentang dirinya, kerap membayangkan wajahnya dan senantiasa ingin bertemu dengannya.
Sebenarnya aku tidak sedang bertanya atau tidak lagi menunggu jawaban. Andai aku sadar kalau dia tidak akan menyambut perasaanku, jelas aku tak akan pernah gelisah semacam ini. Tapi betapaun besar rasa cintaku padanya, aku harus selalu menahan diri dan berusaha sekeras-kerasnya agar cintaku ini tidak nampak padanya. Biarlah dia tidak tahu bahwa aku betul-betul mencintainya. Alangkah beratnya berlaku seperti ini. Berat, karena dorongan ingin memilikinya ini kadang-kadang tercermin dalam sikapku.
Muhammad Ali Fakih, sahabat sekaligus guru menulisku, mungkin akan marah jika aku ketahuan suka menulis hal semacam ini dalam catatan harianku. Tapi biarlah dia marah, itu lebih baik daripada aku diam tidak menulis apa-apa. Biarlah lain waktu aku mengarang cerpen yang tak sekedar membahas cinta, membuat essai dan mengarang opini sesuai harapannya. Karena hari ini aku hanya ingin menulis rasa yang hampir memenuhi ruang hatiku.
Malam ini aku tidak nyenyak tidur. Tidak konsen membaca buku. Dan saat menulis cerita ini pun seringkali senyum anggun perempuan itu datang menghampiriku. Harus beginikah nasib seorang yang jatuh cinta? Aku tak tahu. Tapi aku begitu senang saat bayangan itu hadir di benakku meskipun cukup membuatku terganggu.
Kupersembahkan padamu tiga bait syair lagu vokalis favoritku, Iwan Fals: Bila cinta tak menyatukan kita//Bila cinta tak mungkin bersama//Ijinkan aku tetap menyayangimu.
Jum’at, 03 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar