Sejak
pertamakali sampai di rumah—dua puluh hari yang lalu, awal bulan puasa—aku
jatuh cinta lagi pada sepeda Polygon hitam yang kubeli saat masih duduk di
bangku kelas enam Madrasah Ibtidaiyah (MI) oleh ayakhku di pasar Bangkal,
Sumenep. Sepeda yang banyak menyimpan kenangan, salah satunya pernah membuat
pantat Munir Aswa luka parah karena terkena terkaman roda belakang yang
berputar cepat waktu itu, saat jalan-jalan ke Sumber Kolla.
Warnanya
sudah banyak yang mengelupas, terutama di bagian belakang; stangnya mulai berkarat;
kedua bannya kempes, dan; banyak debu menutupi sepeda Polygon pertamaku itu. Aku
jadi merasa bersalah, bertahun-tahun mencampakannya di dekat dapur, bersama
tumpukan wajan dan panci bekas.
Walhasil,
dengan merasa benar-benar ikhlas bersalah. Aku ingin memperbaikinya,
mengendarainya lagi dan mengantarkan aku
jalan-jalan seperti masa-masa saat sekolah dulu. Untungnya kakekku adalah
seorang yang (maha)tahu terhadap isi
hatiku, beliau membantuku dengan membelikan dua ban dalam dan satu ban luar. Dengan
senang hati aku langsung mengganti roda Polygonku yang sudah membusuk itu di
rumah Jailan, tukang sepeda. Aku bersama
Romsi, salah satu anggota gankku dulu, mengganti ban sepedaku dengan yang baru.
Beberapa
menit kemudian, setelah melewati perjuangan panjang, kedua ban sepedaku
berganti yang baru. Seketika itu, aku langsung mengendarainya. Karena
sepertinya aku sudah tidak kuat menahan nafsu untuk berada di atasnya,
mengantarkanku pulang ke rumah.
Dalam
perjalanan kerumah, kurasakan roda depannya goyah, embar. Aku jadi tidak satu hati mengendarainya. Ada perasaan
mengganjal. Tidak enak mengendarainya.
Malam
harinya kutanya pada Romsi, yang kini sudah resmi kuangkat menjadi dokter
spesialis spedaku. Kata dia, harus beli peloran—maaf aku tidak tahu bahasa indonesianya.
Pagi harinya, setelah bangun tidur, aku
langsung berangkat ke toko sepeda Ji Mattasin, di Slopeng, membeli peloran bersama Romsi untuk roda depan
sepedaku itu.
Setelah
kudapat makhluk yang bernama peloran itu,
aku langsung memperbaiki sepeda lagi di rumah Jailan. Tentu bersama Romsi, tak
mungkin aku sendiri.
Akhirnya
selesai juga. Kukendarai lagi, jalan-jalan
keliling kampung, sekalian untuk mengetahuo lebih lanjut kondisi sepedaku. Ternyata
masih ada sedikit kekurangan, tinggal pedalnya yang kini kocak, Embar. Kata mang
romsi juga harus beli peloran. Saat
itu pula aku langsung membeli peloran di Toko Ji Mattasin. Setelah membeli itu, aku langsung
memberikannya pada Romsi untuk dipasangkan.
Beberapa
menit kemudian sepdaku langsung beres. Saat kukendarai pulang ke rumah,
ternyata pedalnya sudah bagus. Aku nyaman mengendarainya.
Esoknya
harinya aku membeli cat Pylox warna merah. Tidak sedap rasanya melihat sepeda
dengan warna yang sudah banyak yang luntur. Itulah alasanku untuk mencatnya lagi.
Timku dalam pengecatan sepeda Polygonku itu terdiri dari beberapa orang. mereka
antara lain adalah Didik, Munir Aswa, Munir Hadi, Abeng dan Romsi. Mereka semua
bekerja sama memberikan masukan, hingga dalam waktu yang agak lama, sepedaku
selesai dengan hasil yang lumayan bagus. seperti bermetamorfosis sempurnah, dari
hitam kumuh menjadi merah cerah, dari jelek menjadi bagus.
Berhubung
sepedaku sekarang berwarna merah, aku langsung memberikannya nama Khumaira, si
kemerah-merahan. Dengan nama itu, saya berharap si Polygon lama saya itu tidak
lagi cengeng, dengan meminta untuk dibelikan banyak suku cadang lagi. karena
uang saya sudah menipis.
Namun,
setelah beberapa hari kemudian aku bersama Khumaira, ternyata dugaanku salah. Aku
harus membeli rem depan dan belakan, bel sepeda, lampu led depan dan belakang,
dan sadel sepeda. Yang semua itu ternyata membutuhkan biaya besar. Semuanya
kulakukan demi kembaikan Khumairo. Kasihan sekali kalau dia harus terlantar
lagi.
Kamis, 1 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar