Teringat
ketika masih di Madrasah Ibtidaiyah (MI), setara SD, pulang sekolah
hujan-hujanan. Buku tulis dan buku pelajaran, pensil, balpen, baju dan bahkan
juga sepatu dimasukkan ke dalam plastik kresek merah berukuran besar—dulu harga
satuannya Rp. 200.—lalu kami, dengan teman-teman, berlari menembus hujan lebat
menuju rumah dengan kresek merah yang telah diikat erat di tangan.
Tidak
khawatir akan sakit berhari-hari, dan tidak
ada rasa takut dimarahi ibu karena celana seragam sekolah bakal basah dan penuh
lumpur ketika sampai di rumah. Di bawah guyuran hujan deras, yang kami tahu
hanyalah kesenangan, selain itu adalah yang sudah dan pasti terlupakan. Termasuk
Sholat Dzuhur.
“Hujanlah!
Hujanlah! Hujanlah! Banjirlah! Banjirlah!” Kami (Midi, Ipung, Mas’odi, Imam,
Khalis, Mud, Khatib, dan Bey) bergiliran berteriak sambil mengangkat tangan
yang terkepal, meniru si jahat Bahadur di film Angling Darma. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi, jika
banjir besar benar-benar datang. Aku pasti sudah hilang dibawa air entah ke
mana. Tapi, mungkin, Tuhan memang tidak mengabulkan doa anak kecil yang
hujan-hujanan.
Setelah
hujan reda, aku pulang dengan tubuh menggigil. Plastik kresek warna merah,
tetap erat dipegang di tangan, dan sudah banyak air yang masuk ke dalamnya.
Tapi aku biasanya tidak menyesal meskipun buku pelajaran basah, karena aku
tidak bisa menyesal dalam kondisi lapar. Itu memang suatu keajaiban yang tidak
dimiliki teman-teman sekelas. Hanya aku seorang.
Sesampai
di halaman rumah, pelan melangkahkan kaki, sebisa mungkin agar tidak ketahuan
ibu. Jika dalam keadaan tidak beruntung, dan itu selalu, ibu akan langsung
marah-marah. Menyruh mandi dengan nada yang tak seharusnya, menyuruh makan
dengan perintah yang tak seperti biasanya, dan sebagainya, dan seterusnya yang
sudah aku lupa.
Ibu
akan tetap berbicara dengan suara seperti petasan kalau masih melihatku
melakukan aktivitas lain kecuali tidur di kamar. Setelah itu sunyi. Karena ibu
tidak akan marah sampai ke dalam mimpi.
“Besok
kamu mau memakai seragam apa?” Kalimat itu bukanlah pertanyaan yang menunggu
jawaban, melainkan sebuah sirine, petanda bahwa Ibu masih kesal. “Meskipun
dicuci sekarang, besok pagi tidak akan kering. Makanya jangan hujan-hujanan
terus. Ibu juga capek terus-menerus mencuci bajumu yang selalu saja kotor.” Ibu
akan berhenti berbicara sampai melihatku tidur.
Namun,
anehnya, saat melihatku tertidur, Ibu malah mengusap-usap keningku dengan penuh
sayang. Padahal tadi dia marah-marah. Aku hanya bisa menduga-duga waktu itu,
kalau ibu akhirnya sadar dan bangga padaku yang bisa hujan-hujanan, sedangkan
dirinya tidak. Dalam mata terpejam, aku mendoakan ibu agar selalu dikasihi-Nya,
dan aku juga bangga punya ibu seperti dia.
(“He-he-he…
maafkan aku, Ibu.”)
Sore
ini, 13/12/13
Meskipun
sudah menjadi mahasiswa semester tujuh, aku tetap hujan-hujanan bersama Harik. Kerinduan
pada masa-masa di MI harus segera diobati, jangan dibiarkan hanya karena malu sudah
menjadi mahasiswa. Jangan seperti Cak Faiz, mahasiswa S2, yang kemarin
mengatakan ‘malu’ padakku waktu kuajak untuk hujan-hujanan.
Aku
hanya bisa merasa kasihan, kalau tidak boleh disebut iba, mendengar ceritanya:
“Kalau hujan lebat seperti ini, aku biasanya memburu burung dan tupai di rumah.
Ingin rasanya kembali menjadi anak kecil lagi.” kasihan, dan memang hanya bisa
mengkasihani. Sebab meskipun aku turut mendoakan agar harapannya dikabulkan,
tuhan tidak mungkin menjadikannya anak SD lagi. “Anakku, Tuhan menjawab segala
doa, dan kadang jawabannya adalah tidak,” kata Kardinal Strauss pada Signor Carmelingo
di film Angels and Demons, kalimat itu
mungkin buat Cak Faiz juga, yang ingin kembali menjadi anak kecil untuk
hujan-hujanan.
Aku
dan Harik menikmati butir-butir air hujan yang berjatuhan dari langit mengenai
tubuh, membasahi baju, membuatku bahagia—aku tidak tahu perasaan Harik, karena
aku belum sempat bertanya. Tapi ia menikmati hujan di sore ini dengan
melompat-lompat seperti kangguru pada setiap genanangan air.
Akhirnya
Rian handsome juga ikut bergabung, kemudian Sayu, Ong Eska, Obenx dan Ainur. Kami semua
jadi berenam, berjalan mengelilingi Fakultas Dakwah dan Ushuluddin sambil
menikmati hujan, bermain air dan tertawa bersama-sama.
Di
depan perpustakaan UIN SUKA ada banyak mahasiswa yang menunggu hujan reda
melihat kami berenam yang sudah basah kuyup. “Ayo saudara-saudari, jangan hanya
diam, hujan hanya air, jangan takut, bergabunglah bersama kami.” Harik
berteriak sambil tertawa, padahal dia sudah kedinginan.
Hujan
sudah reda. Tak ada ibu yang akan marah melihatku basah kuyup sepulang kuliah.
Lebih baik langsung mandi dan tidur.
Siapa tahu sekarang ibuku mau marah melalui mimpi. Hem… “Harapan adalah
sumber penderitan,” kata Budha. “Memang! Namun hanya bagi orang yang terjaga.
Aku kan mau tidur.” Aku akan mengatakan seperti itu jika bertemu Budha.
Minggu, 15 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar