…
Habis dari undangan… Ya sudah, Akhi, aku pamit duluan, ya. Terimakasih telah menemani… oh ya, jangan lupa! Hindarilah galau dalam hidup Anda, karena (galau) dapat menyebabkan (penyakit seperti) apa yang tertera di (bungkus) rokok…
ha-ha-ha…
Kalian
pasti tidak tahu kalau itu pesan singkat dari Upah.
Dan sekarang pasti sudah tahu, karena aku baru saja telah mengatakan nama pengirimnya.
Sms itu dikirim sembilan jam yang lalu ke nomor hp-ku. Sekitar pukul 23.00 WIB. Tepat ketika aku tidur-tiduran
di beranda rumah Elya, sepupuku, bersama Midi, sepupuku, dan Bil, teman Elya dari Unij (Universitas Jember). Abeng, adikku,
sudah tidur di
samping Midi, dan aku tidak mau membangunkannya hanya karena ada sms dari Upah.
Takut dia sedang mimpi indah.
Pesan
singkat itu membuatku jadi
ingin sekali menulis tentang pertemuan
pertamaku dengan Upah.
Bahkan sudah sejak semalam. Sampai aku hampir masuk angin.
Untung saja keinginanku tidak sepenuhnya hanya ingin
menulis tentang Upah. Aku juga ingin memakai selimut,
agar tidak dingin; ingin beli sepeda Polygon Xtrada 4.0, agar bisa dibawa
jalan-jalan; ingin merokok di rumah, tapi takut dimarahin ibu dan nenek; dan, ingin
Midi dan Bil segera tidur agar aku bisa konsentrasi bisa menulis catatan
tentang Upah di note Hp Nokia C-05-ku,
sebelum kusalin ke Microsoft word.
[.]
Sayangnya, laptopku ada di Jogja, males mau dibawa ke Madura. Untung
tadi
aku sudah minta izin untuk menggunakan komputer PC milik paman. Meskipun grogi dan gugup saat mengatakannya, sukurlah dia
mengizinkan. “yeh, angguy lah,”
jawabnya dalam bahasa Madura, kira-kira artinya begini, “ya, gunakan saja.”
“Yes!”
kataku dalam bahasa Ingris, tapi dalam hati mengungkapkannya, agar jujur dan
tidak terkesan sombong.
Sekarang
aku lagi di dapur. Di depan komputer Acer milik Pak Kurdi, pamanku. Dalam pandangan
keluarga di rumah, mungkin, komputer
PC termasuk peralatan dapur. Sehingga LCD
dan CPU-nya dibolehkan duduk di meja makan. Luar biasa canggih bukan, punya peralatan
dapur yang bisa tersambung dengan
internet. Tak akan ada di tempat lain.
Atau
jangan-jangan dapur ini memang ruang rahasia paman, untuk melakukan berbagai
macam penelitian rahasia. Bisa saja memang begitu. Tapi semoga semoga dugaanku
itu keliru, karena paman pasti memiliki alasan yang bisa dibenarkan. Dan aku
tidak ingin menanyakannya. Yang penting aku bisa menggunakan komputernya hari
ini untuk menulis tentang Upah.
[.]
Upah
adalah salah satu di antara banyak teman perempuanku. Pertamakali bertemu
dengannya ketika SOSPEM (Sosialisasi Pembelajaran) UIN Sunan Kalijaga. Aku
tidak mau bercerita banyak pada bagian ini, terlalu rumit, sangat sulit dan lagi
pula aku tidak suka kalau bagian ini banyak orang yang tahu.
Cerita
sedikit—tadi sudah janji untuk tidak cerita banyak—tentang aku dan Upah di
SOSPEM: hari itu adalah hari terakhir SOSPEM. Pada selembar kertas, aku disuruh
untuk menuliskan tentang sosok Upah, tentang bagaimana aku mengenal dia selama
tiga hari bersamanya di sosialisasi itu oleh pembimbingku.
Aku bingung. Dalam batin aku berdoa, “semoga
Upah tidak kebingungan juga menulis tentang aku”. Amin. Biar aku saja yang
menggungnya. Aku tidak mau membuatnya bingung.
Apa
yang harus menulis apa? Tak ada yang kuketahui tentang dia, kecuali sebagai
perempuan yang suka berkerudung, bergamis, tidak sedikitpun tersenyum jika dilihat,
jarang terdengar suaranya dan selalu memilih tempat duduk di samping perempuan
lainnya dan tidak pernah di sampingku. Seperti perempuan jahat. Tapi tidak
pernah berbuat jahat padaku. Padahal aku sedikit berharap dia berbuat jahat padaku, agar aku bisa tahu
banyak tentang dia. Entah dengan memalak uang sakuku, memaksa untuk mengerjakan
tugas-tugasnya dan meninju meja tulisku sambil mengertak keras, “Hei... ngapain
lihat-lihat!” Lalu kutulis semuanya pada kertas yang masih kosong di depanku,
bahwa dia adalah sosok perempuan yang suka padaku, tentunya hanya untuk berbuat
jahat.
Pada
detik-detik terakhir penyerahan kertas itu. Dalam suana tegang dan perasaan terpaksa,
aku tulis bahwa “Upah adalah perempuan
yang suatu hari nanti akan menjadi ibu.” Padahal sebenarnya aku ingin menulis
tentang Upah yang memiliki sifat keibu-ibuan. Tapi karena tulisanku itu tidak
akan dibaca dia, maka aku mengurungkannya. Tulisanku beserta tulisan
kawan-kawan, juga tulisannya, tentang gambaran profil teman-teman sekelas hanya
akan dibaca Bu Adib dan Pak Iqbal, pembimbing kelas kami.
Cerita
tentang pertemuan di Sospem sudah selesai. Sekarang tinggal cerita ‘seminggu
setelah SOSPEM’:
Upah
seperti menghilang selama tujuh hari dari kampus. Padahal, meskipun tidak se-jurusan,
kita kan se-fakultas. Bisa saja ketemu di tangga menuju lantai tiga saat mau
masuk kuliah pagi, atau di tempat photo copy fakultas, di ‘warnet gratis’ Ushuluddin,
perpustakaan, dan kalau di toilet jelas tidak akan pernah bertemu. Aku jarang
ke toilet, lagian kita bukan muhrim. Jadi muhrimpun tidak akan setoilet, aku
dan dia beda jenis: dia perempuan, sedangkan aku manusia yang memilih menjadi
laki-laki.
Dia
benar-benar telah menghilang. Aku ingin menangis. Tapi tidak jadi, temanku
banyak yang gondrong. nanti pasti akan disangka homo yang kekurangan kasih
sayang. Ih, jijik. Lebih baik dikatakan bajingan yang penyayang pada semua.
Bukan
kangen, sih, hanya ada perasaan aneh—yang
sampai saat ini belum kuketahui bahasanya—ketika sudah lama tidak bertemu
dengannya. Untung ada Ietha yang mau memberikan nomor dia. Aku jadi bisa
sms-an. Menanyakan kabarnya, menanyakan asalnya, menanyakan dia tinggal di mana
selama di jogja dan menawarkan buku. Tawaran buku akan berlanjut dengan ritual
‘pinjam-meminjam buku’.
Maaf,
aku juga tidak akan bercerita tentang ‘pinjam-meminjam buku’ itu. Selain
rahasia, aku juga sudah banyak lupa. Kalau ada yang penasaran, catatan tentang
itu kutitipkan pada malaikat Raqib. Aku yakin beliau mencatatanya dengan baik
tanpa kurang satu pun. Termasuk tentang tanganku yang bergetar dengan mulut
membisu memberikan buku “Berpikir seperti Nabi” karya Fauz Noor ke tangannya.
Bukan takut, sih, “hanya lagi punya wudlu. Dan bisa membatalkan hubungan
pertemananku dengannya jika aku sampai menyentuh tangannya.”
[.]
Sejak
semester tujuh ini, aku sudah jarang menjalin komunikasi dengan Upah. Dia sudah
menjadi seorang yang sibuk, sedangkan aku terlalu tidak sibuk. Dia ngurusin ini
dan itu, aku ngurusin diri sendiri. Dia kuliah dibiayai kementerian agama, aku
kuliah dibiayai ‘beasiswa miskin’. Dia orang Sunda, sementara aku orang Madura.
Dan dia naik motor, sedangkan aku jalan kaki (tapi sebentar lagi akan naik
sepeda) Mungkin karena semua perbedaan itulah aku dan dia jarang bertemu, dan jarang
komunikasi juga.
Tidak
apa-apalah seperti itu. Semalem dia masih sempat mengirim sms ke nomorku.
Menyuruhku agar tidak galau. Mungkin dia khawatir. Entah karena apa. Boleh jadi
aku dikira sudah seperti Nietzche, filsuf berkumis tebal yang menggalau. Tapi
kumisku tidak sebagai tanda dari itu, hanya saja ingin terlihat seperti orang
tua.
Toh,
meskipun aku galau, aku galau di jalan yang lurus (sirotol mustaqim). Di jalan lurus itu aku akan ngebut, agar
galaunya cepat selesai. Lagian aku tidak akan pernah galau kalau hanya karena
wanita. Sebab kaum Nabi Luth saja bahagia tanpa (mencintai) wanita sebelum
diturunkan adzab oleh-Nya. Tapi aku merinding mendengar cerita itu. Kok seluar
biasa itu, sampai satu kampung homo!
[.]
“Hai,
Upah, aku senang berteman denganmu.”
Semoga
kamu menjawab ‘tidak senang berteman denganku’. Agar kita bisa mengobrol
baik-baik tentang bagaimana seharusnya pertemanan kita berdua. Dengan begitu,
aku yakin, tidak akan ada akhlak tercela lagi di antara hubungan pertemanan
kita. Malah akan semakin baik.
“Terimakasih,
Upah. Darimu aku telah tahu banyak hal. Pertama,
wafer coklat ternyata bisa membusuk jika tidak dimakan sampai beberapa
bulan. Ceritanya begini: dulu, ketika aku masih di Pare, aku pernah diberi
wafer coklat olehnya. Karena baru pertamakali ada perempuan memberikan sesuatu
padaku, aku simpan coklat itu di dalam lemari sampai berbulan-bulan. Dan saat
aku kelaparan, kemarin, hanya coklat itu satu-satunya barang yang bisa dimakan.
Tapi saat aku buka bungkusnya, ternyata wafernya sudah busuk. Maaf, Upah, aku
tidak sampai menangis melihat hadiah itu yang sudah seperti tubuh zombi, karena
aku sedang kelaparan;
Kedua, tahu
caranya mengatakan ‘asyem’ dengan makhorijul
huruf yang baik dan benar. Upah kan mahasiswa Tafsir dan Hadits yang bagus
dalam bacaan Alqur’an; dan, ketiga, dirahasiakan
dari siapa pun.”
[.]
“Apakah saya menyukai dia?”
“Maaf,
saya tidak membuka pertanyaan pada siapa pun untuk beberapa hari ini. Karena
saya ingin konsentrasi menghapi pertanyaan-pertanyaan UAS yang sudah tinggal
sebentar lagi.”
[.]
Perawi
tulisan ini bukan Bukhari dan Muslim, tapi kamu harus percaya kalau aku yang
menulisnya, Upah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar