Ada sepasang sepatu perempuan di sebelah kosku.
Warnanya biru. Dua-duanya menghadap selatan. Nampaknya kamar sebelah kosku
sedang kedatangan tamu. Entah teman, saudara, atau juga boleh jadi pacarnya.
Tapi kok sepi. Tak ada suara sedikitpun. Tak terdengar tegur sapa sepatah kata
pun. Siapa tahu mereka sedang berkomunikasi melalui kebisuan.
Kiranya tidak salah yang disebut sebagai “The eloquency of silence” oleh Ivan
Illich, yakni kefasihan dari diam. “Kata-kata dan kalimat terdiri atas diam
yang lebih bermakna dapada bunyi”,
tulisnya dalam “Celebration of Awareness”. Lebih jauh esais sekaligus
penyair Goenawan Mohammad menambahkan bahwa, “Komunikasi memang tidak selamanya
terjadi karena hanya dua mulut mencerocos bersahut-sahutan.
Mereka berdua, yang ada dalam kamar itu, mungkin
sedang berbicara melalui kehampaan getar suara. Boleh jadi mereka sedang
berbagi makna dari buah kebersamaan, yang akan hilang manisnya jika
dikomunikasikan lewat kata-kata. “Kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa,”
kata Seno Gumira Ajidarma dalam salah satu cerita pendeknya. Dan, “Kata-kata
tidak ada gunanya dan selalu sia-sia,” tambahnya. Mungkin itulah alasan mengapa
mereka berdua memilih diam pada kebisuan di dalam kamar sebelahku.
Tentang sepasang sepatu biru itu, tentang
perempuan yang ada di kamar sebelahku, dan tentang kebisuan yang mengurung mereka berdua dalam kamar itu, aku tidak mau tahu. Setiap orang pasti
punya alasan sendiri pada setiap yang dilakukan. Tetapi kebisuan yang lahir
dari dalam kamar itu tetap mendatangkan rasa penasaran yang mendalam dalam
benak, dan menyuruh untuk mencari sebuah jawab.
Aku diam dalam kamar. Mendengarkan beberapa buah
lagu dari laptop. Membaca buku. Tiduran sambil sms-an dengan kekasih. Semua aktivitas
aku lakukan agar bisa menghilangkan deru rasa penasaran yang menggebu. “Biarlah
orang lain melakukan apa saja yang dikehendaki,” seruku dalam hati. “Tak perlu aku ikut campur selama mereka tidak
mengganggu ruang kebebasanku.”
Beberapa lagu mengalun silih berganti, halaman
demi halaman buku sudah kulalui. Namun tetap saja aku terbayang sepasang sepatu
biru yang ada di depan pintu kos sebelah kamarku. Apa yang mereka lakukan dalam
kebisuan yang begitu panjang?
Dulu, saat masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah,
kata guru agama, tidak boleh berprasangka buruk pada orang lain. Dan, dari
kamar itu, kebisuan terus saja menderu.
Hahaha..kamu dihantui rasa penasaran kan su?
BalasHapuspenasaran dan sms-an, mau menciptakan kebisuan juga dalam kamarnya...hahaah
BalasHapus[] Ietha, biasa su, itu rasa ingin tahu saja
BalasHapus[] Taretan Supriyadi, aku mau keberisikan.
waooooow,,,
BalasHapusintip aja sesekali,,,heheh
[] waw... Ada si neng.
BalasHapuswah lama aku tak menjenguk blogmu yi, dan sdah bertambah lgi tulisannya. seperti biasa, aku selalu merasa terhibur membaca tulisan"mu......
BalasHapus