M. Faizi Pariwisata Tidak Ada Meskipun Dengan Enam Salam



Saat masuk ke tanian (halaman) rumah Kiai Faizi, aku sudah dilanda perasaan sebagaimana santri pada kiainya, penyuka sepeda kepada penggila bis dan seperti perasaan pemilik sah ‘mountrealabenniey.blogspot.com’ kepada pemilik sah ‘kormeddal.blogspot.com’: gugup sekaligus takut [cankolang pun juga ada]. Terlalu berlebihan memang, tapi mungkin itu adalah perasaan yang pantas dan wajar aku rasakan.
Aku dan Alunk masuk ke dalam kawasan pondok pesantren Al-Furqan, tempat Kiai Bismania itu tinggal. Alung memarkir Vega-nya di samping kanan mobil yang lupa kucatatat nomor polisinya karena saking gugupnya untuk bertemu M. Faizi Pariwisata untuk kali pertama. Khumairo juga kuparkir di situ, dekat motor Alung, di bawah pohon mangga.
Lebih dulu, Alung menyuruhku untuk bertanya pada santri tentang ada-tidaknya Kiai Faizi. Dan syukurlah, salah satu santri yang kutanya mengatakan kalau M. Faizi sedang ada di rumah. Kulihat di depan rumahnya juga ada sandal pribadinya, yang kata Ifan Julian, “trompah Abu Nawas”. Sandal itu memang mirip sekali dengan sepatu yang digunakan Abu Nawas, seperti yang tergambar di dalam komik-komik.
Meskipun masih dilanda rasa takut dan gugup, aku senang kalau hari ini akan bertemu langsung dengan penulis blog Kormeddal secara langsung.
Aku pun memaksa Alung untuk memekik salam. Namun Alung malah balik menyuruhku. Kami berdua saling paksa untuk memanggil salam di depan rumah M. Faizi, di depan sandal pribadinya itu. Akhirnya aku memberanikan diri. Memekik salam sampai tiga kali. Namun tak ada jawaban sama sekali dari M. Faizi. “Mungkin sedang tidur, yi,” kata Alung sambil berbisik. Kemudian Alung mengajakku duduk lagi di depan pondok santri.
Di sana kami berbincang-bincang, ngobrol tentang bagaimana baiknya untuk  bertemu Kiai Faizi.  “Yi, Kiai Faizi mungkin sedang asaren (tidur),” kata Alung padaku. “Bagaimana kalau kita pulang saja, tidak enak mengganggu tidur Kiai,” tambah Alung. Dalam hati, aku tak ingin pulang tanpa bertemu Kiai Faizi. Namun apa yang dikatakan Alung juga ada benarnya. “Lung, bagaimana kalau kita mengucap salam lagi, kalau tetap tidak ada jawaban kita bisa pulang.” Alung setuju dengan usulku, dan kami berberdua ke depan pintu rumah Kiai Faizi lagi untuk mengucap salam.
Apa mau dikata, tetap tidak ada jawaban dari sohibul bait (si punya rumah). Kiai Faizi mungkin memang sedang istirahat siang. Tak boleh diganggu. Akhirnya, kuputuskan untuk pulang. Dan kuniatkan, Lain waktu aku akan kembali untuk bertemu Kiai Faizi lagi di tempat ini .
Untuk mengobati rasa kecewa tidak bisa bertemu dengan idolaku, aku bertamu ke Rumah Jufri Zaituna di Bragung. Malamnya menginap di rumah Alung. Pagi-pagi sekali aku langsung pulang ke rumah dengan bersepeda: mancat Bragung-Ambunten.
“M. Faizi Pariwisata ternyata tidak keluar meski dengan kuucaap sampai enam salam di depan rumahnya. Lain waktu aku akan datang lagi. Semoga beliau--seperti dalam salah satu bait puisinya-- tidak "menyepelekan yang ganjil dalam genap, atau yang genap dalam ganjil" dari setiap sapaan salam dariku sebagai seorang tamu di depan kediamannya nanti. Hehehe…”

Minggu, 18 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar