Kira-kira
Jam 07.12 WIB aku berangkat dari
Mandaraga, rumahku, ke rumah Fakih di Kerta Barat, Dasuk, bersama Khumairo.
Dari rumah sudah banyak orang yang cemburu. Terutama nenek, bibi dan ayah pun juga
ikut menanam rasa cemburu. Kata mereka: “Kenapa aku tidak naik motor saja,
bukan sepeda (Khumairo)?” Aku tidak peduli dengan kata-kata mereka, seperti
mereka yang selalu mengutamakan mesin dan ‘menomorsekiankan’ bersepeda.
Dari
rumah aku mulai mengayuh di atas jalan beraspal. Melewati rumah-rumah orang,
sumber mata air, tanjakan, turunan, kelokan yang indah dan beberapa orang yang
menyapaku ramah.
Rupanya,
dalam perjalanan, sudah tak ada masalah lagi dengan Khumairo. Ia tak lagi rewel
dan bandel. Rantainya tak pernah lepas lagi meski aku mengayuhnya dengan cepat,
rem belakangnya sudah pakem, juga sudah tak ada masalah dengan pedalnya yang
kemarin—saat pergi ke kecamatan Ambunten—selalu mau lepas.
Bersepeda
itu memang melelahkan, karena kita akan bertemu dan mengenang banyak hal yang
baru. Itulah yang berat dan di sanalah yang menyenangkan. Tak seperti
mengendarai motor, yang terlalu ganas mempersempit jarak, melipat waktu dan
melewati banyak hal.
Mungkin
setengah jam perjalanan, akhirnya sampai juga di rumah Fakih. Dari jauh sudah kulihat
dia sedang asyik duduk-duduk di depan rumahnya tanpa ditemani siapa-siapa. Hanya
sendiri, atau mungkin kalau ada yang ketiga pun pasti sajak-sajak yang ada
dalam kepalanya atau boleh jadi Tuhan yang selalu ditulis dalam puisi-puisinya.
Kuparkir
Khumairo di depan rumahnya. “Kenapa kau tidak naik motor?” tanyanya agak
sedikit terkejut. Mungkin ia menganggapku sebagai seorang yang aneh. Aku hanya
tersenyum atas pertanyaannya.
Fakih
adalah orang yang luar biasa, dia menyambutku dengan senyum sederhana. Dia
menganggapku sebagai seorang tamu yang dipersilahkan duduk di kursi tamunya, sama
persis seperti tamu-tamu lain yang pernah berkunjung ke rumahnya. Karena aku
tahu dia adalah seorang yang tidak pernah membeda-bedakan manusia.
Beberapa
kue lebaran disuguhkan dengan hangat kepadaku diselingi dengan obrolan tentang
yang telah menjadi kenangan atau yang ingin dijadikan kenangan. Kami berdua
bercerita panjang lebar tentang Jogja, tentang puisinya, tenang Jufri Zaituna,
Tentang motornya di Jogja, tentang perempuannya, tentang mimpinya dan tentang
M. Faizi Pariwisata.
Tak
beberapa lama, saat kami berdua sedang asyik mengobrol, neneknya keluar dari
dalam rumahnya. Kedua tangannya membawa nampan dengan dua gelas putih di
atasnya. Fakih menerima nampan itu dan meletakkan cangkir itu di hadapanku dan
satunya lagi di depannya. Dengan senyum hangat aku menyapa neneknya Fakih sambil
bersalaman dengannya. kemudian nenek itu masuk lagi ke dalam kamarnya setelah
sedikit berbasa-basi denganku.
Memang
Fakih tak pernah bercerita tentang neneknya. Tapi aku tahu, di rumahnya yang
sederhana itu, ia tinggal bersama nenek dan adiknya. “Ibunya bekerja di
Malaysia untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil itu. saat Fakih balik ke
Jogja, maka yang menempati rumah itu hanyalah dua orang: adik dan neneknya.
Maka tidak salah bila saat mengobrol dengannya, ia sempat mengatakan “Ingin
tinggal di rumah barang satu tahun setelah wisuda nanti”. Suatu keinginan yang
luar biasa, yang tak pernah diungkapkan oleh orang yang pura-pura menjadi
pengelana, yang tak mau pulang, bahkan yang berusaha melupakan jalan untuk
pulang.
Oh
ya. Ada yang aku lupa. Pada tutup cangkir itu tertulis nama ‘Faki’. Memang
Fakih bukanlah seorang ilmuan penemu cangkir sehingga namanya harus tertulis di
sana. Itu hanyalah inisiati ibu rumah tangga di Madura agar perabotan rumah
tangganya tidak tertukar dengan milik orang lain. Biasanya nama itu diambil
dari nama anak pertama atau cucu pertama yang dibanggakan dalam keluarga itu.
Ya,
dicangkirnya memang ada nama “Faki”.
Tapi pada setiap judul karyanya ia menuliskan nama Muhammad Ali Fakih. Ya,
keduanya adalah sama: sama-sama dibanggakan dan menjadi kebanggaan.
Minggu, 11 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar