Perempuan(ku)


Gelap tak hanya dimiliki malam. Sepasang mata terbuka, dengan cinta yang mabuk, cahaya hanya sekedar fatamorgana. Sekilas hanya melintas.

          Ingin kukuras tuntas semua kenangan: tentang bunga-bunga yang mudah mekar, beberapa buku yang pernah kita pinjam, getar bola mata yang gemetar, bibir yang dipaksa untuk tidak tersenyum, dan tentang kebisuan yang ramai kita rasakan. Lalu, biarlah kesepian menjadi jodohku yang diberikan melalui tangan kiri Tuhan. Ku kan terima dengan senang. Bukankah kau selalu mengingatkankanku untuk tidak mengganggumu.
          Namun, perempuan! Melupakan semua adalah suatu yang tidak mungkin. Aku tidak sanggup berbuat. Bayanganmu selalu kembali, seperti merpati yang selalu tahu arah pulang. Padahal telah kusesaki jiwa ini dengan kesepian. Sedikitpun tak kusisakan. Tapi senyummu selalu mendapatkan tempat baru yang sebelumnya tidak kutahu.  
          Meskipun aku punya nyali besar untuk melakukan, mabuk dan kematian bukanlah jawaban. Karena selama jiwa masih menjadi milik kita, kenangan tak mengenal kata lelah untuk terus bersama.
Lalu bagaimana aku harus melupakanmu, perempuan? Sebab Janji telah pernah kuucapkan padamu waktu itu.
Bukan tak kulakan. Sudah lama kubelajar menjauh. Mencoba pergi sejauh-jauhnya. Apalah daya, kesakitan dan rindu tetap utuh kutemukan pada setiap jalan yang kulalui. Dengan hati terluka, aku tak punya daya lagi untuk melangkah lebih jauh meninggalkan kau jauh.
Beri aku waktu untuk beristirahat. Atau tamparlah mukaku. Agar kita sama-sama senang meski dalam penuh pertanyaan!
...
Orang gila selalu tersenyum sendiri, berbicara dengan bayangan mereka, tertawa pada bekas-bekas jejak di sepanjang jalan. Mungkin kita tidak akan pernah paham dengan yang mereka lakukan meski mereka begitu menikmati dunia yang mereka ciptakan sendiri. Dan apakah kau mau menyuruhku untuk menjadi seperti itu? Sudah kulakukan. Tak bisa. Orang gila hanya tahu pada yang membuatnya gila. Dan yang membuatku gila adalah kau.
Pernah suatu hari saat berjam-jam kupandangi wajahmu dalam foto itu, dadaku berbicara persis seperti puisi Soe Hok Gie: “Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah, ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Wiraza, tapi aku ingin menghabiskan waktuku di sisimu sayangku. Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal, dan lucu, atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi. Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danau, ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra, tapi aku ingin mati di sisimu manisku, setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya, tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.” waktu itu, mata pisau terlihat sangat menggoda untuk melukai jantungku.
          Perempuan, sepenuhnya aku tidak bisa melupakanmu. Maafkan aku. Aku takkan mengganggumu dengan ketidakberdayaanku untuk melupakanmu. Sekali lagi, maafkan aku perempuan.
          ...

        
Selasa, 21 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar