Tadi aku pergi ke Sumenep bersama Piping Musdar.
Mengendarai Motor Revo milik kakek, kami berdua berangkat dari rumah pukul
09.45 WIB. Tujuan utamaku pergi ke Sumenep adalah untuk transaksi pembayaran
registrasi kuliah melalui Bank BRI. Namun tidak hanya sekedar itu, aku juga
ingin membeli pedal sepeda dengan sumbangan dana dari kakek sebesar Rp.
30.000,- dan tentu, kalau bisa, aku juga ingin menukar Torpedo onthel tua yang
dikirim oleh Mas Riyan dari Jogja di
Bangkal, tempat jual-beli sepeda, dengan torpedo Fixie.
Pertamakali aku yang menyetir dari rumah, tapi
sampai di Dasuk aku langsung meminta Piping untuk menggantikanku menjadi sopir.
Setelah berhenti sebentar untuk mengganti posisi, kami berdua pun melaju lagi
menuju Kota Sumenep di bawah panasnya terik matahari.
Setengah jam kemudian aku sampai di Kota Sumenep,
aku tak langsung ke Bank BRI, tapi mampir dulu di toko sepeda untuk membeli
pedal baru. Tanpa lama tawar-menawar aku langsung membeli pedal berwarna merah
dengan harga Rp. 35.000,-. Setelah itu aku langsung menuju Bank BRI, namun
akhirnya aku urungkan niatku untuk melakukan registrasi kuliah hari ini saat
melihat banyak orang yang duduk mengantri, sampai juga ada yang berdiri
menunggu di pintu masuk. Aku tidak mungkin dan tidak mau menunggu terlalu lama
di tempat ini.
Aku kembali menyalakan motor yang tadi aku parkir.
Kini tujuanku adalah Pasar Anom Sumenep untuk membeli barang-barang pesanan
Ibu, di antaranya adalah Bawang, Laos dan
komereh. Kejadian seperti ini selalu
menjadi hal yang lucu bagiku, ibuku tahu aku kuliah pada jurusan Filsafat, tapi
masih saja aku disuruh ke pasar untuk membeli bawang. Atau boleh jadi juga
ibuku yang lebih peka, lebih kritis bahwa filsafat itu adalah yang ‘tahu tentang segala’. Ayahku pun kadang
juga bersikap sama seperti ibu, ia kadang menyuruhku untuk menjaga jagung dari
serangan ayam-ayam tetangga yang kelaparan, dan nenekku juga pernah menyuruhku
untuk menaruh kue buatannya ke dalam toples kaca. Padahal di dalam kelas
filsafat: Socrates, Descartes, Kant, maupun Derrida tidak pernah membuat teori
tentang ‘perlindungan jagung’ maupun metode ‘Menaruh kue ke dalam toples’,
namun ayah dan nenekku menyuruh seperti itu padaku.
Setelah sampai di pasar, aku langsung membeli
barang pesanan ibu dan langsung membawa pulang. Kali ini tinggal satu
kepentingan lagi, yaitu menukar Torpedo di Bangkal. Namun setelah sampai di
sana, tak ada satu pun toko yang mau menukar torpedoku. Terpaksa aku harus
pulang dengan kecewa. Ya, mau bagaimana lagi. terima saja. Toh, kata Piping
meskipun itu torpedo untuk onthel, itu masih bisa dipasang sepeda merahku, si
Khumairo.
Aku sampai di rumah tepat ketika ayah pulang dari
sholat Jum’at. Mungkin dia mau tanya aku itu sholat Jum’at di mana, tapi
untunglah beliau malu hingga tidak berani bertanya seperti itu. Karena
sebenarnya aku tidak sholat Jum’at, karena Piping yang tak mau menghentikan
laju sepeda motor. Coba kalau seandainya ayahku bertanya seperti itu pasti aku
jawab jujur, karena di sebagai anak bangasa aku harus selalu berkata jujur,
apalagi ini adalah bulan puasa. Hahaha…
Jum’at, 2
Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar