Kata
teman (dia seorang senior, penulis berbakat juga), aku ini tidak punya bakat
dalam dunia tulis menulis. Mendengar itu, aku seakan sedang menemukan
kebahagian yang telah lama hilang. Dia berperan seperti utusan tuhan yang
menyalakan lampu terang di atas ketidaktahuanku tentang talenta apa yang
bersemayam dalam diriku. Dan berkat pertolongan dia, aku jadi tahu ternyata bakatku adalah tidak
tahu menulis. Sebuah bakat yang tidak dimiliki oleh orang-orang besar. Goenawan
Muhammad, misalnya, yang tak berhenti menulis di Catatan Pinggir. Atau Tolstoy yang dengan sombong mengaku bahwa menulis
baginya seperti bernapas. Atau Roland Barthes yang oleh Bandung Mawardi
disebut-sebut sebagai manusia huruf (a man of later). Atau…. banyak lainnya.
Meskipun
tidak memiliki kesamaan genetik dan bukan pula keturunan dari Ki Ageng
Suryomentaram, putra Hamengkubuwono VII yang meninggalkan kehidupan sebagai
pangeran dan menjadi petani, aku juga tidak ingin mencari popularitas. Aku
hanya ingin menyembunyikan bakat yang kumiliki dengan pura-pura menulis,
pura-pura menjadi penulis, dan pura-pura tidak punya bakat
‘tidak-bisa-menulis’.
Apakah
salah jika aku meneladani Umbu yang lebih memilih tinggal di ‘Kehidupan Puisi’,
sebagaimana diceritakan Emha Ainun Najib.
“Umbu sangat curiga pada kemasyhuran dan popularitas…. “Ia, berpuasa dari
kemewahan dan gegap gempita dunia. Ia, meninggalkan harta, kekuasaan, harta,
wanita, kemasyhuran, dan menyimpan uang dalam plastik dipendam di tanah,” jelas
Ainun Najib.
Lalu, sanggupkah aku?
Hahaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar