Malin Kundang Dikutuk Menjadi Play Boy?


Aku pernah punya keinginan untuk durhaka pada kedua orangtua. Seperti Malin Kundang. Tapi dengan harapan tidak dikutuk menjadi batu, melainkan dikutuk menjadi play boy. “Terkutuklah kau anakku. Jadilah kau play boy!” Begitulah kira-kira kalimat kutukan yang aku inginkan keluar dari mulut Ibu.
  Namun, aku tak pernah sudi menjadi anak durhaka. Bukan persoalan takut pada ancaman tuhan, atau takut masuk dalam neraka. Karena hal lain: Ibu adalah segalanya bagiku. Bahkan, demi Ibu, Tuhan boleh mengancamku masuk ke neraka selama-lamanya, asal itu membuat ibu bahagia. 
Begitu aneh. Tanpa menjadi anak durhaka, dan Ibu tidak mengutukku pula menjadi play boy, beberapa teman menggapku play boy. Atas dasar apa mereka menuduhku seperti itu? Sungguh lucu. Menggelitik. Membuatku tertawa. Kalau boleh bertanya, siapa saja pacarku? Berapa jumlahnya? Dan di mana mereka sekarang? Karena aku ingin menjenguknya satu persatu, lalu kan kuajak untuk bermalam Minggu secara adil bergiliran.
Biasanya, pada qaidah umumnya, sebutan play boy hanya khusus pada lelaki yang selalu haus perempuan, tidak pernah puas pada satu pasangan saja, dan punya banyak seni menaklukkan gadis-gadis. Tentu play boy punya banyak pacar—bahasanya teman, yang kanan pasangan, di kiri tabungan—kalau memang seperti itu sungguh teramat janggal, aku yang tidak pernah pacaran kok malah dianggap play boy?
Di mana-mana, meskipun tidak ada komunitasnya, guru ngaji selalu sepakat mengajarkan: Dilarang berperasangka buruk pada orang lain! Jadi, aku anggap saja tuduhan play boy itu adalah maksud baik dari teman, kawan, dan sahabat-sahabatku. Mungkin salah satu maksud baiknya agar aku selalu dijauhi perempuan. Karena, katanya, perempuan itu racun dunia—akan membuat kita gagal dalam segala hal. Benar tidaknya wallahu a’lam, tapi aku sangat meragukan.
“Perempuan racun dunia”. Bila dikunyah pelan-pelan dengan sesdikit modal pelajaran logika dari Mbah Ariestoteles, memang terdengar aneh dan menyakitkan kalimat itu. Masalahnya seperti ini, Ibuku perempuan, berarti beliau adalah racun dunia.  Kalau aku anak ibu, berarti sama saja dengan mengatakan ‘aku dilahirkan dari rahim racun dunia’.
“Kalau ibuku racun, anaknya apa?” Aku menjadi pusing. “Pastilah racun juga jawabannya!”
Buset! Bisa-bisa aku menjadi anak yang durhaka bila berkata seperti itu. Aku bukan Malin Kundang. Tak mau durhaka pada orangtua. Dan aku tidak mau Ibu mengutukku menjadi batu, atau dikutuk menjadi play boy seperti keinginanku dulu.
Ibu tetap Ibu bagiku. Bukan racun dia. Tapi Pahlawan dia. Bianglala dia. dan dia adalah segalanya.
Sudahlah! Cukup temanku saja yang mengatakan aku ini play boy. Meskipun itu tidak benar. Mungkin teman-temanku memang punya maksud baik padaku—Sebagaimana kata guru ngaji yang mewajibkanku untuk tidak  berprasangka buruk pada orang lain. Walaupun itu terasa menyakitkan!
          
 Sabtu, 18 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar