Aku pulang jam 2.42 dari kampus bersama Obenx dan
Yatno. Malam sudah sepi, jalanan
lengang, hanya lampu-lampu penerang jalan masih menyala menyaksikan langit yang
gelap pekat. Sudah beberapa akhir ini aku selalu pulang larut malam. Latihan
sekaligus rekaman lagu di Gorong-Gorong Institute (GGI)—ada salah seorang
produser yang tertarik pada aliran musik GGI, beliau meminta dibuatkan sebuah
lagu untuk dijadikan soundtrack film
pendeknya.
Sebelum pulang ke kos, kita bertiga mampir dulu di
Burjo Pribumi, daerah Sapen. Perut sudah keroncongan di tengah dinginnya malam.
Yatno pesan nasi telur, aku makan nasi orak-arik, dan Obenx minta dibuatkan mie
dok-dok.
Sambil menunggu pesanan datang, kita bertiga ngobrol di meja luar.
Ngobrol dengan mata mengantuk ternyata menyenangkan,
semua yang kita bicarakan tidak ada yang nyambung. Komunikasi tidak lagi
menjadi alat menyampaikan pesan, melainkan sekedar sarana untuk mengigau. Kita
dalam keadaan sadar dan tidur.
Dari obrolan yang tidak nyambung itulah maka ada
tawa yang lepas di antara kita bertiga. Dan dari tawa itulah kita bertiga sadar
tentang eksistensi diri, tentang ‘ada’-nya kita: kita tertawa maka kita ada.
kita bertiga merasa luar biasa, sedikit bisa mebusungkan
dada dan menyombongkan diri pada alam, meskipun mata masih terasa mengantuk.
Artinya, kita tidak harus menunggu berpikir dulu, seperti Descartes, untuk
mengetahui eksistensi dirinya. Atau ‘memilih’ (Choose) dulu, seperti
Kierkegard, untuk mengetahui bahwa dirinya ‘ada’. Atau ‘menulis’ terlebih
dahulu, seperti yang sering dikatakan kawan-kawan penulis, untuk menyadari
keberadaan dirinya. kita bertiga hanya cukup sekedar tertawa, maka inilah kita.
Namanya juga orang mengantuk, agak mirip dengan
orang sedikit mabuk. Obrolan kita tentang banyak hal. Pertama, tentang perempuan yang sedang ditemani cowok di meja
belakang sana, dekat tempat koki burjo memasak. Perempuan yang membuat kita
bertiga benar-benar percaya bahwa empirisme tidak seratus persen benar. Dari
jauh perempuan itu tampak begitu menggoda, tapi saat lewat di samping meja
makan kita, sungguh tidak sesuai dengan yang Obenk pikirkan.
Kedua, tentang teman-teman yang sudah mau lulus. Tentang
teman-teman yang dari kemarin berlomba-lomba menyelesaikan materi. Ingatlah,
perjuangan masih belum selesai. Sebuah pesan dari Band The Panas Dalam, “Di
mana ada kemauan, di situ ada jalan. Di mana ada kemaluan, di situ ada
persoalan.”
Ya, hanya itu. Aku mau pulang! Eh, Ketiga, kita membicarakan tentang kita
sendiri.
Rabu, 03 April
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar