Belum Di Jogja



"Udah di Jogja belum?"
Yang jelas pertanyaan itu bukanlah soal UTS atau pun UAS. Pertanyaan itu datang dari Ketuan BEM Jurusan Filsafat Agama, Putra. Dikiranya, mungkin, aku sudah balik ke Jogja, padahal aku masih dalam masa menikmati liburan di rumah—keliling ke mana-mana bersama Khumairo, si sepeda cantik satu-satunya di desaku yang ada lampu led-nya.
Memang tidak hanya putra yang bertanya tentang keberadaanku. Kemarin, ada si Hemmam, Mas Riyan, dan nomor tidak dikenal yang ujung-ujungnya memintaku agar segera balik ke Jogja untuk menjadi fasilitator OPAK. Bukan bangga, namun sebegitu pentingkah aku bagi mereka? Padahal, di kampus aku hanyalah seorang mahasiswa kumuh, sering main ‘kucing-kucingan’ dengan satpam kampus karena suka tidur-mandi di kampus dan pemburu  ‘ghanimah’ (anak-anak GGI suka mengartikannya sebagai ‘sisa-sisa makanan’)
Lantas, apa untungnya mereka bertanya keberadaanku? Tak ada jawaban yang aku temukan kecuali pertanyaan: “Mereka yang sedang tidak waras, atau reputasiku yang sudah mulai naik daun?” dan aku lebih percaya kalau mereka sedang dilanda rindu atas kedatanganku untuk menghutangi mereka uang sebesar Rp. 5000. Kalau memang begitu, sungguh mulia kerinduan yang sedang mereka rasakan.  Sungguh sebuah rasa yang cukup menghujam ke dalam. Membekas dalam risalah sanubari.
Namun, aku hanya bisa minta maaf. Aku tidak bisa balik cepat ke Jogja. Kemarin aku sudah bilang pada Ipan, koncoku mahasiswa Perbandingan Agama,  bahwa aku akan balik ke Jogja pada hari ‘Lailatul Qadar Nasional’: antara tanggal 21, 23, 25, 27 atau  29. Karena aku masih ingin bersepeda ke Pesantren tempatku belajar dulu, Annuqayah, Guluk-Guluk. Selain untuk bertamu ke rumah M. Faizi Pariwisata, juga ingin membelikan beberapa kitab pesanan Mas Riyan dan juga kangen pada pesantren.

Jum’at, 16 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar