Bila Aku Kangen


Kekasihku tidak suka pada kata “rindu”. Ia lebih setuju untuk mengatakan “kangen” bila ada keinginan untuk bertemu, bersama, atau bertegur sapa dalam canda tawa ketika sudah lama tidak berjumpa. Aku tidak tahu alasannya mengapa harus begitu, seperti ketidaktahuanku pada apa yang harus aku lakukan ketika sedang kangen padanya. Ia hanya memberi jawaban yang menurutku tidak masuk akal, “Kangen itu lebih suci daripada rindu,” ucapnya. Selama kalimat yang mengatakan: “Tak ada yang tidak logis dalam masalah cinta”, tidak ada yang menyalahkan, bisa dibenarkan apa yang dikatakan kekasihku itu.
Aku tahu, padanya aku adalah dekat. Bahkan, seperti pecah yang telah menjadi satu, yang tak lagi ditemukan retak pada kesatuan kita. Namun aku harus menempuh jarak jika mau bertemu dengannya, harus menghabiskan beberapa waktu untuk bersama dengan seorang dia yang telah sudi menjadi kekasihku. Ruang dan waktu adalah kepastian yang harus ada pada kita. Sebab apalah arti sebuah cinta jika tidak berada dalam keindahan ruang dan waktu. Tidak akan ada kisah yang menarik. Tidak akan muncul cerita heroik di antara kita. Tidak akan ada kesatria dan seorang putri seperti aku dan dirimu kekasih.
Pernah aku katakan, aku akan datang dengan diriku sendiri bila sedang dalam kangen padanya. Aku tidak ingin diantarkan oleh mobil, mengendarai motor, atau pun mesin lainnya. Kendaraan-kendaraan itu akan kubiarkan di rumah, sebagaimana seharusnya benda mati tak berperasaan. Biarkan barang-barang itu tetap mematung tanpa ikut campur dalam urusan perasaanku. Aku akan berjalan sendiri menemuinya yang anggun duduk menungguku di depan tempat tinggalnya. Karena benar-benar hanya aku sendirilah yang mencintainya, bukan karena mesin-mesin beroda itu.
Semoga cinta kita menjadi kisah yang indah di akhir perjalanan nanti, yang akan kita kenang dengan tawa dan senyum yang selalu segar. Atau hanya akan menjadi kenangan. Dan itulah yang paling aku takutkan.

***
Tulisan di atas adalah bakal cerpen yang tidak jadi-jadi. Sulit meneruskan atau mengeditnya hingga menjadi sebuah cerita yang menarik. Akhirnya aku punya kesimpulan bahwa ternyata cinta itu memang rumit, apalagi menuliskannya dalam bentuk karya cerpen. Menjadi sesuatu yang mustahil untuk selesai. Sebab dalam kehidupan nyata saja, kisah cinta tidak selalu berujung pada segalah yang maha indah. Ada senang dan juga marah. Mungkin itulah yang menjadi menarik dan indah.
Lalu, bila aku kangen apakah dia akan selalu marah-marah seperti saat kutelepon tadi sore? Kapan akan menjadi sesuatu yang indah jika terus seperti itu. Aku tak tahu, apakah hal seperti ini juga tidak akan selesai, senasib dengan cerpen yang aku buat? Masih belum ada jawaban.
Kemudian waktu seperti tertuang percuma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar