Aku
tidak mencintainya dengan sangat. Hanya tak akan berakhir, ibarat seorang yang
mencari ujung dari angka nol. Begitulah perasaanku padanya. Rasa cemburu pasti
ada jika dia dan takdirnya memilih untuk hidup dengan orang lain. Aku akan
remuk dalam sakit hati yang tak berkesudahan, sebelum sadar bahwa kegagalan pun
adalah bagian penting dari cinta sejati.
Karena cinta suci itu memang selalu memberi lebih.
Aku
menulis semua ini bukan untuk mengemis rasa kasihan darinya agar memberikan
perasaan yang sama padaku, aku hanya ingin mengenang kisah ini sebelum semuanya
terlupakan.
.
“Lupakan
aku selamanya,” suruhnya padaku, beberapa hari yang lalu.
Ia
rupanya ingin aku sesegera mungkin melupakannya. Sudah tiga kali ia mengatakan
kalimat itu padaku pada hari-hari sebelumnya, terutama saat aku mengatakan
rindu padanya. Rindu adalah perasaan ingin bertemu yang sebenarnya, yang tak
tertahan, yang tak terbendung, yang sudah tak bisa dialihkan dengan benda atau
hal lain.
Biasanya
aku mengatakan kangen hanya melalui pesan singkat, bukan dengan menemuinya,
agar aku tidak mencium harum parfumnya yang bisa bertahan sampai aku tertidur.
Dan yang lain dari itu, tentang wajahnya, alisnya, kedua matanya, hidungya,
mulutnya, tangannya, jari-jarinya dan pakaiannya adalah yang tidak bisa
kulupakan meskipun dalam tidur nyenyak. Sayangnya ia tidak mau dirindukan.
Pada
selembar kertas kosong yang kusobek dari buku catatan harian, aku menulis
sebuah surat untuknya. Persis seperti yang pernah Ayah lakukan pada Ibu, yang waktu
itu kira-kira aku masih berumur sebelas tahun, diam-diam selalu membacanya. Aku
akan meniru Ayah, menuliskkannya untuk dia-ku:
Berduri,
kau begitu penakut. Manusia hidup di dunia ini hanya sebentar. Termasuk juga
aku. Dan kau dengan semena-mena memaksaku agar mampu melupakanmu selamanya. Seakan-akan
dalam keyakinanmu aku bisa mencintaimu selamanya, sehingga juga harus
melupakanmu selamanya, meski tubuh telah melepas ruh. Itu tidak adil, beban
yang terlalu berat untuk ditanggung bagi makhluk yang tak bisa hidup abadi,
seperti aku.
Kau
memang berlebihan dan terlalu penakut.
Satu-satunya
cara untuk bisa melupakanmu adalah
membohongi diriku sendiri bahwa kau adalah perempuan yang jauh dari
kesempurnaan. Lalu kegagalan adalah wajah yang paling banyak kutemukan setiap
mencoba untuk melupakanmu. Setelah mencoba mencari sebanyak-banyaknya kekurangan yang ada pada
dirimu, detak jantungku semakin berdegup bila menyebut namamu, teringat
senyummu, dan terbayang kedip mata kirimu yang indah. Kau semakin tidak
sempurna sebagai perempuan, semakin membuatku yakin bahwa kau adalah manusia,
dan bagiku luar biasa. Karena aku tidak mungkin mencintai bidadari meski lebih
cantik dan lebih segalanya darimu. Aku adalah manusia yang jatuh cinta pada
manusia: kamu.
Namun
surat itu tidak kukirimkan padanya, kusimpan sendiri dalam lemari. Sebab surat
itu belum lengkap, belum sempurna, dan aku tidak bisa berterus terang tentang
semuanya padanya. Sebenarnya pada surat itu masih ada satu hal yang tidak
kutulis yang berkaitan dengan usahaku melupakannya: mengorbankan perempuan lain
sebagai pelampiasan.
Aku
takut menceritakan tentang perempuan-perempuan yang telah kusakiti perasaannya
padanya, karena dia juga akan merasa dilecehkan
sebagai perempuan. Lagi pula aku tidak ingin mengungkit-ungkit kembali tentang
mereka, mungkin ini sebagai wujud dari perminta maaf. Karena Aku benar-benar telah
menyesal, meskipun penyesalan memang tak ada artinya bagi kekecewaan. Maaf.
Hari
ini aku sudah kehabisan cara untuk melupakan Berduri. Tidak mungkin membohongi
diri sendiri lagi tentang dia yang penuh kekurangan, atau mencari korban lagi,
karena aku sudah benar-benar menyesal, apalagi saat teringat pada adik
perempuanku jika diperlakukan sama oleh lelaki jahat seperti aku. Ah, sialan!
Hubungan
dengan orang lain adalah penjara. Tetapi aku lebih memilih terpenjara dengan
terus mengejar Berduri. Seakan-akan ,bagiku, perempuan di dunia ini hanya dia
seorang. Memang benar. Bagiku, perempuan yang lainnya hanya sebatas tubuh yang
kehilangan makna.
“Penjara
memang tetap penjara. Alangkah malangnya nasib seorang jika tak mau
merasakannya. Di dalamnya, kebahagiaanya hanya milik kita.” Jawaban yang tak
masuk akal selalu datang dengan tiba-tiba dalam benak kepala, di saat aku ingin
menjadikannya sebagai kekasihku.
“Aku
benar-benar tidak bisa melupakanmu, Berduri.”
Memang,
jika ada seorang tidak mencintai kita, kita tidak perlu memberikan alasan apa
pun tentang kenapa kita mencintainya. Entah itu karena wajahnya yang cantik,
tingkahnya yang baik, atau pun karena orangnya menyenangkan. Karena semua alasan
hanya akan menjadi sesuatu yang percuma dan sia-sia.
Meskipun
begitu, aku akan tetap mempunyai alasan kenapa aku mencintainya. Alasan tetap
sesuatu yang perlu meski tidak didengarkan. Lagi pula, Berduri begitu tulus
tidak mencintaiku, bukan hanya sekedar tidak cinta. Oleh sebab itu, aku ingin
membuatkannya suatu alasan tentang ketulusan cintaku padanya, agar
ketidak-cintaannya padaku semakin memperkuat ketulusannya. Mungkin seperti
itulah cara lain, bahkan satu-satunya cara, untuk melupakannya.
Aku
mencintainya karena tiga alasan saja, biar ganjil—katanya, Nabi juga menyukai
sesuatu yang ganjil. Pertama, aku dan
Berduri memiliki hubungan keluarga. Jadi meskipun dia menolak cintaku, dia
tetap akan menjadi keluargaku. Setiap ada acara keluarga pasti akan tetap
berkumpul, dan akan tetap saling memberi kabar. Jadi tidak akan ada perpisahan.
Boleh dikatakan, aku dan dia sudah berkeluarga sebelum ‘berkeluarga’;
Kedua, dia
cantik. Aku memang lelaki peragu (jauh sebelum kuliah di jurusan
filsafat). Awalnya aku memang meragukan
kecantikan Berduri. Tapi saat Wadud, Sinut, Rahwini, Ka’ Arik, Mba Kai, Mba
Putri, Evy, Ii’, Ba’ Ifah serta semua keluarga dan tetangga di rumah mengatakan
hal yang sama tentang cantiknya Berduri, barulah kemudian aku percaya pada
kecantikannya;
Dan,
Ketiga, aku yakin kalau dia pasti akan
menolak cintaku, dengan berbagai alasan kompleks yang hanya dia sendiri yang
tahu.
Alasan
yang nomor tigalah yang paling membahagiakanku. Bagiku, cinta yang ditolak
adalah hadiah yang menyenangkan dan tak terlupakan. Karena orang yang menolak
telah bersedia dengan jujur menolaknya, dan seorang yang ditolak serasa mejadi
lelaki sejati karena telah membuat perempuan bangga. Konon katanya, perempuan
merasa bangga saat menolak banyak cinta laki-laki. Uh, betapa heroiknya, betapa
luar biasa lelaki yang senang ditolak perempuan.
Aku
juga lebih bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa jika Berduri menolak cintaku,
karena aku takut untuk menyakitinya. Kata orang, ‘cinta seorang laki-laki hanya
besar di permukaan, lalu habis sebelum semuanya selesai.’ Tapi jangan terlalu
percaya kata orang, apalagi selagi masyarakat masih tahu cara berbohong dan
mengibul yang tak diketahui orang.
Yang
penting ingatanku pada Berduri sudah semakin reda.
.
Di
kostku, kamar rahasia, aku bayangkan ada Ibu tengah asik membaca tulisanku
tentang Berduri. Ia mengenakan pakaian yang membuatnya semakin cantik. Meskipun
semakin cantik dan sedikit menarik, ia tetap menjadi Ibuku dan sebagai suami
Ayahku, tidak harus pindah peran menjadi orang lain.
Setelah
selesai membaca tulisan dalam catatan harianku, Ibu langsung menatapku dengan
wajah yang membingungkan; Ada senyum di bibirnya, juga ada air mata pada
sepasang matanya. Aku tidak bertanya kenapa bisa seperti itu, sebab aku yakin
kalau ibuku adalah perempuan yang luar biasa: bisa bersedih dan senang dalam
waktu bersamaan. Mungkin itulah salah satu jurus yang disebut menghemat waktu.
’ha-ha-ha…’
“Memangnya
Berduri cantik?” tanya Ibu kemudian sambil mengangkat kepala dan tersenyum,
mengajak bercanda denganku.
“Tidak
kalau dibanding dengan Allah SWT., Bu,”
“Kalau
dengan Ibu?”
“Kalau
boleh berkata tidak jujur, pasti sedikit lebih cantik Ibu lah.”
“Ha-ha-ha…
jadi kau lebih memilih memuji dia dari pada Ibu?”
“He-he…
Kalau aku bilang ‘iya’ bakal dikutuk jadi batu, gak?”
“Tentu,”
jawab Ibu cepat. Di bibirnya masih ada seyum bekas tertawa tadi.
“Tidak
deh. Lebih cantik Ibu kok.”
“Beneran?”
“Iya,
sumpah. Tadi aku sampai buka kacamata untuk memastikan kebenarannya.”
“Ha-ha-ha…”
aku dan Ibu sama-sama tertawa.
“Berarti
kecantikan Ibu samar-samar dong. Matamu kan minus empat…”
“Iya…
” aku tersenyum, ”cantiknya jadi buram, Bu. Hehehe.”
“Dasar
anak yang baik dan berakhlak mulia,” ucap Ibu kemudian sambil mengusap rambutku
beberapa kali. Aku makin sayang pada Ibu, dia adalah satu-satunya Ibuku yang
terbaik yang kumiliki di dunia ini.
(Dia
juga cantik kok, he. Aku hanya takut dituduh merayu dia jika mengatakan Ibu
lebih cantik saat menjadi Ibuku, dan hanya sekedar cantik saat menjadi istri Ayah.
[He, cuma bercanda]. Tapi beneran, meskipun aku pakai kacamata, Ibuku tetap perempuan
yang cantik.)
Ibu
kembali membolak-balik kertas yang berisi tulisanku tentang Berduri. Kubiarkan
saja ia tertawa-tawa sendirian. Mungkin dikiranya tulisanku lucu, padahal itu
adalah kisah cinta yang sulit kujalani.
“Sejak
kapan kamu mencintai Berduri?” Bola mata Ibu menatap lembut ke arahku.
Dengan
sedikit malu-malu aku menjelaskan pada Ibu, bahwa aku mulai tak sengaja
menyukainya sejak kecil, sebelum aku baligh. Perasaan suka itu tiba-tiba datang
karena aku sering bertemu dengan dia ketika ada acara keluarga. Aku memendam
sendirian perasaan suka ini di usia, yang kira-kira, masih sebelas tahunan.
Perasaan yang seharusnya aku hentikan. Tapi mungkin karena kenekatanku, aku
rela menanggung beban berat di usia yang masih belia, dengan berani jatuh cinta
pada seorang yang tidak punya perasaan yang sama padaku.
Kemudian,
saat aku sudah berakal, aku benar-benar sudah mencintainya dengan sengaja. Selalu
suka mencuri-curi pandang saat ada dia. Teleponan dengannya sambil
ketawa-ketawa sendirian. Dan, Senang kalau dia minta bantuan.
Biasanya
Berduri suka meminjam buku, dan aku senang memberinya pinjaman, bahkan untuk buku
yang tak kupunya sekalipun. Pernah dulu dia sedang butuh novel best seller
dengan minta bantuanku untuk mencarikannya. Tanpa pikir panjang, aku langsung berusaha
mencari novel-novel best seller. Mulai dari menanyakan pada teman dekat,
temannya teman, perpustakaan sekolah dan toko buku. Akhirnya aku menemukan
novel itu di toko buku dengan judul
Lily. Aku bela-belain menghutang uang pada Piping untuk membeli buku itu
sebelum kupinjamkan pada Berduri. Tapi aku merasa itu bukanlah pengorbanan, aku
hanya senang melakukannya…
“Sudah.
Tidak usah dilanjutkan lagi ceritanya,” larang Ibu.
Ibu
mungkin bosan mendengar ceritaku. Terlalu lebay, dan sangat tidak romantis.
Aku
jadi bete. “Gak tahu apa kalau aku
lagi asik bercerita,” gerutuku dalam hati.
Dengan
wajah yang lebih serius dari sebelumnya, kemudian ibu bertanya lagi padaku,
“Kenapa kau sampai tega menyakiti perempuan lain?”
“Aku
juga tidak tega, Bu!”
“Terus,
kenapa dilakukan?”
“Karena
aku merasa memiliki kelebihan cinta, sama seperti Muhammad, Yesus, Budha dan
Gandi, tapi sayangnya aku salah mengartikan dan menjalankannya. He-he-he…”
Ibu
hanya tersenyum sebentar, kemudian bibirnya kembali pada posisi yang serius.
Aku tahu apa yang ada dalam hatinya. dan aku juga menyesal telah berbuat
seperti itu. Janji untuk tidak melakukannya lagi sudah kugenggam erat di dalam
hati.
Agak lama aku dan Ibu sama-sama diam, entah
sedang memikirkan apa, sebelum akhirya Ibu kembali menyegarkan suasa dengan
bertanya tentang alasan Berduri menolakku. “Kenapa Berduri setega itu bisa
menolak cinta sejatimu?”
“Karena
aku bisa mencintai dia selamanya, menyayangi dia selamanya, merindukan dia
selamanya, dan membahagiakan dia selamanya.”
“Ha-ha-ha…”
“He-he-he…”
“Emang
sebelumnya kamu sudah tahu kriteria cowok yang disukai Berduri?”
“Berduri
itu suka pada cowok yang memberinya bunga kering yang dibungkus plastik, Bu.”
“Kenapa
kamu tidak membuatkannya juga?”
“Mmm…
aku takut menyamakan dia dengan jin dan makhluk halus lainnya.”
“Maksudnya?”
“Yang
suka bunga biasanya kan golongan jin, Bu.”
Ha-ha-ha..
kami berdua tertawa bersamaan. Padahal sebenarnya tidak ada yang lucu. Lalu apa
salahnya jika sama-sama ingin tertawa.
“Kamu
ada-ada saja” ucap Ibu. “Sudah jangan bayangkan Ibu ada di kostmu. Capek ketawa
terus. He-he-he…”
“Iya,
aku juga capek mikirin dosen terus, Bu.”
“Kenapa
dipikirin?”
“Gara-gara
mikirin istrinya dia jadi botak. Kasihan, Bu.”
“Ha-ha-ha…”
“Ha-ha-ha…”
“Entar
kamu juga botak kalau mikirin Berduri terus,” kata Ibu sambil menahan tawa.
“Iya,
aku akan berhenti. Mau mikirin caranya dapat uang untuk membeli sepeda aja.”
Kemudian,
seperti perintah Ibu, aku berhenti
membayangkan dia ada di kostku. Kostku tiba-tiba menjadi sepi. Aku nyalakan
laptop, memutar lagu Sichan di winamp classic, dan aku tiduran sambil melihat
langit-langit kamar.
… Kalau begini aku jadi sibuk
berusaha mengejar-ngejar dia. Matahari menyinari semua perasaan cinta, tapi mengapa
hanya aku yang dimarahi…
Samar-samar
lagu itu terdengar, karena aku sudah mengantuk, mau tidur. Di luar ada orang
tertawa, tapi aku tidak tahu siapa dan karena apa.
Yang
jelas aku sudah mulai melupakan Berduri. Nanti, kalau bangun tidur aku masih
teringat dia, aku akan pura-pura telah menjadi orang yang melupakannya,
selamanya. Sampai semua orang percaya, termasuk aku, bahwa aku benar-benar telah
melupakan Berduri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar