‘Mancat’ Ambunten-Guluk-Guluk



Mancat adalah bersepeda.“Buh, Cong, bekna mak gik kellar mancat!” (wah, nak, kamu kok masih kuat bersepeda!) kata kakek tua padaku di Lenteng, sebelum rumah Ke Yurat—mohon maaf jika penulisan nama atau gelar kurang benar. Saat itu, aku dalam perjalanan menuju rumah M. Faizi Pariwisata. Ya, Dari rumah, Ambunten, aku memang mancat ke Guluk-Guluk tempat tinggal kiai yang sedang dicalonkankan menjadi ‘Kabupatin Sumenep’ oleh banyak fans-nya.
Awalnya aku bingung: antara memilih mancat atau naik motor. Karena aku sudah terlanjur mencintai Khumairo, akhirnya kuputuskan untuk bersama sepeda merahku  ke tempat Kiai penggila bis itu. Meskipun aku harus menanggung lelah, karena jarak yang akan ditempuh cukuplah jauh. Entah berapa kilometer, nanti akan aku cari di google jawabannya. Untuk sementara jarak Ambunten-Guluk-Guluk adalah ‘jauh kilometer’.
Dari rumah, aku berangkat jam lima pagi. Tanpa minta izin pada siapa pun, karena aku yakin keluargaku pasti tidak akan mengizinkan aku mancat ke Guluk-Guluk. Meski dengan alasan apa pun yang aku buat, meski dengan rayuan macam apa pun yang aku utarakan dan meskipun aku berjanji untuk jaga dir. Sudah tentu pasti mereka tidak akan mengizinkanku mancat  ke Guluk-Guluk. “Aduh. Entar kulitmu semakin hitam. Pakai saja Revo atau Supra, dua-duanya sama-sama tidak dipakai.” Mereka akan berkata seperti itu. Sungguh aku masih dalam keadaan tidak mau terperdaya apalagi tergoda untuk menuruti kemauan misionaris bengkoang dan krim pemutih.
Makanya aku lebih memilih mancat tanpa sepengetahuan mereka: saat ibu mencuci piring di dapur, ayah di toko, kakek memberi makan sapi di kandang, nenek ke rumah tukang pijat, paman dan bibi sedang tidur pagi. Dan biarlah kulitku semakin hitam, semakin mengkilap.
“Maafkan aku, ibu. Aku tidak bermaksud mengambil Syurga ditelapak kakimu sepeti salah satu lirik lagu band The Panas Dalam, aku hanya ingin ngonthel ke dhalem,  yang kata Ii’, Lora Faizi di Guluk-Guluk. Semoga aku tidak termasuk anak durhaka hanya gara-gara lebih memilih Khumairo daripada Supra X 125 Full Injection milik ayah.”
Dari rumah aku terus mengayuh tanpa mengenal lelah. Dan, syukurlah, Tak ada masalah dalam perjalananku. Hanya di Pasar Keles aku bertemu dengan nenekku, untungnya beliau tidak bertanya hendak kemana aku. Karena selain takut dimarahin,  bagiku ini adalah ‘pemancatan’ rahasiaku. Sama seperti perjalanan rahasia Khidir.
Benar memang banyak keringat dalam perjalan, karena mancat ke Guluk-Guluk tak seperti mancat di Jogja. Jalan-jalan di sini banyak dengan tanjakan dan turunan tajam, maklum daerah perbukitan. Jadi memang butuh tenaga ekstra untuk menaklukkan segala tantangan. Termasuk juga menghindar dari bato kaletthak tar centaran (maaf, belum diketahui bahasa Indonesianya) yang banyak ditemui di daerah Aeng Dakeh, Batuan.
Di antara medan-medan yang dibutuhkan tenaga ekstra adalah: Keles Timur, ada tanjakan yang berkelok; Sa’im; Aeng Dekeh, tanjakan dan turunan curam; Lenteng Barat; dan, Ganding. Namun, syukurlah, semuanya bisa kuatasi dengan baik. Hanya sekali berhenti di Banasare untuk membeli air mineral dan permen karet. Setelah itu tak ada rintangan lagi, kecuali hanya ada perasaan malu pada para pesepeda di daerah Lenteng: mereka terlihat gagah di atas sepeda Polygon dari berbagai macam tipe, sedang aku mengayuh si Khumairo, sepeda merah yang yang satu persen pun tak bisa menyaingi kegagahan sepeda mereka. 
Dalam waktu, kurang lebih,  tiga jam aku sampai di An-Nuqayah, Guluk-Guluk. Aku langsung ke tempat pondokku dulu, di daerah lubangsa, Blok E 01. Aku mau istirahat sebentar sebelum ke rumah M. Faizi Pariwisata. Di pondok ternyata sudah tidak ada orang yang aku kenal. Mungkin hanya  Topik Collet, lainnya adalah santri baru. Teman-temanku dulu di pesantren sudah banyak yang berhenti, pindah kesekolah lain atau juga berkeluarga. Sebab, sebelum pulang aku hanya berjumpa dengan Wasik, Wahid sekilas melihat Rofiq.
An-Nuqayah macet. Sesak dengan mobil. Penuh dengan motor. Hanya aku sendiri yang mengenderai sepeda. Tapi masih harus terkena musibah macet juga, terkepung di antara mobil dan motor yang diam tak bergerak.
Setiap tahun pelajaran baru memang selalu seperti ini. Disebabkan banyaknya orang yang mau memondokkan putra-putrinya di pesantren ini. Jadi, kemacetan seperti ini adalah sesuatu yang mau tidak mau harus diterima, apalagi banyak pemilik mobil dan motor yang tak punya kesadaran dengan memarkir kendaraannya di pinggir jalan.  
setengah jam kemudian, setelah aku mandi di kamar mandi Masjid An-Nuqah, tiba-tiba ada panggilan telepon dari Alung. Katanya, dia sudah menungguku di depan pintu masuk rumah Kiai Faizi Pariwisata—sebelumnya, ia memang sudah meneleponku waktu aku masih di Pasar Ganding agar bersama-sama kalau mau bertamu ke rumah Kiai Faizi.
Aku segera bergegas untuk menyusulnya ke sana. Sayangnya aku terjebak kemacetan dari daerah Lubangsa sampai Nirmala. Untungnya aku membawa sepeda sehingga dengan agak mudah bisa meloloskan diri dari mobil-mobil yang mematung dalam kemacetan.
Setelah terbebas dari kemacetan. Aku langsung meluncur cepat dengan khumairo ke Rumah M. Faizi Pariwisata. Di pinggir jalan samping rumah M. Faizi, kulihat Alung sedang menungguku. Ia seperti Kiai, mengenakan baju koko dan Vega R-nya terlihat tampan di depannya.
Selanjutnya kami berdua masuk ke halaman pesantren tempat Kiai Faizi tinggal. Aku malu, aku gugup, aku deg-degan waktu itu.

Minggu, 18 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar